Aku Akan Mencintaimu Suamiku

Aku Akan Mencintaimu Suamiku

Ini Hidup Aku

Selama aku hidup, tak pernah terlintas sedikit pun dalam pikiranku bahwa aku akan menikah karena dijodohkan.

Padahal, aku sudah punya pacar. Seseorang yang kupilih sendiri. Yang kutemukan setelah perjalanan panjang mencari seseorang yang bisa sefrekuensi denganku. Yang bisa diajak berbagi cerita tanpa harus merasa dihakimi. Yang nyambung diajak diskusi dari topik remeh sampai urusan hidup-mati. Yang membuatku merasa dimengerti, bukan hanya dilihat.

Kupikir, cinta seperti itu cukup untuk menjadi pondasi masa depan. Tapi ternyata...

.... takdir berpikir lain.

Aku tak pernah menyangka hidupku akan seperti alur cerita dalam novel -di mana seorang gadis harus menikahi pria asing, bukan karena cinta, tapi karena sebab yang tak bisa ia tolak.

Apakah ini karena Papaku punya banyak utang? Tidak.

Papaku seorang PNS. Tepatnya Kasi Pendidikan Madrasah di kantor Kementerian Agama. Penghasilannya cukup, bahkan lebih dari cukup untuk mencukupi kebutuhan pokok dan sesekali memenuhi keinginan tersier kami. Kami bukan keluarga kaya raya, tapi juga bukan keluarga yang perlu berpikir dua kali untuk sekadar makan enak atau beli buku baru.

Lalu kenapa?

Apakah karena ambisi? Harga diri? Atau karena Papa merasa ini bentuk "jalan keluar" yang terbaik?

Atau...

.... mungkinkah ada sesuatu yang mereka sembunyikan dariku? Sesuatu yang membuat mereka tiba-tiba berubah arah. Dari yang semula mendukungku menjadi terburu-buru menjodohkanku dengan pria yang bahkan tak kukenal wajahnya?

Aku ingin marah. Tapi pada siapa?

Pada takdir? Pada Papa? Pada laki-laki asing yang tiba-tiba muncul membawa restu dan keputusan keluarga?

Atau pada diriku sendiri... karena terlalu percaya bahwa cinta saja sudah cukup?

Dan lebih dari itu...

... aku takut.

Takut jika pernikahan ini bukan cuma tentang kompromi, tapi juga tentang kehilangan. Kehilangan kendali atas hidupku. Kehilangan Harry. Dan mungkin… kehilangan diriku sendiri.

Aku yakin, Papa menikahkanku bukan karena ingin mengikuti jejak Siti Nurbaya. Papa bukan orang yang kaku pada tradisi, apalagi percaya hal-hal kejawen seperti jodoh ditentukan leluhur atau mimpi bertemu arwah yang memberi petunjuk.

Tidak. Papa bukan tipe seperti itu.

Tapi ternyata, alasannya jauh lebih sederhana dan justru itu yang membuatku sulit menerima.

Usia.

Semata-mata karena usiaku sudah menginjak 23 tahun. Karena sebentar lagi aku akan berusia 24, dan bagi Papa, itu angka yang terlalu "tua" untuk seorang gadis yang belum menikah.

"Perempuan itu ada masanya," begitu katanya. "Makin lama kamu sendiri, makin banyak risiko," lanjutnya lagi.

Risiko apa? Kehilangan harga diri? Omongan tetangga? Tidak dapat suami mapan?

Lucu.

Karena aku tak pernah merasa kehilangan apa pun sampai mereka bilang aku harus merasa begitu. Kupikir Papa akan jadi tempatku pulang. Tempat aku bisa berdiskusi tentang hidup, tentang cinta, tentang masa depan. Tapi kenyataannya, aku merasa seperti angka yang sedang berpacu dengan waktu. Aku seperti grafik yang harus segera naik, sebelum dianggap gagal.

Padahal, bukankah menikah bukan soal cepat-cepat? Tapi tentang kesiapan dan keyakinan?

Tapi bagi Papa, aku hanya anak perempuan. Dan mungkin, di matanya, aku hanyalah satu langkah lagi menuju "terlambat."

Atau…

... mungkin Papa benar-benar khawatir.

Bukan hanya karena angka usia di KTP-ku yang terus bertambah, tapi karena sosok laki-laki yang bersamaku saat ini. Harry Rafardhan.

Papa bisa membaca karakter seseorang hanya dari satu-dua pertemuan, bahkan dari obrolan singkat. Beliau pernah bilang, “Mata laki-laki yang ragu lebih berbahaya daripada mulut laki-laki yang banyak janji.”

Dan sejak awal, Papa tak pernah benar-benar bisa mempercayai Harry.

