Kehidupan yang semula diharapkan bisa mendatangkan kebahagiaan, rupanya merupakan neraka bagi wanita bernama Utari. Dia merasakan Nikah yang tak indah karena salah memilih pasangan. Lalu apakah Utari akan mendapatkan kebahagiaan yang dia impikan? Bagaimana kisah Utari selanjutnya? simak kisahnya di sini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon emmarisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua
Nisa ingin memanggil Akmal, tetapi Utari buru-buru membekap mulut putrinya itu. Utari menarik Nisa ke belakang, ia menatap ke arah Akmal. Utari
melihat Akmal sedang makan bersama seorang perempuan dan seorang bocah laki-laki, kira-kira usianya mungkin empat atau lima tahun. Saat melihat wajah perempuan itu, kaki Utari tiba-tiba lemas.
"Mbak Hana."
Hana adalah supervisor Utari sewaktu dia bekerja di pabrik dulu. Dulu Utari dan Hana cukup dekat. Dia tahu jika Hana belum menikah, tapi kenapa sekarang tiba-tiba.
Bulir air mata Utari jatuh untuk kesekian kalinya. Wajah Utari memucat dengan pikiran yang berkecamuk. Tak lama Akmal keluar dari warung bakso sembari menggendong bocah laki-laki tadi.
"Ayah, terima kasih, ya, sudah jajanin Iqbal bakso."
"Apa, sih, yang engga buat anak ayah." Akmal tertawa sembari mencium Iqbal, sementara Mbak Hana melingkarkan tangannya di lengan Akmal. Sekarang tak hanya Utari yang meneteskan air mata. Nisa pun ikut menangis di sudut gelap dekat warung bakso.
"Bu, jadi bapak punya anak lain?" tanya Nisa dengan suara bergetar.
Kenapa, Mas? Kenapa kamu sakiti aku sampai sedalam ini? Bahkan Nisa juga harus jadi korban kekejamanmu.
"Mungkin itu anak teman bapak. Nanti kalau bapak pulang, ibu tanya bapak. Sekarang ayo makan bakso, Nisa kan katanya mau makan bakso."
Nisa menggeleng, "Aku ga mau makan bakso, Bu. Aku ga mau makan bakso," ujar Nisa sambil menangis keras. Beruntung Akmal dan Hana sudah pergi. Utari buru-buru memeluk Hana.
"Ya sudah, kita cari makan lainnya, apa Nisa mau?" tanya Utari. Meski hatinya sekarang hancur berkeping-keping, tapi dia tetap harus menjadi tegar demi putrinya.
Utari membawa Nisa pulang. Sejak dari warung bakso, Nisa tidak bicara sama sekali, hanya terdengar isakkan dari bibir mungilnya.
Utari cukup kesusahan menggendong Nisa karena seharian dia juga belum mengisi perutnya. Malam itu, langit gelap gulita seolah bisa merasakan kesedihan Utari dan Nisa. Tak lama hujan turun dengan deras seperti air yang dituang begitu saja dari langit. Utari setengah berlari menggendong Nisa dan berteduh di halte yang tak jauh dari konter HP Bian.
Nisa sepertinya tertidur. Dia bersandar lemas di bahu Utari. Utari merogoh hpnya di tas. Dia mencari nomor suaminya dan menghubunginya. Namun, sebanyak apapun Utari menghubungi Akmal nomornya selalu ditolak.
"Aku ga nyangka kamu bisa sejahat ini sama aku dan Nisa, Mas."
Dari konter, Bian yang hendak pulang melihat Utari dan Nisa. Alisnya berkerut. Bukankah tadi mereka pergi untuk makan bakso? Lalu kenapa mereka ada di sana sekarang? Bian mengambil payung dari mobilnya dan segera menghampiri Utari dan Nisa.
"Utari, kok di sini?" Utari yang sejak tadi menunduk kini mengangkat kepalanya. Karena kedua tangannya tidak ada yang menganggur, dia tidak sempat mengusap air matanya.
"Kamu kenapa?" tanya Bian khawatir. Utari menggeleng lemah, air matanya semakin menganak sungai.
"Kita ke sana dulu. Itu kasihan Nisa tidur. Kamu pegang payungnya, biar aku yang gendong Nisa."
Tanpa menunggu jawaban Utari Bian meletakkan payungnya dan mengambil Nisa dari gendongan Utari. Namun, saat Bian mengambil alih Nisa, alisnya tiba-tiba berkerut dalam.
"Utari, ini Nisa kayaknya demam. Apa kamu ga rasain tadi?"
Utari terlihat linglung. Bian merasa Utari sedang dalam masalah. Dia menggendong Nisa di lengang kiri dan membawa payung dengan tangan kanannya.
"Ayo." Utari tidak banyak bicara, dia hanya mengikuti Bian dengan wajah cemas.
