"Aku istrimu, Aditya! Bukan dia!" Aurelia menatap suaminya yang berdiri di ambang pintu, tangan masih menggenggam jemari Karina. Hatinya robek. Lima tahun pernikahan dihancurkan dalam sekejap.
Aditya mendesah. "Aku mencintainya, Aurel. Kau harus mengerti."
Mengerti? Bagaimana mungkin? Rumah tangga yang ia bangun dengan cinta kini menjadi puing. Karina tersenyum menang, seolah Aurelia hanya bayang-bayang masa lalu.
Tapi Aurelia bukan wanita lemah. Jika Aditya pikir ia akan meratap dan menerima, ia salah besar. Pengkhianatan ini harus dibayar—dengan cara yang tak akan pernah mereka duga.
Jangan lupa like, komentar, subscribe ya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35: Keseriusan Abi dengan Aurelia
"Kamu yakin ingin ikut aku ke tempat ini?" tanya Aurelia pelan saat mobil berhenti di tepi danau kecil yang dulu pernah mereka datangi semasa kecil.
Abi hanya tersenyum. "Aku yakin pada semua langkahku, terutama kalau itu menuju kamu."
Hening sejenak. Angin sore menyapu lembut wajah mereka. Suara daun yang bergesek dengan angin terdengar seperti bisikan kenangan yang tak pernah usang. Mereka duduk di bangku kayu tua yang seakan menyimpan kisah kecil masa lalu.
"Dulu, kita pernah bilang, kalau kita besar nanti, kita bakal bangun rumah di dekat danau ini," ucap Aurelia, matanya menerawang ke permukaan air.
Abi tersenyum kecil. "Dan aku masih ingat kamu marah karena aku bilang aku mau bawa istri ke rumah itu. Kamu bilang aku nggak boleh punya istri selain kamu."
Aurelia tertawa pelan. Suaranya bening, polos. "Namanya juga anak kecil."
"Tapi aku nggak pernah anggap itu candaan, Lia." Suara Abi terdengar dalam dan tenang. "Sejak kecil, kamu sudah punya tempat khusus di hatiku. Aku pergi waktu itu, bukan karena ingin meninggalkanmu. Tapi karena harus."
Aurelia menatap mata Abi. Sorot itu tidak berubah. Tetap teduh, penuh keyakinan.
"Abi... sekarang hidupku nggak sesederhana dulu. Ada Aditya, ada luka-luka yang belum benar-benar sembuh. Aku bahkan belum resmi bercerai."
"Aku tahu," potong Abi. "Dan aku akan tetap di sini. Nggak akan minta apa-apa darimu sebelum kamu siap. Tapi aku juga nggak mau menyembunyikan apa yang aku rasakan."
Aurelia terdiam. Angin menyapu rambutnya yang dibiarkan tergerai. Raka dan Reyhan yang mengikuti dari kejauhan hanya bisa saling pandang, keduanya memahami bahwa ini bukan sekadar reuni masa kecil.
"Kamu nggak takut menghadapi semua masalahku?" tanya Aurelia, nyaris berbisik.
"Bukan cuma nggak takut," jawab Abi. "Aku ingin menjadi orang yang kamu pegang saat kamu mulai goyah. Aku ingin menjadi bagian dari setiap langkahmu, Lia."
Perlahan, Abi menggenggam tangan Aurelia. Hangat dan meyakinkan.
"Aku udah terlalu lama menunggu hari-hari ini. Sekarang aku punya kamu di hadapan aku. Dan aku nggak akan melepaskan kesempatan ini."
Hening kembali mengisi ruang di antara mereka. Tapi kali ini bukan keheningan canggung. Ini adalah keheningan yang mengikat hati.
Sampai akhirnya Abi berdiri. Dia menatap mata Aurelia dengan penuh keyakinan, lalu menarik kotak kecil dari dalam jaketnya.
"Aurelia... meskipun kita belum bisa menikah hari ini, aku tetap ingin melamarmu. Bukan karena aku ingin mengikatmu dengan status, tapi karena aku ingin kamu tahu betapa seriusnya aku."
Aurelia membeku. Matanya membulat, menatap cincin mungil yang kini terbuka di hadapannya.
"Aku nggak akan memaksa. Kamu boleh bilang tidak. Tapi izinkan aku menyampaikan niatku yang paling dalam. Aku ingin menjadi pelabuhan terakhirmu, Lia. Izinkan aku menunggumu, sejauh dan selama apapun itu."
