Dalam keheningan, Nara Wibowo berkembang dari seorang gadis kecil menjadi wanita yang mempesona, yang tak sengaja mencuri hati Gala Wijaya. Gala, yang tak lain adalah sahabat kakak Nara, secara diam-diam telah menaruh cinta yang mendalam terhadap Nara. Selama enam tahun lamanya, dia menyembunyikan rasa itu, sabar menunggu saat Nara mencapai kedewasaan. Namun, ironi memainkan perannya, Nara sama sekali tidak mengingat kedekatannya dengan Gala di masa lalu. Lebih menyakitkan lagi, Gala mengetahui bahwa Nara kini telah memiliki kekasih lain. Rasa cinta yang telah lama terpendam itu kini terasa bagai belenggu yang mengikat perasaannya. Di hadapan cinta yang bertepuk sebelah tangan ini, Gala berdiri di persimpangan jalan. Haruskah dia mengubur dalam-dalam perasaannya yang tak terbalas, atau mempertaruhkan segalanya untuk merebut kembali sang gadis impiannya? Ikuti kisahnya dalam cerita cinta mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EMPAT
Desir angin mengibas surai hitam Nara, gadis kecil itu ditemani Bara mengantar Gala ke bandara. Gala tampak sibuk melakukan check-in untuk mendapatkan boarding pass. Lantas Gala melangkah mendekat pada Bara dan Nara yang berdiri tak jauh dari Gala.
Tangisan Nara terdengar memilukan, Nara tertegun saat Gala memeluknya erat di pintu waiting room.
"Mas Pergi, mas tunggu kamu di kampus impianmu," bisik Gala pada gadis kecil itu. Nara mengangguk lalu membalas pelukan Gala lebih erat.
"Mas Gala janji ya, gak boleh ingkar," ucap Nara wajahnya mendongak menatap mata hitam Gala. Bara tersenyum melihat tingkah adiknya yang terlihat begitu posesif pada sahabatnya itu.
Setelah Gala melepas pelukan Nara, Bara pun memeluk Gala sebagai salam perpisahan.
"Jaga dirimu baik baik,jika membutuhkan bantuanku, cepat beritahu aku" bisik Bara.
Gala tersenyum sembari melirik ke arah Nara yang terus terisak dengan wajah tertunduk lesu,dan ternyata Bara menangkap tatapan mata Gala pada adiknya, yang terlihat tak biasa.
"Apa kamu menjanjikan sesuatu padanya?" tanya Bara memastikan. Gala tak menjawab pria itu hanya tersenyum simpul.
"Katakan, apa yang kamu janjikan padanya?" Desak Bara pada Gala.
"Itu hanya permintaan anak kecil, kamu tak perlu memikirkannya," elak Gala pada Bara.
"Ooo..baik lah. Cepat lah masuk, pesawat akan segera lepas landas. Ucap Bara melepas pelukannya.
Hari itu menjadi hari terakhir pertemuan antara Gala dan Nara.
Saat Bara melajukan mobilnya membelah jalanan, tiba-tiba hujan deras mulai menerabas bumi dengan ganas. Di dalam mobil, Nara yang duduk di sampingnya tampak pucat, keringat dingin mengucur di dahinya, dan nafasnya terengah-engah. Rasa sakit yang sejak tadi menggigit kepalanya semakin tak tertahankan, dan tiba-tiba matanya terpejam, tubuhnya terkulai lemas.
Bara, dengan refleks cepat, langsung menepikan mobilnya ke pinggir jalan. "Tahanlah, Nara," bisiknya sambil memeluk adiknya itu erat, mencoba memberikan sedikit kehangatan di tengah dinginnya hujan yang mengguyur. Dengan cekatan, ia mengatur posisi Nara agar lebih nyaman, memastikan kepala adiknya terlindung dan tidak terbentur.
Dengan hati yang berdebar, Bara kembali menyalakan mesin mobilnya dan memacu kendaraannya lebih cepat, mengarungi jalanan yang kini semakin licin. Setiap tikungan dijalani dengan penuh perhitungan, takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti jam, mereka tiba di klinik praktik Dokter Laras, yang dikenal akan keahliannya dalam menangani trauma psikologis. Bara bergegas membuka pintu dan menggendong Nara dengan hati-hati, berlari ke dalam mencari pertolongan.
"Dokter, tolong adik saya," serunya dengan nafas terengah-engah. Para perawat yang melihat keadaan darurat itu langsung bergerak cepat membantu, mengarahkan mereka ke ruang perawatan.
Di ruang itu, Bara duduk di samping tempat tidur Nara, memegang tangan adiknya, menunggu setiap kata yang akan diucapkan oleh dokter. Mata Bara tidak lepas dari wajah adiknya, berharap segala rasa sakit yang Nara derita dapat segera terobati.
Bara menatap tajam dokter yang berdiri di depannya, matanya berkaca-kaca namun ia mencoba keras untuk tidak menumpahkan air mata. "Jadi, apa yang harus kita lakukan, Dok?" tanyanya lagi, suaranya serak oleh kecemasan.
