Di pertengahan tahun 1980, Dewi merasakan pedihnya dijadikan tulang punggung layaknya sapi perah, tapi tetap dianggap sebagai benalu. Bahkan, KDRT kerap Dewi maupun anaknya dapatkan dari suami dan juga keluarga suami, yang selama 5 tahun terakhir Dewi nafkahi. Karenanya, Dewi nekat menjadikan perceraian sebagai akhir dari rumah tangganya.
Dewi bertekad bahagia bahkan sukses bersama kedua anaknya. Segala cara Dewi lakukan, termasuk menjadi ART, sebelum akhirnya menjadi warung keliling. Namun pada kenyataannya, menjadi sukses bukanlah hal mudah. Terlebih, Dewi masih saja diganggu orang-orang dari masa lalunya. Dewi sampai berurusan dengan hukum akibat fitnah keji, sebelum akhirnya mengikuti program transmigrasi di era Orde Baru yang tengah berlangsung.
Akan tetapi karena sederet cobaan itu juga, Dewi menemukan cinta sejati sekaligus kesuksesan yang selama ini Dewi perjuangkan. Kesuksesan yang membuat Prasetyo sekeluarga sangat menyesal!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Usaha yang Makin Besar
“Mau mi ayam juga, enggak? Ayo makan langsung saja. Soalnya kalau dibungkus-bungkus, biasanya kurang enak!” ucap mas Abdul sampai menghampiri Dewi.
Alif yang menunggu dan duduk anteng di warung mi ayam, sampai melambaikan tangan kanannya sambil tersenyum ceria kepada sang mama. Alasan tersebut pula yang membuat Dewi tidak bisa menolak ajakan mas Abdul. Meski karena itu juga, warga pasar makin yakin bahwa mas Abdul memang suami Dewi.
“Sebenarnya aku kurang yakin, sejak kapan kita akrab,” ucap mas Abdul dan tentu saja ditujukan kepada Dewi.
Dewi yang sengaja duduk di sebelah Alif agar berjarak dari mas Abdul, meragukan anggapan mas Abdul. “Kita memang enggak akrab loh, Mas.”
“Makanya dibikin akrab,” ucap mas Abdul sengaja memohon sambil menatap Dewi. Namun seperti sebelum-sebelumnya, Dewi masih terlihat tidak minat dekat apalagi menjalin hubungan dengan mas Abdul.
“Memang harus pelan-pelan sih. Takutnya yang ada Dewi malah takut ke aku,” pikir mas Abdul, benar-benar sabar dalam menghadapi Dewi.
“Mama, punyaku yang pakai baso. Mi ayam sama baso!” ucap Alif begitu bersemangat kepada Dewi.
“Memangnya habis?” balas Dewi sambil mengukir senyuman sembari menatap sang putra.
Alif mengangguk-angguk yakin.
“Ya sudah, nanti dihabisin, ya!” lembut Dewi sambil mengelus kepala Alif penuh sayang.
“Wi, ... kamu enggak lupa, kan, kalau dulu, kamu nemu uang dan uangnya masih aku yang simpan?” tanya mas Abdul.
Tentu Dewi tidak lupa, hingga dengan mudahnya Dewi berkata, “Itu uang Mas! Mas jangan mengada-ngada!”
“Heiii ... jangan bilang aku mengada-ngada. Itu beneran hak dan memang punya kamu. Pamali buat aku mengambil hak orang lain. Karena pada kenyataannya, bungkusan berisi uang itu memang sudah aku buang!” yakin mas Abdul sengaja bertutur lirih sekaligus lembut. Karena memang, ia sengaja menjaga suaranya agar tidak mencuri perhatian orang-orang.
“Aduh ... jadi serba salah gini kan,” ujar Dewi yang kemudian melirik mas Abdul.
“Bisa buat tambah-tambah modal usaha loh. Beli motor atau mobil pick up sekalian. Belajar nyetir, biar lebih gampang keliling,” ucap mas Abdul.
Dirasa Dewi, saran mas Abdul sangat masuk akal. Apalagi jika Dewi sampai punya mobil meski hanya mobil bekas. Dewi tak perlu khawatir anak-anaknya kehujanan maupun kepanasan. Malahan menggunakan mobil, meski itu mobil pick up bekas, Dewi bisa menyulapnya menjadi rumah untuknya dan kedua anaknya tinggal.
“Dipikirkan lagi. Mau buat beli kendaraan, apa buka toko ukuran besar sekalian. Nanti antar jemputnya, kamu bisa mengerjakan orang. Atau, sewa saja ojek dan ongkos kirimnya disesuaikan,” ucap mas Abdul yang kemudian berkata, “Kalau memang dananya masih kurang, nanti aku pinjemin. Soalnya kalau aku kasih cuma-cuma, yang ada kamu enggak mau dan bisa jadi, kamu malah benci aku!”
