NovelToon NovelToon
Runaways Of The Heart

Runaways Of The Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / CEO / Percintaan Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Mafia / Cintapertama
Popularitas:193
Nilai: 5
Nama Author: Dana Brekker

Darren Myles Aksantara dan Tinasha Putri Viena sama-sama kabur dari hidup yang menyesakkan. Mereka tidak mencari siapa pun, apalagi cinta. Tapi pada malam itu, Viena salah masuk mobil dan tanpa sengaja masuk ke lingkaran gelap keluarga Darren. Sejak saat itu, hidupnya ikut terseret. Keluarga Aksantara mulai memburu Viena untuk menutupi urusan masa lalu yang bahkan tidak ia pahami.

Darren yang sudah muak dengan aturan keluarganya menolak membiarkan Viena jadi korban berikutnya. Ia memilih melawan darah dagingnya sendiri. Sampai dua pelarian itu akhirnya bertahan di bawah atap yang sama, dan di sana, rasa takut berubah menjadi sesuatu yang ingin mereka jaga selamanya.

Darren, pemuda keras kepala yang menolak hidup dari uang keluarga mafianya.

Viena, gadis cantik yang sengaja tampil culun untuk menyembunyikan trauma masa lalu.

Genre : Romansa Gelap

Written by : Dana Brekker

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dana Brekker, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ch 3

Jakarta memang gak bisa dibilang dingin walau hujan datang sebringas ini. Pohon meliuk bersama deret bendera partai politik yang entah sejak kapan betah bersandar di sepanjang jalan.

Bagi Viena ini penculikan, namun bagi Darren ini adalah peluang. Peluang yang tercipta oleh terkabulnya doa beberapa waktu yang lalu. Sayangnya peluang tidak selalu berjalan mujur, air dan minyak tidak akan pernah menyatu, yang satu ingin bebas, yang satu tenang memilah setiap kalimat rujukan yang ia lontarkan. Masalahnya Darren memang jarang kali berbicara, apalagi dengan orang asing. Alhasil mobil mereka hanya berkeliling kota tanpa arah tujuan yang jelas.

“Mas, aku udah bilang kan, aku tuh cuma salah masuk mobil.”

“Bukannya kamu udah tau nama asliku, Tinasha Putri Viena?”

Viena hanya bisa memutar bola matanya lagi dan lagi. Orang itu terlampau aneh baginya. Tenang, santai, misterus. Cara menyetir mobil dengan satu tangan sementara tangan kirinya bergerak mengikuti setiap ucapannya saja sudah membuat gadis itu menarik kesimpulan jika pemuda itu seorang mafia, gangster atau kartel narkoba, masalahnya Darren tidak bertato. Mungkin hanya tersembunyi di balik kemeja putihnya? Batin Viena.

“Mas… bisa tolong berhenti di depan sana?” tanyanya untuk ketiga kalinya. “Aku mau turun.”

“Alright then,” balas Darren dengan senyuman jahat yang entah kenapa mempermainkan setiap perkataan gadis itu sejak tadi. “Sabar ya… maklum jam segini macet banget, apalagi hujan badai. Aku juga punya payung yang bisa kamu pakai.”

Sesampainya di trotoar yang Viena maksudkan untuk dia turun, gadis itu justru bersandar santai dengan bersedekap dada walau pipinya membulat tanpa ia sadari.

“Jadi turun? Aku ambilin dulu payungnya.”

“…”

Gadis itu bahkan tidak bergeser sedikitpun, tidak pula menjawab. Paling tidak sedikit lebih dekat ke pintu sebelah kiri? Entah apa yang dia pikirkan, Viena memang tidak pernah berniat seratus persen untuk keluar.

“Kamu tuh siapa, sih? Polisi? Penjahat? Atau psikopat yang suka manfaatin korban salah naik mobil?”

“Apa itu penting?” Darren menoleh sedikit, matanya menatap Viena di pantulan spion tengah. “Aku udah jelasin semuanya ke kamu kan? Apa aja yang aku butuhin dari kamu malam ini.”

“Tetep aja… ,” Viena membuang wajahnya ke luar jendela, mengamati setiap butiran air yang menuruni kaca jendela seperti ular. “Ini mendadak banget, aku bahkan gak kenal kamu siapa.”

