"Aku tidak menyangka kau begitu tega padaku. Di saat aku bertugas di luar kota, kau malah selingkuh di belakangku. Aku menyesal karena sudah menikahi wanita sepertimu!"
Devina ditalak dan dituduh telah berselingkuh dengan pria lain yang tak lain adalah sahabat dari mantan suaminya, Marcell. Hidupnya jadi menderita dan terlunta-lunta ketika berpisah dari suaminya. Fitnah keji itu membuat anak kembar yang dilahirkannya harus menanggung beban penderitaan karena keegoisan orang tua. Dalam keadaan serba kekurangan, Devina berdiri sendiri untuk menjadi ibu sekaligus Ayah buat kedua anaknya.
Mampukah Devina melewati segala cobaan yang datang silih berganti dalam hidupnya?
Mungkinkah dia bersatu kembali dengan mantan suami setelah tahu dia memiliki anak yang harus dijaga bersama?
Kisah Devina hanya ada di Noveltoon, dengan judul Bayi Kembar Presdir Tampan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Dw, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35. Hentikan Omong Kosongmu
Menjelang tengah malam, Azalea dinyatakan sadar. Dia langsung mencari orang tuanya, karena di ruangan itu nampak begitu sepi, selebihnya lagi tempat tidur itu bukanlah miliknya.
"Mommy, mommy di mana? Mommy, Lea takut!"
Lea tiba-tiba menangis dan membuat suster yang merawatnya terkejut.
Suster langsung bergegas menghampirinya dan mencoba untuk menenangkannya.
"Alhamdulillah, adek Azalea sudah sadar. Kenapa adek menangis sayang?"
Dengan telaten suster mengulurkan tangannya untuk menghapus air matanya yang mulai tak berhenti menetes.
Azalea semakin mengencangkan tangisannya karena bukannya mendapati orang tuanya, melainkan orang lain yang belum pernah dikenalinya.
"Mommyku mana? Kenapa mommy nggak ada di cini?"
Tatapan gadis kecil itu tertuju ke seluruh ruangan yang dingin dan sepi, tidak ada ibunya ataupun kembarannya, ia berpikir keluarganya tengah pergi meninggalkannya.
"Tenang sayang, Mommy adik ada di sini kok, mereka ada di luar lagi nungguin adik Azalea bangun. Adek tunggu sebentar ya? Biar suster kasih tahu mommy dulu."
Suster yang tak berhasil membuat Azalea tenang, akhirnya memutuskan untuk segera keluar menemui orang tuanya.
Azalea memang tidak pernah percaya pada siapapun, apalagi orang yang belum dikenalinya.
Gadis itu selalu mengatakan orang-orang disekitarnya hanyalah kumpulan orang-orang yang jahat.
"Permisi Ibu, Bapak, dengan keluarganya pasien anak Ananda Azalia?"
Marcell dan juga Devina yang saling duduk berjauhan, langsung beranjak dari tempat duduknya masing-masing.
Kedua muda mudi itu harap harap cemas, menunggu perkembangan kondisi anaknya.
Suster melangkahkan kakinya mendekat pada Devina yang juga ikut melangkah untuk saling mendekat.
"Sus, bagaimana dengan kondisi anak kami? Apakah dia sudah sadar?" tanya Devina dengan menunjukkan wajahnya penuh kecemasan.
Suster mengangguk pelan dengan mengulas senyuman tipis.
Marcell juga ikut mendekat, karena ia tak ingin kehilangan kabar sedikitpun dari kondisi anaknya saat ini.
"Ananda Azalea sekarang sudah sadar, baru saja anak itu terbangun dari tidurnya. Saya dikejutkan olehnya yang tiba-tiba memanggil mommy. Azalea langsung menangis saat terbangun dan tidak mendapati keberadaan ibunya."
Suster memberikan penjelasan pada mereka dan direspon sangat baik oleh kedua orang tua si kembar.
Kenzo sendiri juga ikut senang mendengar kabar kembarannya sudah sadar setelah cukup lama pingsan.
"Jadi anak kami sudah sadar sus? Bolehkah saya menemui anak saya?"
"Tentu saja Nyonya,"
Suster mengangguk mengizinkan mereka masuk, karena pada awalnya memang dokter menyarankan jika pasien sudah sadar, ia harus menghubungi keluarganya.
Begitu bahagianya pasangan suami istri yang sudah terpisah itu mendapati anaknya sudah sadar kembali.
Mereka yang tidak memiliki kesabaran lagi untuk menemui Azalea, akhirnya memutuskan masuk ke dalam dengan Marcell mengangkat Kenzo dan digendongnya untuk dibawanya masuk.
"Azalea sayang,"
setelah membuka pintu, Devina mendapati anak perempuannya yang tengah menangis mencarinya.
Buru-buru dia bergegas menuju berankar untuk menenangkan putrinya yang dilanda ketakutan.
Azalea sayang, kenapa kamu menangis nak? Mana yang sakit, ayo katakan pada mommy."
