Hubungan manis antara Nisa dan Arman hancur akibat sebuah kesalahpahaman semata. Arman menuduh Nisa mewarisi sifat ibunya yang berprofesi sebagai pelacur.
Puncaknya setelah Nisa mengalami kecelakaan dan kehilangan calon buah hati mereka. Demi cintanya untuk Arman, Nisa rela dimadu. Sayangnya Arman menginginkan sebuah perceraian.
Sanggupkah Nisa hidup tanpa Arman? Lantas, berhasilkah Abiyyu mengejar cinta Nisa yang namanya selalu ia sebut dalam setiap doanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kaisar Biru Perak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 Haruskah Unboxing?
"Cepatlah!" Sesekali, Arman melirik jam yang melingkar di tangannya. Lalu melihat Abiyyu dengan ekspresi kesal.
Mereka bertemu setengah jam yang lalu dan sudah selesai makan siang. Tapi Abiyyu tak kunjung mengatakan apa yang sebenarnya ingin dia ceritakan.
"Baiklah, aku pulang saja!" Arman bangkit dari tempat duduk. "Aku ini bukan pria lajang. Aku tak punya banyak waktu untuk dihabiskan denganmu!"
Pria itu terlihat kesal. Sementara Abiyyu sibuk mengunyah tenderloin suapan terakhirnya.
Tapi, saat Arman baru melangkah, tiba-tiba ...
"Pria itu aku!" kata Abiyyu tanpa melihat wajah Arman.
Di depan sana, Arman menoleh. Lalu memutar tubuhnya dan kembali duduk di hadapan Abiyyu. "Apa maksudmu?"
Satu alisnya terangkat ke atas. "Aku tidak mengerti," katanya sembari melipat tangan.
"Akulah yang pria yang berkali-kali melamar mantan istrimu." Dasar Abiyyu. Jelas-jelas dia tahu kalau Arman sedang dalam proses move on dari Nisa. Itu pun sering gagal.
Tapi Abiyyu itu, mudah sekali dia mengucapkan kalimat itu. Ekspresinya begitu tenang dan Arman membenci wajah polos yang dia tunjukkan.
"Kenapa ekspresimu begitu?" Dahi Abiyyu mengkerut. Dia pun mengomel sebelum Arman marah-marah. "Bukankah kamu bilang tak masalah kalau mantan istrimu menikah lagi?"
Pria itu terus menggerutu. Sesekali mengaduk jus jeruk dan meminumnya. "Kamu bahkan mendoakan yang terbaik untuknya. Lalu, apa-apaan wajahmu itu?"
Arman yang kesal dengan sikap Abiyyu pun menendang kakinya dengan sengaja.
"Kau brengsek!" Wajahnya mulai memerah, jelas sekali kalau dia cemburu berat. "Dari sekian banyak pria, kenapa harus kamu orangnya?"
"Memangnya kenapa kalau aku?" Abiyyu tak mau kalah. Pria itu terus mengoceh sembari menyentuh kakinya yang sakit. "Lagipula, hubungan kalian sudah berakhir. Lebih baik urus saja istrimu yang hampir melahirkan itu dan Nisa menjadi urusanku!"
"Berhenti bicara kau sialan!" Suara Arman mulai meninggi. Pria itu pun pindah posisi dan duduk di samping Abiyyu. "Aku tahu aku hanya mantan. Tapi setidaknya jangan memperlihatkan ekspresi seperti ini di depanku. Kalau ekspresimu begini, itu terlihat seolah kamu sedang mengejekku tahu?"
Dahi Arman mengkerut, wajahnya pun terlalu dekat dengan Abiyyu. Dan itu membuat Abiyyu ingin memukul wajahnya karena jijik.
"Lalu aku harus bagaimana?" Satu alisnya terangkat ke atas. "Haruskah aku menunjukkan wajah sedih?"
"Ya, setidaknya kau harus bersikap seperti itu!" kata Arman.
"Itu tidak mungkin!" Bukan hanya Arman, nada bicara Abiyyu pun mulai meninggi. Urat lehernya bahkan sampai menonjol keluar. "Mana bisa aku berpura-pura sedih sementara aku senang. Apa kamu lebih suka kalau aku bersikap munafik seperti itu?"
"Aish!" Arman semakin kesal mendengarnya. Ingin sekali dia membanting sesuatu, tapi dia tahan-tahan. "Kamu sangat menyebalkan dan aku membencimu. Aku tak akan menemuimu lagi seumur hidup!"
Cemburu berat, Arman langsung bangkit dari duduknya. "Kau saja yang bayar tagihannya. Aku sedang marah sekarang."
Entah sakit hati atau kesal, semuanya bercampur menjadi satu. Tak ada yang bisa dia lakukan selain menerima kenyataan, Arman pun memilih pergi.
