" Kamu adalah alasan kenapa aku mengubah diriku, Gus. Dan sekarang, kamu malah mau meninggalkan aku sendirian?" ujar Raya, matanya penuh dengan rasa kecewa dan emosi yang sulit disembunyikan.
Gus Bilal menatapnya dengan lembut, tapi tegas. "Raya, hijrah itu bukan soal aku atau orang lain," ucapnya dengan suara dalam. "Jangan hijrah karena ciptaan-Nya, tetapi hijrahlah karena Pencipta-Nya."
Raya terdiam, tetapi air matanya mulai mengalir. "Tapi kamu yang memotivasi aku, Gus. Tanpa kamu..."
"Ingatlah, Raya," Bilal memotong ucapannya dengan lembut, "Jika hijrahmu hanya karena ciptaan-Nya, suatu saat kau akan goyah. Ketika alasan itu lenyap, kau pun bisa kehilangan arah."
Raya mengusap air matanya, berusaha memahami. "Jadi, aku harus kuat... walau tanpa kamu?"
Gus Bilal tersenyum tipis. "Hijrah itu perjalanan pribadi, Raya. Aku hanya perantara. Tapi tujuanmu harus lebih besar dari sekadar manusia. Tujuanmu harus selalu kembali kepada-Nya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sha whimsy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4
Setiap pertemuan, tak peduli seberapa singkat, memiliki makna tersendiri dalam cerita hidup kita.
***
Setelah beberapa saat mengobrol, handphone Fatimah berdering tanda ada panggilan masuk. "Eh Ray, mama nelpon ni aku angat dulu ya, " katanya sambil melambai pada Raya.
“Okeee, aku kesana yaa pengen eskrim juga !” jawab Raya, lalu melanjutkan langkahnya menuju warung es krim.
Sambil berjalan dan bermain dengan ponselnya, Raya terhanyut dalam pikirannya. Tanpa sadar, dia menabrak seseorang dan hampir jatuh. "Aduh!" serunya, hampir kehilangan keseimbangan. Untungnya, orang itu sigap menahan tubuhnya.
Dua pasang mata mereka bertemu, dan keduanya tertegun. Wajah orang itu terasa tidak asing, seolah mereka pernah bertemu sebelumnya. Raya menatapnya dengan bingung. "Eh, maaf, gue nggak lihat," ucapnya dengan cepat, berusaha mengalihkan rasa malu.
Laki-laki di depannya itu juga tampak canggung, belum pernah ia bersentuhan dengan perempuan selain mama dan adiknya, Fatimah. Sedangkan tadi dia secara tak langsung memeluk gadis itu. Dia menunduk, tak berani menatap gadis di depannya.
"Lain kali hati-hati," ucapnya dengan nada dingin.
"Iya, sorry," jawab Raya, sedikit jutek. Ia memperhatikan laki-laki di depannya itu, yang terlihat sangat tidak asing. 'Nih orang kok gue kayak pernah liat ya, ' batin Raya.
"Apa kita pernah ketemu?" tanyanya, ingin memastikan.
Laki-laki itu diam saja, terus melihat ke bawah. Raya tiba-tiba teringat. "Lo... lo yang siram gue waktu itu, kan? Ngaku lo?" Tuding Raya sambil jari telunjuknya diarahkan didepan wajah Laki-laki bertubuh tinggi itu.
Laki-laki itu tampak terkejut, menatap Raya sekilas sebelum kembali menundukkan kepalanya. Ia teringat insiden dirinya tak sengaja menyiram seseorang di toko bunga kemarin.
"Masalah itu saya gk sengaja , maaf, " Kata laki-laki yang bernama Bilal itu dengan wajah datarnya dan tanpa menatap lawan bicaranya.
"Udah gue maafin, tapi setidaknya lo kemaren ga langsung pergi gitu aja kasi gue penjelasan kek, " Kata Raya kesal.
Bilal tak menjawab, masih setia menundukkan kepalanya, berusaha menjaga pandangan nya dari gadis yang berdiri didepan nya. ' Kenapa juga ada gadis yang berpakaian seperti itu ditempat umum seperti ini, ' pikir Bilal. Berharap gadis didepannya segera pergi. Tapi bukannya pergi Raya malah terus terusan menatap Bilal.
" Belum pernah liat gue, nih orang ganteng banget, " Ucap Raya di dalam hati. Tanpa sadar ia jatuh dalam pesona sosok Bilal.
"Kalo gitu saya permisi, " Kata Bilal. Jujur dirinya sangat risih ditatap dengan cara seperti itu dan ingin segera meninggalkan gadis didepannya itu.
