Sebuah rumah besar nan megah berdiri kokoh di tengah pedesaan yang jauh dari perkotaan. Rumah yang terlihat megah itu sebenarnya menyimpan banyak misteri. Rumah yang dikira biasa, nyatanya malah dihuni oleh ribuan makhluk halus.
Tidak ada yang tahu tentang misteri rumah megah itu, hingga satu keluarga pindah ke rumah tersebut. Lalu, mampukah mereka keluar dengan selamat dari rumah tempat Iblis bersemayam itu? Ikuti perjalanan mistis Bachtiar Purnomo bersama keluarganya!k
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rijal Nisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 24
"Bu, habis dari mana kamu?" tanya ki Seto.
Bi Iren berjalan lurus ke dapur tanpa menjawab pertanyaan suaminya, dalam dua hari ini tingkah sang isteri membuat ki Seto merasa tidak nyaman.
Keanehan demi keanehan terlihat jelas pada bi Iren, dari cara makan, cara bicara, dan semua itu sangat berbeda dari bi Iren yang dulu.
Tak cuma ki Seto, Rendra pun ikut merasakan keanehan dari neneknya.
"Bu, ditanya kok malah pergi gitu aja. Kamu ini aku perhatikan agak beda loh, Bu." Ki Seto berjalan menuju dapur.
Lelaki tua itu sangat terkejut ketika sepasang matanya menangkap sosok hitam di belakang bi Iren.
Ki Seto mengedipkan matanya sekali, berharap kalau itu cuma halusinasi.
Setelah dilihat sekali lagi, ternyata tidak ada apa-apa di belakang bi Iren.
Akhirnya ki Seto menghela napas lega, namun pikirannya tidak tenang. Beliau tahu kalau yang tadi dilihatnya bukan cuma sekadar halusinasi.
"Kakek lagi ngelihatin apa?" kini Rendra sudah berada di dekat kakeknya.
"Nenekmu itu loh, Dra. Makin lama makin aneh, kayak ada yang enggak beres sama nenekmu," ucap ki Seto dengan suara dibuat sekecil mungkin.
Rendra mengajak kakeknya untuk menjauh dari ruang dapur.
"Aku pernah memergoki nenek keluar dari rumah bu Anggun, tidak ada satu orang pun yang tahu kalau nenek datang ke sana. Aku juga tidak tahu apa tujuannya, cuma mbah Ijan sempat bilang kalau ada seseorang yang sedang mendengar obrolan kami, dan ternyata itu nenek."
Ki Seto berpikir sejenak setelah mendengar cerita Rendra.
Beliau manggut-manggut, kemudian tersenyum tipis.
"Apa Kakek tahu nenek kenapa?"
"Dia bukan nenekmu, Dra."
Baru saja ki Seto ingin mengatakan apa yang dicurigainya dari perubahan sikap sang istri, tiba-tiba bi Iren memanggil mereka.
"Rendra! Ayo cepat makan! Ajak kakekmu juga!" seru bi Iren dari dapur, Rendra semakin tidak mengerti akan sikap neneknya yang berubah-ubah.
Ki Seto menggeleng pelan, mengisyaratkan pada Rendra untuk tidak bertanya apa pun pada neneknya.
"Jangan terlalu memikirkan hal itu, sebaiknya kita ke dapur dulu. Jangan buat nenekmu curiga kalau kita sudah menyadari bahwa dia bukan seutuhnya nenekmu."
"Baik, Kek!"
Dengan patuh Rendra mengikuti langkah kakeknya menuju dapur.
Ki Seto membuka tudung saji, melihat makanan yang tertata di atas meja. Semua itu memang masakan yang biasa dimasak oleh istrinya, tapi ada keanehan pada masakan itu.
Potongan ikannya tidak seperti biasa, darah juga tidak dibersihkan dengan benar, masih tercium bau amis.
Bi Iren adalah orang yang sangat teliti dan tidak pernah memasak seperti itu. Rendra merasa mual saat mencium aroma makanannya, belum dimakan saja sudah membuat perutnya semual ini.
"Kek, aku ke belakang dulu." Rendra segera bangun dan pergi ke kamar mandi.
Di sana, seluruh isi dalam perutnya keluar. Cowok itu memuntahkan semua makanan yang tersisa dalam perutnya.
Dia masih beruntung karena belum memakan makanan yang dibuat sang nenek.
Ki Seto juga mengalami hal yang sama, lelaki itu cuma duduk melamun sambil terus memandangi makanannya. Perutnya juga mual, mulutnya tak sanggup jika harus memakan makanan berbau seperti itu.
"Kenapa enggak dimakan, Pak?"
"Perutku tiba-tiba sakit, Bu." Ki Seto mengelus perutnya, dan beliau sengaja memasang ekspresi kesakitan. Itu semua cuma alasan yang dibuat-buat, supaya beliau tidak perlu memakan makanan yang dibuat oleh isterinya.
"Kalau enggak suka ya nggak masalah toh, Pak. Aku juga bisa menghabiskan semua makanan ini sendiri," ucap bi Iren tanpa sedikit pun menoleh ke arah suaminya.
Dengan lahap wanita tua itu memakan semua lauk yang terhidang di atas meja. Dalam sekejap mata semua habis tak tersisa, cara makannya sangat cepat.
Rendra yang baru keluar dari kamar mandi hanya bisa bengong melihat hal tersebut.
Gluk!
Gluk!
Gluk!