Mobil berjalan lagi tanpa halangan setelah Darren tahu Viena sedang mempertimbangkan tawarannya. Sedan hitam itu kembali menjemput ruang kosong, bergabung dengan ratusan kendaraan lain yang mengantri panjang hingga berkilo-kilo meter. Mungkin berkeliling Jakarta sedikit lagi bisa membuat suasana lebih berpihak kepadanya walau macet membuat kakinya perlahan terasa kebas.

“Nanti kamu juga bakalan tahu. Yang jelas aku butuh kamu pura-pura jadi pacarku malam ini,” pinta pemuda itu tanpa garis lengkung di bibirnya. “Hadir di acara ulang tahun adikku, lalu kamu bebas pergi kemanapun kamu mau. Tentu aku juga akan bayar kamu setelah kamu selesai nentuin harganya.”

“Kamu pikir aku gak denger? Masalahnya aku butuh waktu buat mikir.”

“Aku kasih kamu waktu buat mikir, kira-kira butuh berapa lama?”

“Minimal sepuluh tahun!”

Gingsul yang terlihat seperti taring itu kembali menampakkan diri kala Darren tertawa singkat. Walau tidak lepas, tawanya menghidupkan seisi mobil yang kian jenuh menampung suara wiper bercampur klakson. “Viena, usiaku udah hampir empat puluh saat kamu beri tahu aku jawabanmu.”

“Ya siapa suruh kamu maksa orang asing jadi pacar sewaan.”

“Aku gak maksa. Aku cuma nawarin peluang,” tampiknya santai. “Kamu yang memilih kata ‘maksa’.”

Viena memutar bola matanya. “Peluang apaan? Kamu pikir ini interview kerja hah, Mas Darren?”

“Kurang lebih.” Darren akhirnya menoleh, satu sudut bibirnya terangkat lagi. “Aku butuh seseorang yang bisa menahan pandangan keluargaku malam ini. Kamu kelihatan cocok, walau sedikit keras kepala.”

“Sedikit?” Viena mendengus.

“Oke, keras kepala banget,” ujarnya, kali ini dengan nada yang nyaris menyerupai hal yang biasa disebut ketulusan. “Tapi kamu tipe orang yang tahu kapan harus berhenti, dan itu bagus. Aku gak suka orang yang terlalu mudah percaya.”

Kalimat itu lantas membuat Viena terdiam sejenak. Memainkan jari-jari lentiknya sebelum membuang pandangan ke luar jendela. Ada kesan aneh dari setiap ucapan Darren yang jelas-jelas bukan ancaman, tapi pengakuan jujur yang langka dari seseorang yang tak berniat untuk menjelaskan lebih jauh. Pemuda itu seperti lebih membutuhkan dirinya daripada dirinya yang membutuhkan Darren.

“Kamu aneh.”

“Aku sering dibilang begitu.”

Mandek sebentar, kala merah lampu mobil di depan mereka berkolaborasi dengan kendaraan yang melaju dari arah berlawanan bergantian menerangi seisi mobil, memperjelas paras Darren yang tegas dan juga paras Viena yang tampak culun dengan potongan poni berhias kacamata bundar. Padahal walaupun pakai kacamata, perempuan tetap bisa terlihat cantik, tapi Viena tidak memilih hal itu.

“Gini,” tegas Darren sembari mendorong rambutnya ke belakang dengan tangan kiri, dia menghembuskan nafas kekecewaan yang secara tidak langsung mendapat perhatian dari gadis di belakangnya. “Aku gak maksa. Kalau kamu gak mau bantu. Kamu bisa turun, atau mau aku anterin kamu pulang sekalian? Maaf kalau—”

Kata itu. Kata ‘pulang’ dengan dahsyatnya menembus jantung Viena. Mengingatkannya pada rumah yang terasa seperti sebuah penjara.

“Kenapa aku?”

Mendengar itu Darren segera menepikan mobilnya lagi dan berhenti tepat di bawah rimbun pohon trembesi, tepi taman kota.

“Kamu bisa aja bayar orang lain buat pura-pura,” lanjut Viena yang kini kedua matanya tertuju pada seorang anak kecil yang berlarian dengan jas hujan bersama ibunya di taman itu. “Aku tahu kamu punya nilai tambah selain uang. Tapi kenapa harus aku?”

Darren mematikan mesin, tapi bukan untuk mengakhiri pembicaraan. Ia diam sebentar, menimbang apakah jawabannya pantas diucapkan.

“Kenapa kamu?” Darren melihat ke arah yang sama dengan Viena. “Karena kamu orang pertama yang bikin aku tertawa hari ini.”