Menenangkan hatinya yang kacau dan belajar mengikhlaskan mantan istri tercintanya dimiliki sahabatnya.
Di sisi lain, Abiyyu segera membayar tagihan makan siangnya. Dan belum sempat dia keluar, seorang pria bernama Darmawan meneleponnya. "Hallo, Pa?"
"Kamu di mana? Cepat pulang sekarang juga!" titah Darmawan dari seberang sana.
"Pulang?" Dahi Abiyyu mengkerut, sementara tangannya memegang keningnya yang mulai pusing. "Pulang ke rumah yang mana?"
"Ke rumah tempat kamu di khitan!" jawab Darmawan.
.
.
.
Abiyyu. Pria itu sangat tampan, tinggi badannya pun menjulang. Kulitnya putih bersih dan memiliki proporsi tubuh yang sempurna.
Sekali lewat, gadis mana yang tidak akan tergoda. Apalagi kalau mereka melihat kedelapan ABS yang Abiyyu sembunyikan di balik kemejanya.
Selain itu, yang membuat orang tergila-gila padanya adalah sikap dan sifatnya. Pria itu pemberani, sangat berwibawa dan tegas. Meskipun begitu, dia sangat dingin saat memperlakukan wanita yang tak dia kenal.
Tapi semua itu tak ada pengaruhnya di hadapan Darmawan, Hanni dan Hanum. Karena di mata mereka, Abiyyu selalu terlihat lucu seperti anak kucing yang ingin diberi makan.
Seperti siang ini misalnya. Pria itu hanya menunduk. Sekalipun tak membantah saat Darmawan memarahinya.
"Maaf, Pa!" Hanya itulah yang Abiyyu katakan.
Pria itu mulai berkeringat dingin. Apalagi dikelilingi bodyguard bertubuh gempal di sekitarnya.
Sekarang, akhirnya Abiyyu tahu arti ucapan ibunya hari itu. 'Kamu pasti jadi bubur seandainya Tuan Darmawan tahu kelakuan bejatmu!'
"Ma?" Tiba-tiba, Abiyyu menoleh ke arah Hanum yang duduk di sebelahnya. "Sebenarnya Abi anak mama atau bukan?"
Suaranya sangat pelan. Wajahnya pun berantakan. Tapi itu tidak membuat Hanum kasihan.
"Pertanyaan bodoh macam apa itu, Bi?" Seketika Hanum memberikan lirikan tajam. "Tentu saja kamu anak mama. Mama yang melahirkan kamu ke dunia!"
"Kalau iya, lalu kenapa mama tega membuka aib anakmu sendiri?" Pria itu menghela nafas panjang, lalu menoleh ke arah lain. "Sepertinya mama senang melihat Abi dimarahi."
Puas melayangkan protes, Abiyyu kembali menunduk. Sedikitpun tak berani melihat Darmawan dan Hanni yang duduk di depannya.
"Kamu belum menjawab pertanyaan papa!" Akhirnya, Darmawan mulai menginterogasi lagi. Sementara Hanni menunggu jawaban Abiyyu dengan harap-harap cemas. "Kenapa kamu mencium Althafunnisa?"
Terus di desak, Abiyyu pun tak punya pilihan selain menjawab dengan jujur.
"Karena,-" Abiyyu memberanikan diri menatap kedua orangtua angkatnya. "Karena Abi menyukainya, Pa!"
"Menyukai?" Kini, giliran Hanni yang bertanya. "Kalau kamu menyukainya, kenapa kamu tidak menikahinya?"
"Berandalan!" Darmawan mulai mengumpat. "Papa tidak pernah mengajari hal seperti itu, Abiyyu. Kenapa tidak menikah dulu dan kamu bebas mau melakukan apa?"
Berandalan lagi, berandalan terus. Abiyyu kesal terus-terusan disebut berandalan.
"Abi mau, Pa!" Tak tahan lagi, Abiyyu pun membela diri. "Abi juga mau menikah lalu punya anak yang banyak. Tapi bagaimana Abi bisa menikah kalau Abi selalu ditolak?"
"Ditolak?" tanya Darmawan dan Hanni bersamaan.
"Iya!" Abiyyu tampak menghela nafas, lalu menggaruk tengkuknya. "Abiyyu ditolak berkali-kali."
Jujur saja, Darmawan dan Hanni tak tega melihat ekspresi Abiyyu yang nelangsa. Ingin sekali memeluk anak itu dan mengatakan padanya agar tidak perlu khawatir.
Mereka juga ingin mengatakan kalau Nisa adalah putri mereka. Jadi mereka pasti akan membantu Abiyyu.
Tapi, dengan bodohnya Abiyyu justru bertanya, "Haruskah Abi unboxing dia dulu, Pa? Kalau dia hamil, dia pasti mau dinikahi, kan?"
***