Air dalam teko itu juga habis, setelah memakan semua makanan tadi, bi Iren pergi meninggalkan dapur.
Mata Rendra sama sekali tak berkedip melihatnya, dia kemudian ditegur oleh ki Seto.
"Rendra, jangan berdiri di sana aja. Ikuti ke mana nenekmu pergi!" suruh ki Seto.
"Ba-baik, Kek."
Rendra keluar dari rumah, dia mengikuti neneknya. Ki Seto berlari ke arah rumah Bachtiar, beliau hendak meminta bantuan dari mbah Ijan.
Rendra terus berlari mengejar bi Iren, langkah wanita itu sangat cepat. Sulit dipercaya kalau orang tua seperti bi Iren bisa berjalan secepat itu layaknya orang masih muda.
"Nek, tunggu!" seru Rendra.
Tidak ada tanggapan, bi Iren terus melangkah tanpa peduli dengan panggilan cucunya.
"Tunggu, Nek!"
"Akan kubuat kalian tunduk padaku," ucap bi Iren sambil terus menjauh dari rumahnya.
Rendra mengejarnya dari belakang, namun anak itu tak bisa menyamai langkah kaki sang nenek.
Sekencang apa pun dia berlari, tetap saja dia tertinggal jauh.
Baru beberapa menit perjalanan menuju rumah pak Bachtiar, langkah kaki ki Seto terhenti.
Mengingat betapa lamanya kalau pergi jalan kaki ke sana, apalagi di saat kondisi sedang genting seperti ini ki Seto berbalik arah dan pulang ke rumah.
Beliau berniat pergi dengan menaiki sepeda ontelnya saja.
Langit yang awalnya cerah, mendadak hitam seketika.
.
Sepeda terus dikayuh, ki Seto tidak peduli akan rintikan hujan yang mulai jatuh membasahi tanah kuning tempatnya berjalan.
Dalam hitungan detik rintikan itu berubah menjadi lebih deras. Jalan menjadi licin, ki Seto menjadi kesusahan dalam mengayuh sepedanya.
Di rumahnya, Anggun sedang menatap langit. Cuaca yang berubah gelap membuat hatinya sangat khawatir. Ia teringat akan putrinya dan juga Andini, kedua anak itu masih berada di desa winara.
Bella berada dalam kamar dengan ditemani oleh Dewi, sedangkan mbah Ijan ada di lantai bawah bersama Bachtiar.
Anggun buru-buru masuk ke dalam saat hujan beserta angin kencang mulai datang.
Dedaunan terbang ditiup angin, menyapu jalan yang semakin basah terkena hujan.
Ki Seto memanggil Anggun dengan suara kencang, untungnya saat itu Anggun masih belum masuk ke dalam rumah.
"Bu Anggun! Tunggu!"
Anggun berbalik, ia menatap ki Seto dengan ekspresi bingung.
Dalam keadaan hujan begini ada keperluan apa sehingga lelaki itu mendatangi kediamannya.
Ki Seto terengah-engah, bajunya sudah basah kuyup.
"Ki, Ki Seto ngapain hujan-hujan begini datang ke sini?" tanya Anggun.
"Ada yang penting, Bu. Saya butuh bantuan mbah Ijan," ucap ki Seto.
Melihat keadaan ki Seto yang sedikit kacau dan wajah khawatirnya, Anggun langsung menebak kalau telah terjadi sesuatu pada keluarga lelaki itu.
"Ayo masuk, Ki!" ajak Anggun.
Anggun tidak bertanya lebih jauh lagi, dia langsung menyuruh ki Seto untuk masuk dan bertemu dengan mbah Ijan.
"Jangan! Saya di sini saja, lagian seluruh baju saya sudah basah seperti ini."
"Ki, kalau di luar seperti ini nanti Aki bisa sakit." Ki Seto akhirnya masuk juga, beliau bertemu dengan mbah Ijan di ruang tengah.
Sebelum mengatakan tujuannya datang menemui mereka, pak Bachtiar mengajak ki Seto untuk ganti pakaian lebih dulu.
.
"Tolong saya, Mbah. Isteri saya sudah dirasuki oleh roh jahat," ucap ki Seto mengiba.
"Saya sudah tahu, Seto. Isteri kamu bukan dirasuki tanpa sadar, tapi dia sendiri yang memberikan tubuhnya secara suka rela."
Ucapan mbah Ijan membuat yang lain tercengang.
"Tidak mungkin! Istri saya tidak mungkin memberikan tubuhnya sendiri kepada Iblis itu," bantah ki Seto tak percaya.
Pyar!
Suara petir membuat mereka kaget, berubahnya cuaca secara mendadak seperti itu pasti ada penyebabnya.
Prang!
Gelas pecah sendiri, di atas meja dapur belingan kaca bertebaran.
Bella yang saat itu sedang ditemani makan oleh Dewi, segera menghentikan acara makannya.
Ingin bersikap acuh tapi tak bisa. Dewi menyuruhnya untuk tenang, dia sudah biasa melihat hal aneh seperti itu.
Saat pertama kali membangkitkan Mulan, ia juga sempat diteror, namun lambat laun ia tidak merasakan hal itu lagi.
"Mbak, sepertinya rumah ini sudah tidak aman lagi," desis Bella.
Brak!
Baru saja Bella hendak bangun dari kursi yang didudukinya, tiba-tiba kursinya ditarik cukup kencang hingga membuat tubuhnya terhempas ke lantai.