Bagi Papa, Harry adalah laki-laki yang belum selesai dengan dirinya sendiri. Seorang pegawai percetakan yang terlalu lama berdiri di tempat yang sama, tanpa target hidup yang jelas. Lima tahun bersama, tapi tak sekalipun datang ke rumah untuk menghadap langsung sama Papa.

“Kalau dia serius, dia berani ngobrol sama Papa,” kata Papa. “Kalau dia punya tujuan, dia tidak akan biarkan kamu menggantung harapan sepanjang itu.”

Aku tahu… aku tahu betul Harry bukan tipe yang spontan atau berani tampil di depan orang tua. Tapi bukan berarti dia tak mencintaiku, kan?

Tapi Papa punya sejuta spekulasi.

Baginya, cinta saja tidak cukup.

"Komitmen yang tidak diwujudkan itu hanya ilusi," ucapnya dengan suara berat di satu malam yang sunyi. "Papa nggak mau kamu jadi perempuan yang menunggu terlalu lama sampai akhirnya ditinggal."

Dan aku diam.

Untuk pertama kalinya, aku mulai bertanya-tanya: Bagaimana kalau Papa benar?

...____________________________...

Aira Humaira Hariatmaja, 23 tahun. Seorang guru TK di sekolah swasta di kotanya. Meski sudah memiliki kekasih, hari-harinya ia habiskan dengan mengajar anak-anak PAUD dan mengejar gelar magister lewat kuliah sore di sebuah universitas.

Ia dan Harry Rafardhan, 23 tahun, pernah menjalani empat tahun kuliah bersama. Aira di jurusan PAUD, Harry di jurusan komputer. Kini, setelah lulus, waktu mereka bersama semakin langka. Harry sibuk bekerja di sebuah percetakan kecil.

Meski hubungan mereka sudah cukup lama, mereka sepakat menjaga batas. Tak sering bertemu. Sama-sama sadar, sebagai seorang muslim, cinta juga butuh kendali.

Awalnya, semua terasa mudah. Bahkan terlalu mudah. Mama Shania (ibu Aira) pernah menjadi pendukung terbesar hubungan mereka. Ia begitu antusias setiap kali Aira bercerita tentang Harry. Senyum hangatnya kala itu masih tersimpan jelas dalam ingatan Aira.

Tapi waktu tak hanya memperdalam cinta. Ia juga membawa tanya yang tak selalu punya jawaban.

Perlahan, dukungan Mama Shania berubah menjadi kecemasan. Rasa percaya yang dulu penuh, mulai dipenuhi keraguan. Satu tahun ini, Harry belum sekalipun datang ke rumah. Setiap kali diajak bersilaturahmi, jawabannya selalu sama: belum siap, masih belum waktunya, atau sedang ada urusan kerja yang tak bisa ditinggal.

Alasan demi alasan membuat Mama Shania bertanya-tanya: Benarkah lelaki itu serius dengan putrinya? Atau selama ini hanya memberikan harapan semu?

Malam yang dingin itu, Aira berdiri lama di depan jendela kamarnya. Menatap jauh menembus kaca jendela yang berembun karena angin dingin.

"Ai, kamu harus segera menikah, Sayang. Usiamu sudah 23 tahun. Sampai kapan kamu mau pacaran sama laki-laki yang nggak kasih kepastian itu? Mama dan Papa khawatir. Kamu ini anak gadis, nggak elok kalau terus menunda pernikahan di usia yang sudah matang begini."

Sudah tiga puluh menit berlalu. Obrolan ringan antara ibu dan anak yang semula hanya soal pekerjaan kini berubah menjadi percakapan serius. Di dalam kamar kecil yang hangat, suara mereka mulai meninggi.

Putri cantik itu menyentuh punggung tangan Mamanya dengan lembut. "Ini hidup aku, Mama. Aku akan menikah, tapi sama pacar aku."

"Sampai kapan? Kamu sudah lima tahun pacaran sama Harry, tapi nggak ada tanda-tanda mau melangkah ke jenjang serius."

Ponsel Aira berdering, sebuah pesan WA muncul. "Cinta, bisakah hari ahad kita bertemu? Di taman biasa ya..." --pesan dari Harry.

Terpopuler

Comments

Rini Antika

Rini Antika

kalau d kampung, umur segitu emang udah tua, beda dengan hidup d kota, tp masa muda tidak akan terulang 2 kali, jadi seharusnya nikmati dulu masa muda

2025-04-24

3

Afi Afifah

Afi Afifah

Transisi emosinya smooth banget Thorr...
Dari bahagia, bingung, kecewa, sampe galau berat. Pembaca bisa ikut hanyut, anjaayy~ dan itu kekuatan yang keren banget.

Kalo ketemu orang X bakalan rame nih bicarain tentang “menikah karena usia” 🤣🤣

2025-04-23

1

Yuliana Purnomo

Yuliana Purnomo

mungkin Harry butuh persiapan yg matang jika ingin menghadap orang tua Aira

2025-04-18

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!