Terjebak dalam kesalahpahaman di masa lalu, menyebabkan Lauren dan Ethan seperti tengah bermain kejar-kejaran di beberapa tahun hidup mereka. Lauren yang mengira dirinya begitu dibenci Ethan, dan Ethan yang sedari dulu hingga kini tak mengerti akan perasaannya terhadap Lauren. Berbagai macam cara Lauren usahakan untuk memperbaiki kesalahannya di masa lalu, namun berbagai macam cara pula Ethan menghindari itu semua. Hingga sampai pada kejadian-kejadian yang membuat kedua orang itu akhirnya saling mengetahui kebenaran akan kesalahpahaman mereka selama ini.
“Lo bakal balik kan?” Ethan Arkananta.
“Ke mana pun gue pergi, gue bakal tetap balik ke lo.” Lauren Winata.
Bagaimana lika-liku kisah kejar-kejaran Lauren dan Ethan? Apakah pada akhirnya mereka akan bersama? Apakah ada kisah lain yang mengiringi kisah kejar-kejaran mereka?
Mari ikuti cerita ini untuk menjawab rasa penasaran kalian. Selamat membaca dan menikmati. Jangan lupa subscribe untuk tahu setiap kelanjutan ceritanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Choi Jaeyi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permintaan Maaf
“Lo beneran bawa gue ke sini karena ada yang diomongin? Tapi kenapa lo malah diam bae,” seru Lauren yang sudah tak dapat menahan rasa penasarannya.
Sudah 15 menit lamanya mereka hanya duduk diam saling berhadapan, sedari memasuki café hingga pesanan mereka telah tiba, Ethan masih terdiam tanpa mengeluarkan satu kata pun.
Lauren yang sudah sangat penasaran dengan tujuan Ethan membawanya kemari mau tak mau berdecak sebal, sampai kapan mereka akan berada di sini dan saling diam-diaman seperti ini.
Tidak langsung menjawab, Ethan menghela napas terlebih dahulu. Seperti orang yang sedang mempersiapkan sesuatu saja pikir Lauren, selain itu Ethan terlihat seperti tengah gugup. Sebenarnya hal apa yang ingin dikatakan laki-laki itu hingga tingkahnya terlihat berbeda dari biasanya.
“Gue mau minta maaf sama lo.”
“Minta maaf tentang?” tanya Lauren sambil sedikit memiringkan kepalanya.
“Tentang kejadian di bukit bintang seminggu yang lalu. Gue benar-benar nggak sengaja ngebentak lo sampai segitunya. Gue minta maaf banget sama lo.”
Ah, tentang pertengkaran mereka waktu itu. Lauren tersenyum tipis, dia tak menyangka laki-laki di hadapannya itu akan benar-benar meminta maaf perihal kejadian itu. Dia mengira Ethan sama sekali tak peduli bahkan langsung melupakan hal itu begitu, karena dalam satu minggu ini Ethan bersikap seperti tak pernah terjadi apa-apa di antara mereka.
Jadi Lauren sama sekali tak mengharap Ethan akan berucap maaf kepadanya, malah dia lah memikirkan waktu yang tepat untuk meminta maaf kepada laki-laki itu atas kesalahannya. Rupanya Ethan masih bertanggung jawab atas semuanya.
“Kenapa baru sekarang minta maafnya? Bukannya kejadiannya udah seminggu yang lalu ya,” Lauren berucap demikian sengaja ingin menggoda Ethan lebih dulu.
“Lo tau sendiri kan, kalo kita sama-sama sibuk kuliah. Ngerjain desain proyek aja kita masing-masing di rumah. Jadi nggak ada waktu buat ketemu. Trus juga,” Ethan tak langsung meneruskan kalimat terakhirnya, dia hanya menatap Lauren dengan tatapan tak dapat diartikan.
“Trus kenapa?”
“Gue harus siapin diri dulu, kalo aja lo nggak mau maafin gue.”
Sialnya, Lauren tak dapat menahan tawanya setelah Ethan selesai berbicara. Sungguh, dia benar-benar tak menyangka Ethan sangat serius perihal ingin meminta maaf dan menjelaskan semua alasannya kenapa baru sekarang dia baru bisa membahas permasalahan mereka.
Sejenak Lauren merasa sedang berhadapan dengan Ethan versi dulu, di mana sebelum mereka seperti orang asing selama beberapa tahun.
“Kenapa lo malah ketawa?” Ethan merasa sedikit malu setelah ditertawakan oleh gadis itu..
“Maaf, maaf. Gue kelepasan,” seraya memegang perutnya yang sedikit nyeri, Lauren berusaha menghentikan tawanya. “Lucu aja, liat lo segitu seriusnya ngejelasin tentang lo yang baru sekarang minta maaf.”
“Ya kalo nggak serius, gue nggak yakin kalo lo bakal percaya.”
“Iya juga, sih,” Lauren menganggukkan kepalanya membenarkan.
“Jadi gue di maafin nih?”
“Udah pasti gue maafin, Than. Bahkan sebelum lo ngucap minta maaf pun udah gue maafin lebih dulu, karena di sini bukan lo aja yang ngerasa bersalah. Gue juga,” nada berbicara Lauren berubah menjadi serius, namun tidak membuat Ethan tertekan sama sekali. “Jadi gue mau minta maaf juga sama lo, atas kejadian waktu itu. Gue sadar kalo gue salah, seenaknya pergi tanpa bilang ke lo dulu dan berujung bikin lo khawatir sama gue.”