Dokter menarik napas dalam, seolah mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan situasinya.
"Kita harus memastikan bahwa Nara mendapatkan istirahat yang cukup dan lingkungan yang mendukung untuk pemulihannya. Saya sarankan untuk tidak memberitahukan kejadian hari ini jika ia bangun dan tampak bingung. Kita harus pelan-pelan menggali memori yang mungkin ia ingat."
Bara mengangguk, mencerna setiap kata yang diucapkan dokter Laras. "Tapi, apa yang bisa kita lakukan jika dia tidak ingat sama sekali, Dok?" tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran.
Dokter memegang bahu Bara, memberikan dukungan. "Kita akan menghadapi itu bersama, Pak Bara. Proses pemulihan memori bisa menjadi sangat kompleks dan membutuhkan waktu serta kesabaran. Apa lagi, trauma yang Nara alami itu begitu membekas dihatinya. Yang terpenting sekarang adalah menjaga Nara tetap tenang dan stabil."
Bara memandang ke arah ruangan di mana Nara sedang dirawat, dia merasa hatinya hancur melihat adik kesayanganya dalam kondisi seperti itu. Namun, ia tahu harus kuat, untuk Nara.
Kamar rumah sakit itu terasa sepi meski terang benderang oleh cahaya matahari yang menembus jendela. Nara, yang baru saja tersadar dari pingsannya, masih terasa lelah dan bingung dengan segala yang terjadi. Matanya yang sembab menatap Bara, dengan pandangan yang datar dan penuh tanya. Keringat dingin masih membasahi dahinya, memberikan tanda bahwa dia baru saja melalui fase yang sangat berat.
Bara, dengan hati pilu, meraih tangan Nara dan memeluknya erat. Cinta dan kekhawatiran bercampur menjadi satu dalam pelukannya. "Sayang, kamu sudah bangun," bisiknya dengan suara yang bergetar, mencoba menyembunyikan kecemasannya.
Dokter Laras, yang telah menangani Nara, mendekat dengan senyum yang hangat.
"Hay Nara, masih ingat dengan saya?" sapa dokter Laras" dengan suara yang lembut, berusaha membuat Nara merasa lebih nyaman.
Nara mengangguk perlahan, matanya bertemu dengan mata dokter Laras. Meski tatapannya masih kosong, ada sedikit pengakuan dalam pandangannya. "Em...dokter Laras," ucapnya, suaranya serak dan pelan.
Laras menepuk bahu Bara dengan lembut, . "Apa kamu mengingatnya?" tanya Laras, mencoba membantu Nara mengingat lebih banyak lagi.
Dengan usaha, Nara mengangkat kepalanya sedikit, menatap Bara yang masih memegang tangannya erat. "Mas Bara," sahutnya, suara yang hampir tidak terdengar namun penuh dengan kelegaan. Meski ingatannya masih kabur, mengenali wajah kakak kesayanganya memberikan kekuatan tersendiri bagi Nara.
Dokter laras tersenyum lalu meminta Bara keruangannya.
"Sepertinya Nara masih mengingat, namun coba pelan pelan Pak Bara tanyakan kejadian hari kemarin, apakan Nara masih mengingatnya. Karena pada penderita amnesia disosiatif, ingatan sebenarnya masih ada, tapi tersimpan sangat dalam di pikiran dan tidak dapat diingat. Meki begitu, ingatan tersebut dapat kembali muncul dengan sendirinya atau setelah dipicu oleh sesuatu yang ada di sekitar.
Karena Amnesia disosiatif yang Nara alami, berkaitan dengan trauma psikologis atau stres berat, yang merupakan akibat dari sebuah peristiwa traumatis yang Nara alami saat kecelakaan kecil dulu," ujar Dokter Laras.
Bara menghela nafasnya dalam, lalu meraup wajahnya dengan hati gelisah.
"Ini kejadiannya sudah lima tahun yang lalu Dok,kenapa begitu lama, untuk penyembuhannya?" Dokter Laras mengangguk.
"Kita harus lebih sabar, Pak Bara" ujar dokter Laras.
Setelah kondisi Nara membaik, Bara membawa Nara pulang. Namun saat di rumah, Nara tak sekalipun membahas prihal Gala. Hal itu pula yang membuat Bara hawatir, padahal Nara begitu antusias jika bercerita tentang Gala guru privatnya itu.
"Dek, apa kamu ingat apa yang kita lakukan, sebelum hujan deras kemarin?"tanya Bara memastikan.
Nara tampak berpikir, lalu menggeleng.
"Aku gak ingat," ucap Nara sembari meneguk air putih sebelum meminum obat yang dokter laras berikan.
Untuk lebih memastikan, Bara lalu mengambil ponselnya dan menunjukkan satu foto pada Nara.
"Kamu ingat foto ini?" tanya Bara menunjukkan foto Nara di bandara saat mengantar Gala.
"Kenapa aku ada di bandara, apa kita menjemput Eyang?" tanya Nara dengan wajah ingin tahunya.
Bara sontak menelan ludahnya serat, saat Nara bahkan tak mengingat Gala sama sekali saat ini.