"Tunggu.. Tunggu, " Cegah Raya tiba-tiba, sebelum Bilal berjalan menjauh.
"Ada apa lagi ? " Tanya Bilal tanpa berbalik.
Raya berjalan mendekati Bilal dan berdiri di hadapannya. " Gue belum pernah liat lo, lo orang baru di desa ini ya? "
"Saya... " Belum selesai Bilal menjelaskan tentang dirinya. Raya sudah memotong nya.
"Iya iya gue tau. Nama gue Raya Altaresha salam kenal yaa, " Kata Raya memperkenalkan dirinya tanpa rasa canggung sedikit pun.
" Bilal, " Jawab Bilal singkat.
"Sudah yaa saya ada urusan lain, " Kata Bilal sebelum pergi.
" Okee... Sampai ketemu lagi kakak ganteng," Kata Raya melambaikan tangannya dan tersenyum manis. Tentu saja ia ingin mencari perhatian.
Bilal sudah berjalan menjauh dari Raya. Samar samar mendengar perkataan Raya, tanpa ia sadari senyum tipis terbit diwajahnya.
Setelah pertemuan singkat dengan Raya, Bilal berjalan cepat menuju tempat di mana Fatimah menunggunya. Fatimah sudah selesai berbicara di telepon dengan ibunya dan berdiri sambil memegang es krim yang hampir habis.
“Eh, lama banget, Kak! Ngapain sih?” tanya Fatimah heran saat melihat Bilal mendekat. Dia bisa melihat ada sesuatu yang aneh dalam ekspresi kakaknya, meskipun Bilal berusaha menyembunyikannya.
“Gak ada apa-apa,” jawab Bilal singkat, berusaha tetap menjaga sikap tenang. Ia tidak ingin membahas kejadian tadi.
Fatimah mengerutkan kening, tidak percaya dengan jawaban kakaknya yang terlalu singkat. "Serius nih, Kak? Kok kayak ada yang beda?" tanyanya sambil berusaha mencari tahu lebih lanjut.
Bilal hanya mengangguk dan mengalihkan pandangannya. "Cuma ketemu orang tadi, gak penting," katanya, mencoba mengakhiri pembicaraan. Fatimah tampak tidak puas dengan jawaban itu, tapi dia tahu kakaknya tipe yang sulit terbuka, jadi dia tidak ingin memaksa lebih lanjut.
Mereka mulai berjalan pulang, suasana malam yang dingin menyelimuti desa yang tenang. Langkah kaki mereka perlahan menyusuri jalan yang mulai sepi. Fatimah tetap asyik menghabiskan es krimnya sambil bercerita tentang beberapa hal yang ia alami hari itu, tetapi Bilal hanya menjawab sekenanya, pikirannya masih melayang memikirkan pertemuannya dengan gadis yang bernama Raya.
Dalam hati, Bilal merasa aneh. Gadis bernama Raya itu terasa begitu ceria dan penuh percaya diri—kebalikan dari dirinya yang cenderung menahan diri dan menjaga jarak. Dia tidak terbiasa dengan orang yang begitu spontan dan berani seperti Raya.
“Kakak, dengerin gak sih?” tanya Fatimah, tiba-tiba menyadari bahwa Bilal tampak tidak fokus.
Bilal tersadar dan tersenyum kecil. "Iya, dengerin. Kamu ngomongin apa tadi?" tanyanya, meskipun jelas dia tidak mendengar apa yang dikatakan adiknya.
Fatimah menggeleng dengan ekspresi heran. "Ah, Kakak, kayaknya lagi banyak pikiran ya. Yaudah, besok aku cerita lagi, deh."
Mereka akhirnya tiba di rumah. Bilal segera masuk ke kamarnya, berusaha melupakan kejadian di taman tadi. Namun, tanpa bisa ditahan, wajah ceria Raya terus terlintas dalam pikirannya. Tanpa disadarinya, senyum kecil kembali muncul di wajahnya.
"Astaghfirullah kenapa aku ini ?" gumam Bilal pelan sambil menatap langit-langit kamarnya
***
Malam itu, Bilal duduk di meja belajarnya, dengan buku dakwah terbuka di depannya. Ia tengah mempersiapkan diri untuk kajian malam Jumat di masjid desa, di mana ia akan menjadi penceramah. Tugas ini bukan hal baru baginya, namun setiap kali ia mengambil bagian dalam kajian, ia selalu berusaha memberikan yang terbaik dan menyampaikan pesan yang bermakna.