Selanjutnya bukannya menanggapi ucapan Lauren, Ethan hanya diam menatap gadis itu seraya menyesap minumannya. Seakan tak peduli.
“Kenapa lo malah diam? Respon lo lebih parah dari gue sebelumnya,” ucap Lauren tak terima. Dia sudah bersusah payah berbicara panjang lebar, tapi respon laki-laki itu tak seperti yang dia bayangkan.
“Tumben banget, cewek ngaku salah.”
Hampir saja Lauren keceplosan berucap kasar jika saja tak mengingat di sekitar mereka juga ada beberapa orang yang tengah duduk bersantai.
Bukannya apa, hanya saja Lauren tak ingin mengganggu waktu bersantai mereka dengan ucapan kasar yang diucapkannya. Jadi dia lebih memilih untuk menahan saja, selama dia mampu.
“Gue bukan tipe cewek yang begitu, anjir. Kalo gue benar-benar salah, gue bakal ngaku dan minta maaf secepatnya.”
“Tapi lo juga baru bisa sekarang buat minta maaf.”
Ethan sialan. Kenapa dia tiba-tiba bertingkah menyebalkan dan banyak bicara seperti sekarang. Jika terus-terusan seperti ini, Lauren tak yakin dapat menahan keinginannya berucap kasar kepada laki-laki itu.
“Bercanda, bercanda,” ucap Ethan seraya terkekeh kecil. Wajahnya seperti sudah puas menggoda gadis di hadapannya itu. “Gue maafin, kok. Tapi lain kali nggak boleh gitu, ntar kalo lo kenapa-kenapa, gue yang bakal dimarahin om Gevan. Kan gue yang izin secara langsung buat bawa lo, jadi mau nggak mau gue harus tanggung jawab jagain lo sepenuhnya.”
Lauren pun membenarkan apa yang diucapkan Ethan barusan. “Sekali lagi gue minta maaf.”
“Iya, nggak pa-pa kok. Udah gue maafin.”
Gadis berlesung pipi itu pun tersenyum setelah mendengar ucapan Ethan. Setelah merasa pembicaraan mereka selesai, Lauren pun berniat ingin mengalihkan pandangan ke samping. Bermaksud untuk melihat pemandangan jalan sekitar kampus dari tempat tersebut.
Tapi bukannya pemandangan yang diinginkan, Lauren malah dikejutkan dengan wajah yang sama persis dengan orang yang di hadapannya sekarang, hanya saja fitur wajahnya agak sedikit berbeda.
“Nathan. Lo gila atau apa, ngapain berdiri di situ?”
Ethan pun turut terkejut setelah mendengar Lauren menyebutkan nama kembarannya itu, dan berikutnya rasa terkejutnya bertambah setelah melihat pemandangan yang dilihat Lauren tadi.
Sedangkan Nathan, wajahnya menunjukkan raut tak mengerti dengan apa yang diucapkan Lauren. Sebab mereka terhalang oleh kaca café, jadi besar kemungkinan suara Lauren tak terdengar Nathan yang berada di luar.
Tak ingin malu lebih lama lagi dengan tingkah Nathan yang mengundang perhatian beberapa orang, Lauren mengisyaratkan sosok itu untuk segera masuk ke dalam café. Berbeda dengan Ethan, laki-laki itu sudah menundukkan kepala dengan tangannya yang menutup separuh wajahnya. Dia benar-benar malu akan tingkah kembarannya sekarang.
Nathan sudah berjalan masuk ke dalam café, tetapi sebelum itu dia singgah terlebih dahulu ke tempat barista. Setelah selesai dia pun segera menghampiri kedua orang tadi. “Tadi bilangnya ada pertemuan sama pak Dani. Eh, ternyata malah nongki berduaan di sini.”
“Pertemuannya udah selesai, goblok,” bukan Lauren yang mengucapkan kalimat itu. Tetapi Ethan yang sudah tak dapat lagi menahan kekesalannya. “Lo kenapa malah ada di sini?”
“Dih, apa hak lo nanya begitu. Terserah gue lah. Mau gue di mana pun, itu bukan urusan lo,” awalnya Nathan ingin semakin membuat Ethan emosi. Tetapi setelah itu dia menyadari sesuatu dan tiba-tiba tersenyum miring. “Tapi gue seperti mencium sesuatu yang mencurigakan. Apakah kalian udah baikan? Keliatan adem ayem soalnya, nggak marah-marahan lagi.”
“Nggak usah kepo.”
“Ish, lo mah nggak asik. Resign aja lo jadi kembaran gue,” setelah mencibir Ethan, dia mengalihkan pandangannya ke Lauren. “Apa tebakan gue tadi benar, Ren?”
Lauren mengganggukkan kepalanya cepat, tak ingin sosok itu menjadi cerewet hanya karena rasa penasarannya tak segera dijawab. “Udah, baru aja tadi. Jadi lo nggak usah khawatir kalo sewaktu-waktu kami bakal saling pukul di sini.”
“Iiiih, Lauren lucu banget ngelawaknya.”
“Gue lagi nggak ngelawak, Nathan.”
“Masa sih? Aku nggak percaya, deh.”
“Dah lah. Dari pada lo bikin gue muak di sini, mending lo pergi aja!”
“Tega banget sih lo, Ethan. Sama kembaran lo sendiri.”