Mendengar itu, Dewi menjadi menunduk dalam. Namun, Dewi juga jadi memikirkan nasib 59 pesanan dari mas Abdul. Andai pesanan sebanyak itu menggunakan sepeda bahkan motor, pasti tetap harus bolak-balik. Namun jika memakai mobil, tentu bisa diangkut langsung dan kerusakan barang pun jadi lebih minim.
“Punya mobil bekas pun, tetap untung sih. Soalnya andai sampai sewa mobil buat antar, ya jadi terlalu banyak pengeluaran juga. Apalagi kan, yang sekarang aku belum menerapkan ongkos kirim,” ucap Dewi yang awalnya hanya melirik mas Abdul, tapi perlahan menatapnya penuh keseriusan.
“Nah itu ... nanti aku cariin. Kalaupun belum nemu, besok pakai mobilku dulu!” ucap mas Abdul.
Dewi mendengkus pasrah. “Jangan apa-apa serba pakai punya Mas lah, Mas.”
“Ya mau bagaimana lagi? Kan memang belum ada. Nanti kamu kasih ongkir dikit-dikit saja ke pesanannya. Kan itu ada 59 pemesan, cukup lah buat beli bensin satu atau dua liter, biar kamu enggak merasa sungkan terus ke aku!” jelas mas Abdul masih sangat sabar.
“Ya sudah, Mas! Aku ... ikut saja.” Dewi pasrah karena memang tidak memiliki pilihan lain. Toh saran mas Abdul juga tidak ada salahnya. Demi kemajuan usahanya, meski Dewi juga masih harap-harap cemas. Dewi takut berharap kepada mas Abdul.
“Karena pesananku enggak harus teng sebelum pukul tujuh pagi, berarti besok antar pesanan yang kamu dapat dulu!” ucap mas Abdul dan kali ini, Dewi langsung mengangguk setuju.
***
Pulang ke rumah, mas Abdul disuguhi pemandangan yang membuatnya tidak betah. Karena lagi-lagi, sang mama sudah menunggunya bersama Mega.
Sementara itu, alasan Mega tak segan mengejar mas Abdul memang karena selain dapat restu sangat besar dari ibu Safangah. Mega juga telanjur suka kepada mas Abdul. Karena pada kenyataannya, mas Abdul memang memiliki kriteria yang semua wanita harapkan dari pasangannya. Wajah rupawan dan fisik pun bagus. Materi termasuk masa depan, juga jangan ditanya. Kalaupun sekarang mas Abdul belum cinta kepada Mega, bagi Mega, cinta bisa menyusul asal mereka sudah disatukan dalam ikatan pernikahan.
“Assalamualaikum Mas Abdul?” sapa Mega.
Di ruang keluarga kediaman ibu Safangah yang luas, Mega benar-benar hanya berdua dengan ibu Safangah. Suasana di sana juga terbilang sepi karena kini memang sudah larut malam. Tak kalah mencolok, Mega bahkan sudah memakai piama lengan pendek—seperti di ruang pribadi sendiri. Sedangkan rambut panjang bergelombang milik mega dibiarkan tergerai.
Di mata mas Abdul, Mega memang cantik apalagi jika sedang tersenyum layaknya sekarang. Masalahnya, mas Abdul memang tidak suka. Mas Abdul tetap tidak tertarik kepada Mega karena yang mas Abdul suka sekaligus cinta, hanya Dewi.
“Waalaikumsalam. Mau ambil pakaian sama beberapa keperluan pekerjaan, Ma. Mau ke Banyumas buat urus pekerjaan.” Berbagai cara terus mas Abdul lakukan untuk menghindari perjodohan.
Apalagi kini, kenyataan Mega yang sampai memakai piama dan itu pakaian untuk tidur, dikhawatirkan mas Abdul wanita itu malah akan menginap di rumahnya. Mas Abdul takut terjadi sesuatu bahkan itu jebak menjebak. Agar dirinya tak lagi memiliki alasan untuk tidak bisa menghindari Mega maupun perjodohan mereka.
Kepergian mas Abdul membuat ibu Safangah apalagi Mega, gelisah. Keduanya langsung bertatapan dan ibu Safangah bergegas menyusul mas Abdul.
“Mama dan keluarganya Mega sepakat, bahwa satu bulan lagi akan menjadi pernikahan kamu dan Mega, Sayang!” sergah ibu Safangah.
Mas Abdul tetap cuek. “Aku tetap enggak mau, Ma. Lebih baik aku bikin malu keluarga daripada aku menghabiskan hidupku dengan pernikahan yang tak kuinginkan!” tegasnya.
“Abdul ...?!” tegas ibu Safangah benar-benar kecewa.
Namun sekali lagi, mas Abdul tidak peduli. Barulah ketika sang mama mendadak sesak napas dan berakhir jatuh pingsan, mas Abdul baru peduli kepada sang mama yang langsung ia bopong.