Tangan Devina terulur dan memberikan pelukan hangat pada sang putri.
Tubuh Azalea sangat dingin, mungkin terlalu lama di tempat ber-AC, atau memang gadis itu sedang tidak enak badan.
"Mommy ke mana aja, kenapa Mommy tega ninggalin Lea? Lea takut mom, ayo kita kelual dali cini!"
Tangis Lea semakin kencang dengan mengeratkan pelukannya pada sang ibu.
Tanpa kesadarannya, mungkin sang ibu sudah lama meninggalkannya, dan ia paling tidak suka dibohongi.
Azalea yang selalu memberontak, membuat Devina agak susah untuk membuatnya tenang.
Akhirnya Marcell yang turun tangan untuk menolongnya.
"Kak Kenzo turun dulu ya, Daddy mau tolongin adek."
Kenzo turun dari gendongan Marcell dan berdiri ikut menenangkan kembarannya yang tengah menangis.
Marcell beralih mengulurkan tangannya untuk membantu Azalea yang terisak-isak oleh tangisnya.
"Dedek jangan menangis dek, bial cepat sembuh."
"Iya sayang, benar apa yang dikatakan oleh kakak, adek Lea nggak boleh nangis terus biar lekas sembuh. Kalau nangis terus bisa-bisa nggak diizinkan pulang sama dokter. Kalau dokter marah, Lea bisa disuntik."
Mendengar kata disuntik, Lea menggeleng ketakutan, apalagi di situ ada wanita yang berseragam putih yang ia yakini adalah seorang dokter.
Dia sangat takut jika saja dokter tiba-tiba menyuntiknya. Apapun yang terjadi, ia akan menolak jika saja dokter hendak menyuntiknya, bahkan ia tak segan-segan akan menggigit dokternya agar tidak berani mendekatinya.
"Pokoknya Lea nggak mau dicuntik, Lea mau pulang cekalang! Lea nggak mau bobok di cini!"
Jeritan Lea melengking memekakkan telinga hingga menggema di ruang ICU.
Untung saja tidak banyak pasien di dalam ruang ICU, jadi masih terbilang aman tidak mengganggu ketenangan pasien lain.
Marcell saja dibuat kewalahan menghindar dari serangan Lea yang tengah membabi buta memukulinya.
"Lea, Lea nggak boleh kayak gini nak, Lea harus tenang. Kalau Lea berontak terus ini infusnya bakalan lepas dan rasanya akan sakit. Lea mau sembuh nggak? Kalau Lea mau sembuh, Lea harus nurut sama Daddy, sama Mommy dan juga sama suster. Kalau Lea masih nangis, suster terpaksa akan menyuntik Lea."
Seketika Lea diam menahan untuk tidak menangis lagi, tatapannya tertuju pada selang infus yang menempel ditangannya.
Baru kali ini ada benda yang menempel ditangannya, dia tidak pernah tahu kalau selang infus juga menggunakan jarum.
"Apakah Lea mau minum?"
Devina mendekat dan menawarkan minuman untuk anak perempuannya.
Lea menggeleng dengan menyandarkan kepalanya di dada bidang Ayahnya, dengan sisa isakan tangisnya.
Demi menghindari suntikan yang ditakutinya, ia terpaksa harus diam dan tidak melakukan perlawanan.
"Lea ingin pulang dad, Lea nggak mau bobok di cini. Lea takut, enakan bobok di lumah."
Suasana ruang ICU cukup seram dan udaranya juga sangat dingin.
Pantas saja Lea selalu bilang ketakutan, karena anak sekecil itu bisa menembus alam gaib tak kasat mata.
Bukan hanya Lea saja, tiba-tiba Kenzo meminta digendong dan memejamkan matanya, dia menahan untuk tidak ikutan menangis seperti kembarannya.
"Mommy gendong, ayo kelual dali cini, aku mau pulang aja, di cini banyak olang jelek yang menatap kita. Ayo mom, kita kelual cekalang juga!"
Kepanikan Kenzo membuat Devina maupun Marcell saling bertatapan dengan raut wajah mereka yang bingung.
Mereka berdua tidak melihat apapun di ruangan itu, tapi kenapa kedua anaknya selalu mengatakan rasa takut yang berlebihan hingga Kenzo mengatakan ada seseorang yang buruk rupa tengah mengintainya.
"Kenzo! Ada apa nak? Di sini tidak ada siapa-siapa, hanya ada suster dan kita saja."
Tidak bisa dipungkiri bulu kuduk mereka pun langsung merinding, ikut merasakan ketakutan seperti yang dialami oleh anak-anaknya.
Namun sebagai orang tua, mereka tetap menjaga agar tidak membuat suasana semakin kacau.
"Kurasa memang benar kalau tempat ini memang ada sosok penunggunya, buktinya saja anak-anak,"
"Hentikan omong kosongmu atau,"
tapi kadang heran dengan karakter anak umur 2-3 tahun..bijak amat yaaak