Air mata menitik dari pelupuk Aurelia. Emosi yang selama ini terpendam, mendadak mengalir begitu saja.
Tapi sebelum ia sempat menjawab, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Reyhan masuk.
["Aditya dalam bahaya."]
Aurelia hanya diam dan menunggu.
Sampai esok hari.
“Silakan masuk, Aditya sedang menunggu di ruang tamu,” ucap pembantu pada Aurelia, suaranya tenang namun menyimpan tanya.
Aurelia mengangguk pelan, langkahnya ragu saat melangkah ke dalam ruangan tempat pria yang dulu begitu dicintainya duduk, kini tampak lebih kurus, lebih tenang, dan… lebIh lelah dari yang ia kenal dahulu.
Aditya berdiri perlahan dari kursi roda ketika melihatnya, namun tak sempat bangkit sepenuhnya. Kursi itu menahannya.
"Terima kasih sudah datang," katanya datar. Matanya menatap lurus ke arah Aurelia, seolah berusaha menghafalkan wajah yang akan segera pergi dari hidupnya selamanya.
Aurelia menarik napas, “Aku tidak menyangka kau yang memintaku datang.”
Aditya tersenyum lemah. "Dulu aku terlalu egois. Kini, untuk pertama kalinya… aku ingin jadi orang yang membiarkanmu bahagia.”
Sunyi menggantung. Hanya suara detik jam yang terdengar menggema.
"Aku sudah menandatangani ini," ucap Aditya pelan, mengeluarkan sebuah map dari laci kecil di samping kursi rodanya. Tangannya agak gemetar saat menyerahkannya.
Aurelia membuka map itu perlahan, dan di sanalah… selembar surat talak. Tertulis dengan rapi, resmi, lengkap dengan cap notaris. Legal. Nyata.
“Aku tahu... aku pernah mengatakan akan memperjuangkanmu. Tapi ternyata, mencintaimu juga bisa berarti merelakanmu, kan?” lanjut Aditya. Kali ini senyumnya lebih tulus.
Aurelia tak bisa menahan air matanya jatuh.
"Aku tidak ingin kau hidup dalam penyesalan," ucapnya terbata.
"Aku sudah menyesal sejak lama, tapi aku ingin berhenti menyeretmu dalam rasa bersalahku. Abi... dia orang yang baik. Aku bisa lihat caranya menatapmu, menjaga langkahmu. Itu cukup."
“Aditya…” bisik Aurelia.
“Lupakan aku sebagai lelaki buruk masa lalumu. Ingat aku hanya sebagai bagian dari kisahmu yang mengantarkanmu pada yang lebih layak.”
Seketika, keheningan itu berubah menjadi sesuatu yang mengikat hati. Mungkin ini bukan akhir yang diimpikan keduanya dulu… tapi ini akhir yang layak. Dan mungkin, awal bagi kehidupan baru.
Aurelia menggenggam tangan Aditya.
"Terima kasih... karena telah mengizinkanku pergi dengan cara yang paling baik."
Aditya mengangguk, menahan air mata yang nyaris jatuh. Tapi sebelum Aurelia beranjak, Aditya berkata pelan, “Tapi berhati-hatilah, Lia. Ada sesuatu yang… belum selesai.”
Aurelia menoleh, menatapnya bingung. “Maksudmu?”
“Aku mendapat surat… tanpa nama. Isinya peringatan. Bahwa seseorang tidak akan membiarkanmu bahagia. Dan itu bukan aku… bukan Vania… bukan Kalina…”
Aurelia membeku. “Siapa?”
Aditya menggeleng. “Tak ada nama, hanya satu kalimat… ‘Satu-satunya dosa yang belum kau bayar, akan kutagih dengan nyawa.’”
Aurelia menggenggam surat talak itu semakin erat.
Di luar ruangan, Reyhan dan Raka saling bertukar pandang.
“Ancaman baru?” bisik Raka.
Reyhan mengangguk.
Dan di tempat lain… sebuah tangan menaruh sebuah foto lama Aurelia dan Abi dalam satu bingkai. Tangan itu meremasnya perlahan.
“Akhirnya... waktunya tinggal sedikit lagi.”
(BERSAMBUNG KE BAB SELANJUTNYA)
kadang dituliskan "Aurelnya pergi meninggalkan ruangan tsb dengan Anggun"
Namun.. berlanjut, kalau Aurel masih ada kembali diruangan tsb 😁😁🙏