Utari bahkan tidak sadar jika Bian masukkan Nisa ke mobilnya. "Kamu duduk di situ temani Nisa. Kita bawa Nisa ke rumah sakit."
Bian segera masuk ke dalam mobil dan mengemudikan mobilnya menuju rumah sakit. Meski hujan begitu deras, tapi Bian mengemudi dengan stabil. Sesekali dia melirik ke spion. Dia memandang Utari sekilas dan merasa ada sesuatu.
Setibanya di rumah sakit, Nisa langsung ditangani dokter. Utari terduduk di depan pintu IGD dengan wajah berantakan. Jejak air mata masih tampak jelas di wajahnya.
"Tari, ada apa?" Utari mengangkat kepalanya dan menatap Bian. Tatapan matanya kosong.
Air mata segera mengalir lagi. Sungguh Bian amat sangat benci melihat Utari rapuh. Bian merogoh sakunya, dia menyerahkan sapu tangannya pada Utari. Jujur sebenarnya Bian ingin mengusap langsung air mata di wajah Utari, tapi dia masih harus menghargai wanita itu.
Utari mengusap air matanya. Namun, sialnya air matanya tidak bisa berhenti. Hatinya begitu sesak dan sakit. Bahkan dia sampai tidak sadar jika sejak tadi dia gemetaran.
"Tari, kamu ga kasih kabar ke suami kamu?" tanya Bian. Utari menggeleng lemah. Dia sudah berusaha menghubungi Akmal tadi, tapi pria itu bahkan menolak panggilannya sebanyak apapun dia mencoba.
Pintu ruang IGD terbuka, dokter yang menangani Nisa keluar. "Maaf, Pak, putri anda tadi sempat mengalami kejang, saya sarankan untuk rawat inap."
"Baiklah, lakukan yang terbaik. Saya akan segera mengurus administrasinya," kata Bian. Dia bahkan tidak repot mengoreksi ucapan dokter tadi.
"Ra_rawat inap?" Utari tiba-tiba limbung dan jatuh pingsan. Hari ini tubuhnya yang lemah tidak lagi mampu menahan guncangan psikis apapun, untungnya Bian bisa menangkap Utari tepat waktu.
"Tolong periksa dia juga, Dok." Bian mengangkat Utari ke dalam ruang IGD. Utari pun segera mendapatkan penanganan. Atas permintaan Bian, Utari dan Nisa ditempatkan di ruangan yang sama.
Sementara itu, Akmal yang baru saja selesai mandi, mendengus kesal, ponselnya ada di tangan Hana sekarang.
"Ada apa, Hana?"
"Istri pertamamu sejak tadi terus meneleponmu. Sepertinya dia udah gatel pengen disentuh kamu, Mas," kata Hana kesal. Akmal melemparkan handuk sembarangan dan duduk di belakang Hana. Dia memeluknya dari belakang dan menenggelamkan wajahnya diceruk leher wanita itu.
"Tadi seharusnya kamu ga tolak panggilannya. Lain kali abaikan saja. Toh, selama ini setiap malam kamu yang aku gauli. Jadi tidak perlu cemburu sama Utari."
"Kamu berani sebut dia di kamar kita, Mas?" Hana menoleh sambil melotot. Namun, Akmal buru-buru membungkam bibirnya dengan ciuman. Amarah Hana mereda. Setelah Akmal melepaskan ciumannya Hana bersandar di dada pria itu.
"Pokoknya aku ga mau tahu, Mas. Kamu harus ceraikan dia. Aku ga mau hubungan kita gini gini aja."
"Sabar, Sayang. Kalau kita nikah sah, nanti salah satu diantara kita harus keluar dari pekerjaan. Aku ga mau jauh jauh dari kamu," kata Akmal.
Tangannya bergerak liar sembari mengucapkan beberapa kata manis untuk meredakan amarah istri keduanya. Ya, diam-diam Akmal menikahi Hana yang notabene adalah teman Utari. Mereka melakukan hubungan terlarang setelah Akmal tahu jika Utari mengandung anak perempuan. Bagi Akmal yang keluarganya menganut patriarki dimana laki-laki yang lebih diutamakan, dia tidak terima jika istrinya melahirkan anak perempuan.
"Kamu beneran ga pulang, kan, malam ini, Mas?"
"Iya, engga. Aku mau peluk kamu aja," kata Akmal. Dia benar-benar mengabaikan Utari. Bahkan dia tidak mau tahu kenapa Utari menghubunginya berulang kali.
utari pokoknya untuk Bian gak boleh sm yang lain 😁
ni karena mau merasakan kekayaan utari makanya di bujuk utari buat rujuk sm si akmal ...
Bagus utari jawaban yang bagus biar kapok tuh si ibu