Fokusnya tertuju pada halaman demi halaman, memperdalam pemahaman tentang tema yang akan dibawakan: tentang pentingnya menjaga hati dan sikap dalam kehidupan sehari-hari. Bilal selalu berpegang pada prinsip bahwa dakwah bukan hanya tentang menyampaikan ilmu agama, tetapi juga tentang membawa orang lain lebih dekat kepada Allah melalui kata-kata yang menenangkan dan menuntun.
Namun, sesekali pikirannya teralihkan. Wajah ceria Raya kembali muncul di ingatannya. Ia mencoba mengabaikannya dan fokus kembali pada kajian yang sedang dipersiapkan.
"Saya harus fokus," bisik Bilal pada dirinya sendiri, sambil membalik halaman buku.
Meski demikian, perasaan aneh yang muncul sejak pertemuan mereka siang tadi sulit untuk ditepis. "Apa ada hikmah dari pertemuan itu?" pikirnya, tapi ia segera menggelengkan kepala, berusaha mengembalikan fokusnya pada tugas dakwah yang ada di hadapannya.
Bilal memejamkan mata sejenak, berdoa agar Allah memberinya kelancaran dalam menyampaikan kajian nanti malam. "Ya Allah, berkahilah setiap kata yang akan hamba sampaikan nanti, jadikan ilmu ini bermanfaat bagi orang lain," doanya dengan tulus. Setelah itu, ia kembali membaca dengan tenang, mencoba mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk peran pentingnya sebagai penceramah malam nanti.
Di sisi lain, Raya sedang rebahan di kamarnya, matanya menatap langit-langit, mencoba menenangkan pikiran setelah pertemuan yang tak terduga dengan Bilal. Ia masih bisa merasakan sedikit rasa malunya, namun juga tak bisa menyangkal ada sedikit rasa penasaran terhadap laki-laki itu.
Tiba-tiba suara ibunya memecah keheningan. "Raya...," panggil seorang wanita paruh baya dari luar kamarnya.
"Iya, Bun?" jawab Raya sambil bangkit sedikit dari posisi tidurnya.
"Itu, di luar ada Fatimah. Keluar dulu sana," kata ibunya lembut.
Raya menghela napas, sedikit malas untuk bangkit, tapi akhirnya ia melangkah keluar dari kamar.
Di teras, Fatimah sudah menunggu dengan senyuman ramah seperti biasanya. "Eh, lo ngapain kesini, Tim?" tanya Raya sambil berjalan mendekat.
Fatimah tertawa kecil, sudah bisa menebak tanggapan Raya terhadap maksud kedatangannya. "Aku mau ngajak kamu ikut kajian malam ini di masjid. Ikut yuk, Ray?" ajak Fatimah penuh harap, meskipun ia tahu jawaban yang kemungkinan besar akan diterimanya.
Raya menyipitkan matanya, menatap sahabatnya itu dengan tatapan skeptis. "Kajian lagi? Lo tau kan, gue enggak pernah tertarik sama yang begituan," jawab Raya dengan nada malas.
Fatimah mengangguk kecil, sudah memprediksi respons itu. Namun, ia tetap tak menyerah. "Iya, aku tau kamu pasti nolak, tapi aku juga enggak pernah bosan ngajak kamu. Siapa tau hati kamu berubah, kan?" ujar Fatimah sambil tersenyum.
Raya memutar bola matanya dan tertawa pelan. "Gue heran sama lo. Udah tau gue selalu nolak, tapi tetep aja ngajak."
Fatimah mengangkat bahunya. "Namanya juga sahabat. Aku cuma mau kamu dapet kebaikan juga."
Raya tersenyum tipis. Meski ia sering menolak, ia tahu bahwa Fatimah mengajaknya bukan untuk memaksanya, tapi karena dia peduli. "Makasih, Tim. Tapi... kali ini gue gak ikut, deh. Lo tau gue bukan anak yang betah dengerin ceramah lama-lama."
"Ya udah, gak apa-apa," balas Fatimah dengan nada bersahabat. "Tapi kalau suatu hari kamu berubah pikiran, bilang aja ke aku,"
Raya hanya mengangguk. "Hati-hati ya di masjid," ujarnya.
Fatimah tersenyum sekali lagi, lalu melambai sebelum berangkat menuju masjid untuk menghadiri kajian. Raya menatapnya dari kejauhan, sejenak merenungkan kata-kata sahabatnya itu, meskipun ia tahu hatinya belum sepenuhnya terbuka untuk hal-hal seperti itu.