Denara baru saja menyelesaikan sebuah novel di sela-sela kesibukannya ketika tiba-tiba dia terikat pada sebuah sistem.
Apa? Menyelamatkan Protagonis?
Bagaimana dengan kisah tragis di awal tapi menjadi kuat di akhir?
Tidak! Aku tidak peduli dengan skrip ini!
Sebagai petugas museum, Denara tahu satu atau dua hal tentang sejarah asli di balik legenda-legenda Nusantara.
Tapi… lalu kenapa?
Dia hanya ingin bersenang-senang!
Tapi... ada apa dengan pria tampan yang sama disetiap legenda ini? Menjauhlah!!
———
Happy Reading ^^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DancingCorn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Reality (2)
Denara segera melangkah ke meja resepsionis rumah sakit.
"Permisi... apakah Bu Wenny ada?" tanyanya dengan nada pelan namun jelas.
Resepsionis yang berjaga menoleh dan tersenyum sopan. "Ada. Tapi... apakah kamu sudah membuat janji sebelumnya?"
Denara menggeleng pelan. "Maaf, belum. Tapi... bisakah aku merepotkan mu untuk bilang, Denara Caelestis Ardhana sedang mencarinya?"
Resepsionis itu sempat tercengang sejenak. "Nama kamu... Ardhana?"
Denara mengangguk dengan tenang.
Reaksi wanita itu langsung berubah. Dia bangkit dari balik meja. "Dr. Wenny memang sudah berpesan. Kalau ada anak muda bernama Ardhana mencarinya, aku harus segera mengantarnya."
Resepsionis itu menyambut Denara dengan ramah, sopan, dan penuh hormat. Dari raut wajahnya, jelas dia mengenal nama keluarga Denara.
Memang, Denara bukan berasal dari keluarga biasa. Kedua orang tuanya memiliki perusahaan yang cukup besar. Meskipun belum termasuk jajaran orang paling kaya di negeri ini, mereka dikenal sebagai keluarga berada. Terutama karena kepeduliannya pada pendidikan.
Salah satu hobi orang tuanya adalah menyokong pendidikan anak-anak berprestasi dari keluarga kurang mampu. Mereka tidak segan mensponsori siapa pun yang serius ingin menggapai pendidikan setinggi langit.
Dr. Wenny adalah salah satu penerima bantuan itu.
Saat SMA, dia nyaris putus sekolah karena tidak ada biaya. Suatu hari, dia berjalan tanpa arah di trotoar, bingung dan putus asa. Hingga takdir mempertemukannya dengan Denara kecil. Percakapan singkat mereka menarik perhatian ayah Denara, dan sejak itu, hidup Wenny berubah.
Pendidikan Wenny dibiayai hingga dia menjadi dokter spesialis bedah seperti sekarang.
Namun, jika keluarga Denara begitu berada, kenapa dia kini bekerja sebagai resepsionis di museum?
Semuanya berubah karena tragedi. Saat Denara sedang menjalani tes ujian masuk perguruan tinggi, kedua orang tuanya meninggalkan kantor untuk menjemputnya. Namun di tengah perjalanan, mereka terlibat dalam kecelakaan beruntun di sebuah jembatan. Kecelakaan besar yang merenggut banyak nyawa. Kedua orang tua Denara juga meninggal di tempat saat itu.
Tidak ada yang bisa dia salahkan. Bahkan jika dia ingin marah, dia tidak tahu harus marah pada siapa.
Seiring waktu, perusahaan keluarga pun menurun, hingga akhirnya dibeli oleh MH Group, sebuah perusahaan baru yang tengah naik daun. Denara tidak tahu banyak soal proses itu. Namun, entah bagaimana, dia tetap memiliki cukup uang untuk menyelesaikan kuliah dan hidup dengan layak setelahnya.
Setelah lulus, dia sempat bimbang akan masa depannya. Lalu datanglah tawaran dari sebuah museum. Pekerjaan pertama yang dia terima, katanya karena nilai akademisnya yang gemilang.
Namun akhirnya Denara tau. Seorang pejabat muda yang pernah dibantu ayahnya diam-diam menyapa pihak museum agar memberikan kesempatan itu.
Kini, setiap kali mengunjungi makam orang tuanya, Denara selalu merasakan campuran antara kehilangan dan kekaguman.
Mereka mungkin tidak tahu masa depan seperti apa yang menanti, tapi mereka tahu bagaimana membangun kebaikan. Dan di saat dunia tampak gelap, kebaikan itulah yang kembali padanya. Melalui orang-orang yang pernah disentuh oleh ketulusan mereka.
Akhirnya Denara berdiri di depan pintu ruangan Dr. Wenny. Resepsionis itu mengetuk perlahan.
"Masuk." Suara wanita muda yang tegas terdengar dari dalam ruangan.
Resepsionis membuka pintu perlahan. "Permisi, Dr., Nona Ardhana mencari anda."
“Huh? Nara?” Dokter muda itu segera bangkit dari balik mejanya. Matanya membesar. “Ada apa? Kamu sakit? Tidak enak badan? Terluka?” tanyanya panik, lalu cepat-cepat menarik tangan Denara dan menuntunnya duduk di sofa empuk di sudut ruangan.
“Aku… tidak…” Denara menggantungkan kalimatnya. Lidahnya kelu.
Dia tidak tahu harus mulai dari mana. Dia bahkan tidak yakin bisa menceritakan apa yang sebenarnya sedang dia alami. Apalagi soal sistem aneh itu. Bukankah dia bisa dianggap tidak waras?
"Kalau begitu aku akan pergi dulu." Kata Resepsionis itu.
"Oh, iya. Terimakasih kak." Kata Denara sopan.
Dr. Wenny juga mengangguk, "Terimakasih."
Begitu ruangan kembali sepi, Wenny menatap Denara dalam-dalam. Tatapan yang tajam namun penuh perhatian. “Sekarang ceritakan. Ada apa?”
Denara menggigit bibirnya. Dia mengingat kembali gejala-gejala yang disebut sistem itu. Daripada menjelaskan yang tidak bisa dijelaskan, dia memilih menyampaikan apa yang bisa dia ingat.
Denara memiliki ingatan yang baik, jadi dia mulai menyampaikan semua hal itu dengan lancar. "Epistaksis kronis (mimisan berulang), anemia sekunder, hipoksia ringan, kelemahan otot....."
Setelah menyebut serangkaian gejala, Denara sedikit menunduk dan bicara lirih, "... Apakah itu bisa menjadi tanda-tanda penyakit genetik?"
Dr. Wenny segera menjadi serius. “Cepat. Kita lakukan CT scan sekarang. Aku juga butuh darahmu untuk lab,” katanya sambil bangkit, menghubungi tim medis lewat interkom.
Tanpa menunggu, dia menuntun Denara keluar ruangan untuk pemeriksaan mendesak.