Apa yang harus dilakukan untuk menghilangkan kelabu yang menyelimuti rumah tangga selama lima tahun?
Khalisah meminta suaminya untuk menikah lagi dengan perempuan yang dipilih mertuanya.
Sosok ceria, lugu, dan bertingkah apa adanya adalah Hara yang merupakan teman masa kecil Abizar yang menjadi adik madu Khalisah, dapat mengkuningkan suasana serta merta hati yang mengikuti. Namun mengabu-abukan hati Khalisah yang biru.
Bagaimana dengan kombinasi ini? Apa akan menjadi masalah bila ditambahkan oranye ke dalamnya?
Instagram: @girl_rain67
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Girl_Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
K. 35~ Daun Berguguran
Abi dan Ummi juga menyalami pimpinan dari pesantren محل الهدي tersebut, dan menggiringnya ke sofa. Posisi mereka sekarang Khalisah dan Ummi duduk di kursi panjang berhadapan dengan Abi, sedangkan Abu Hanif duduk di kursi single.
"Gimana keseharian Guru belakangan ini?" tanya Abi Haidar, beliau memang selalu antusias terhadap gurunya.
"الحمد لله، semuanya lancar. Eh, bagaimana dengan keadaan pesantren, selalu stabil 'kan?" tanya Abu Hanif balik.
"Naik-turun, Guru. Tetapi hal itu tidak menjadi masalah, الحمدلله،" jawab Abi antusias.
"Bagaimana dengan kamu, Khalisah? Sepertinya kamu lagi ada masalah," ujar Abu Hanif tiba-tiba berganti pandang kepada Khalisah.
Sadari Abu Hanif duduk, Khalisah menundukkan kepalanya. Kepikiran soal perkataan Abu Hanif tentang seseorang yang mengingat dirinya sampai alam bawah sadar, ia takut sekaligus jijik kalau itu bukan mimpi biasa. Sehingga terkejut ketika Abu Hanif mengajaknya berbicara.
Dengan mata berkaca-kaca, Khalisah memandang Abu Hanif. "Saya merasa kotor."
"Apa karena perkataan saya tadi? Kamu harus bertanya pada orang yang bersangkutan." Lewat wajahnya Abu Hanif mengarahkan ke orang yang dimaksud.
Khalisah mengikutinya dan menemukan orang-orang yang dibawa Abu Hanif serta orang yang membawanya ke sini. Mereka sedang bercanda tawa sembari menyiapkan jamuan.
"Ada yang mau saya tanyakan," ujar Khalisah tiba-tiba.
"Silahkan. Kalau bisa dijawab, pasti saya jawab," tutur Abu Hanif serasa menyejukkan hati.
"Pernikahan tanpa kejujuran apakah patut dipertahankan?"
Senyum Abu Hanif mengembang, dan beliau menghela napas. "Sebenarnya pertanyaan kamu ini seolah mempertanyakan takdir Tuhan, padahal dulu kalian berdua yang memutuskan untuk menikah. Dan sekarang harus dihadapkan dengan permainan menyakitkan yaitu perceraian."
Khalisah menyimak, begitu pula Abi dan Ummi.
"Keputusan ada padamu, Khalisah. Saya juga takut memberi jawaban karena bisa berakhir merugikan kamu, tapi ada satu yang bisa saya katakan. Perempuan bodoh ialah perempuan yang dibutakan cinta kepada laki-laki maksiat, sedangkan perempuan hebat ialah perempuan yang membutakan laki-laki dengan cintanya kepada agama," tutur Abu Hanif.
Beliau tertawa pelan. "Saya bilang begini karena saya semakin mencintai istri saya berkali-kali lipat disaat istri saya salat. Entah alasannya untuk dirinya sendiri atau, beribadah karena mengingat apapun perbuatannya ditanggung suami. Yang terpenting ibadah."
Khalisah menunduk.
Berarti aku perempuan bodoh.
Abu Hanif berhenti tertawa, dan kini berekpresi serius. "Tentukan pilihanmu, Khalisah. Kali ini yang baik bagi dirimu, bukan hanya baik bagi suami kamu."
.
.
.
.
Setelah menunaikan salat isya berjamaah dengan para santriwati dengan Abu Hanif sebagai imam, barulah Khalisah pulang ke kontrakan. Sempat terjadi perdebatan antara ia dan Edgar lantaran dirinya tidak mau diantar, dan kemenangan pun berpihak pada Khalisah karena Edgar tidak didukung mertuanya.
Khalisah menaiki ojek online perempuan, dan mobil polisi mengikuti di belakang.
Dari ia mendengar petuah Abu Hanif Ar-Rasyid hingga sekarang pun ia masih merenungkannya. Terutama dua polah wanita yang diterangkan oleh beliau.
Terkekeh, dan setitik air matanya jatuh. Pemikiran laki-laki berilmu beda ya soal wanita.