Viena menoleh cepat. “Hah? Gombalan model baru ya, Mas?”

“Gombal?” Darren mengerutkan dahi, separuh tersenyum. “Aku bahkan gak tau caranya ngegombal.”

Ia bersandar ke jok. “Selain lagu yang kamu nyanyiin tadi, ada satu lagu lagi yang berkesan banget buat aku, judulnya ‘Everytime’. Dulu aku dengerin itu tiap kali hujan turun kayak gini. Anehnya, lagu itu bisa bikin orang ngerasa kehilangan sesuatu yang bahkan gak pernah dia punya.”

Viena menatapnya lama, sedikit mencondongkan tubuh. “Aku tahu lagu itu.”

“Serius?”

“Lagu lama kan? Dari serial yang tragis itu,” celetuk Viena. “Aku gak nyangka masih ada orang yang dengerin lagu kayak gitu di tahun segini.”

“Aku juga gak nyangka,” Darren benar-benar mendorong tubuhnya ke jok nan empuk itu dengan rileks. “Biasanya cuma aku sendiri yang masih nyangkut di masa lalu. Tapi ternyata ada orang lain yang susah move on.”

“Jadi cuma karena aku suka lagu yang sama, kamu pilih aku?”

“Bukan cuma itu,” papar Darren, menatap lurus ke depan, lalu melirik gadis itu lewat pantulan kaca. “Kamu ngelawan aku dengan cara yang sopan. Kamu gak pura-pura takut, tapi juga gak pura-pura berani. Aku menghargai orang kayak gitu.”

“Terus itu aja cukup buat kamu percaya?”

Calista sejatinya menjadi alasan utama Darren untuk melakukan hal segila ini. Sejak kehilangan ibu tercinta, bahkan jauh sebelum itu ketika dirinya menjadi berandalan di sekolah, Darren sama sekali belum pernah menjalin hubungan dengan seorang wanita. Bukannya tidak tertarik, hanya saja dia terlalu mencintai ibunya, dan menganggap wanita yang ideal untuknya hanya akan cocok jika wanita itu memiliki sifat seperti ibunya walau sedikit.

Pada dasarnya Viena belum bisa membuat Darren yakin akan hal itu, tentu masih terasa asing dan canggung, tapi untuk sekedar bersandiwara demi memutus masalah dengan keluarganya, Darren merasa ini adalah hal yang patut untuk ia coba dan juga demi kebaikan Viena sendiri.

“Aku gak bilang aku percaya,” ujar Darren sambil tersenyum tipis. “Tapi aku tahu kamu gak akan kelihatan pura-pura di depan keluargaku. Menurutku kamu bisa dipercaya untuk tugas semacam ini.”

Viena kembali menatap keluar jendela, menahan senyum yang hampir muncul. Ada sesuatu yang berubah, bukan cinta, mungkin rasa ingin tahu? Atau rasa simpati yang terlihat dari garis lengkung bibir pemuda itu. Tentu saja Viena masih menganggap orang itu gila, tapi apakah orang gila melakukan semua ini hanya demi pesta ulang tahun adiknya? Viena sendiri merasa gila karena sudah berani meninggalkan rumahnya.

“Oke,” bibirnya entah kenapa bergetar cengeng kala kedua tangan meremas celananya kuat-kuat. “Aku bantu kamu. Tapi aku gak mau dibayar gitu aja.”

Lantas Darren menoleh secepat yang dia bisa. “Maksud kamu?”

“Aku bukan pengemis, Mas Darren. Tapi… ,” ia menatapnya tajam, nampak tegas tapi tidak dengan sorot matanya, “kalau kamu beneran orang kaya, kasih aku pekerjaan aja. Yang beneran kerja, untuk gajinya kamu yang atur.”

Ketika pandangan mereka bertemu, di sanalah pertama kalinya Darren kehabisan amunisi untuk menjawab pada malam itu. Bahkan dirinya seakan kaku, meskipun pikirannya terbang tinggi. Entah kenapa wanita ini mengingatkannya pada almarhumah ibunya. Malaikat tak bersayap, kesatria tanpa pedang. Dia manusia biasa yang berhati lembut, tidak menyakiti perasaannya samasekali walau dalam kondisi terkunci. Darren melihat semua itu di dalam diri Viena.

Tak pernah terpikir di benak pemuda itu jika Tuhan akan menjawab doanya di waktu yang sama.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!