Mungkin, jika dulu tak memilih mas Abi yang berusaha menimba ilmu, hidupku tak akan begini. Pantas 'sih, mas Abi saja tidak mencintaiku, jadi untuk apa mengusahakan sesuatu yang menyenangkanku.
Dan aku sebagai istrinya gagal mengajaknya ke jalan yang aku tuju. Heh, ini ganjaran bagiku sebab berpikir bisa menjadi Halimah Alaydrus yang dapat mengubah suaminya.
Aku bahkan takut mengingatkan mas Abi salat, karena dapat membuat mas Abi berpikir aku lebih dari padanya.
Padahal aku cuma mau menjalankan visi dan misi yang aku terapkan dalam pernikahan, tapi mas Abi justru visi dan misi hanya mau melindungiku sekaligus menjadikan aku senjata bagi mereka.
Apa salahnya 'sih jujur? Aku 'kan bisa membantu mencari jalan lain, tanpa perlu melakukan pernikahan yang aku impikan sadari aku kehilangan orang tuaku.
Kali ini aku bersyukur kami tidak memiliki anak, sehingga tidak ada yang perlu ku khawatirkan bila kami berpisah.
Khalisah merapatkan jaket Imam ketika angin malam semakin pekat. Rupanya syarat yang diajukan Edgar agar dirinya boleh pulang dengan ojek bermanfaat juga.
Menepuk pelan punggung wanita yang membawanya saat matanya menangkap lorong menuju kontrakannya. "Ada apa, Mbak?"
"Tolong berhenti sebentar," pinta Khalisah.
Begitu motor berhenti, Khalisah turun dan melangkah ke mobil Imam yang juga berhenti.
Imam keluar dan dikejutkan dengan jaket yang dilemparkan dua meter oleh Khalisah.
"Tk," ucap Khalisah dan kembali ke ojeknya.
"Tk?" Imam tidak tau maksudnya.
Baguslah Edgar memahaminya, sehingga tidak mengikutinya memasuki lorong menuju kontrakannya.
Kalau keseringan, bakal timbul fitnah.
"السلام عليكم،" ucap Khalisah mengetuk pintu.
Hara yang membukanya. "Mbak habis dari mana sama pak Polisi?"
Kening Khalisah mengeryit. Entah mengapa ia tak suka wajah tersenyum Hara setelah mengucapkan kalimat itu. "Rumah sahabatku."
"Oh, Mbak Khalisah punya sahabat lain?"
Khalisah semakin tak mengerti perkara yang mau dipermasalahkan Hara. "Lain maksud kamu itu apa? Aku cuma punya Humaira sebagai sahabatku."
"Terus pak polisi itu? Kalian terlihat udah kenal lama," tukas Hara mengiring Khalisah ke meja makan yang tertata makanan.
Khalisah menarik lengannya yang digandeng Hara. "Langsung ke intinya saja. Apa yang mau kamu bicarakan?"
"A-aku." Keringat dingin mulai bercucuran di dahi Hara, dan mata bumil itu melirik ke sana-kemari tak tentu.
"Katakan," tuntut Khalisah menyipitkan mata.
Hara memainkan jarinya pertanda gugup, sehingga bicaranya pun terbata-bata. "Aku pikir Mbak punya seseorang yang mencintai, Mbak."
"Lalu," erang Khalisah hingga Hara tersentak.
"Aku pikir Mbak Khalisah bisa melepaskan A--"
"Memang siapa yang mengikat, mas Abi?" sentak Khalisah memotong ucapan adik madunya. "Aku tidak pernah memohon-mohon pada mas Abi untuk menikahiku, begitu juga mempertahankanku. Jangan berkata sembarangan."
"Tapi Abi mencemaskan, Mbak!" pekik Hara, mulai menantang Khalisah.
"Memang ada masalah dengan itu? Kamu cemburu, iri, dengki?"
"Abi kerepotan gara-gara, Mbak!"
"Itu resiko mas Abi karena menikahi."
"Apa-apaan kalian?" teriak mama Laili yang muncul dari dapur. Beliau yang sedang menyabuni diri harus segera membasuh lantaran mendengar keributan.
Hara hendak mengeluarkan suara, namun telapak tangan Khalisah menutup mulutnya.
"Tidak perlu menjelaskan, karena tanpa penjelasan pun Mama tetap mendukung kamu, Hara."
Khalisah berlalu ke kamar dan menghempas di kasur. Menelungkup wajahnya pada bantal dan memukul-mukul kasur. "Tenang, Khalisah. Anggap saja dia lagi ngidam marah-marah.
Diluar kamar.
Mama Laili kembali bertanya, "Apa yang terjadi?"
Hara tersenyum. "Enggak ada, Ma. Enggak usah Mama pikirkan. Baik kita makan sekarang ya."
Menarik kursi untuk mama Laili duduk, barulah ia duduk di sampingnya. Mereka menikmati makan malam berdua.
...☠️...
...☠️...
...☠️...
Ongkos parkirnya 😈🗡️