Anthony Chavez, ibunya Barbara, istrinya Dorothy dan kedua anak lelakinya Ethan Chavez dan Fred Chavez, ditemukan polisi sudah tidak bernyawa dengan tubuh lebam kebiruan di dalam kamar. Keempat jenazah itu saling bertumpuk di atas tempat tidur. Di dalam tubuh mereka terdapat kandungan sianida yang cukup mematikan. Dari hasil otopsi menyatakan bahwa mereka telah meninggal dunia lebih dari 12 jam sebelumnya. Sedangkan putri bungsu Anthony, Patricia Chavez yang masih berusia 8 bulan hilang tidak diketahui keberadaannya. Apakah motif dari pembunuhan satu keluarga ini? Siapakah pelakunya? Dan Bagaimanakah nasib Patricia Chavez, anak bungsu Anthony? Temukan jawabnya di sini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bas_E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35. Di Tantang Bruno Kawe
Dwayne membuka matanya dari tidur (panjangnya). Entah sudah berapa lama ia terlelap, Dwayne tak tahu. Kenapa rasanya lama sekali ? Matanya memindai sekeliling ruangan. Kamar yang tidak terlalu besar itu didominasi warna putih. Termasuk bantal, bed cover hingga selimut yang ia gunakan juga berwarna putih. Di nakas tempat tidur terdapat jam digital yang telah menunjukkan angka 09.49 pm.
"Hampir pukul 10 malam." Dwayne bergumam.
Dwayne menarik kemudian menyandarkan tubuhnya pada headboard tempat tidur, selama beberapa saat. Bermenit-menit kemudian, sambil memegang kepalanya yang terasa berat, Dwayne menurunkan kedua tungkainya dari tempat tidur. Kaki kokohnya menyentuh lantai kamar yang dilapisi karpet bulu di sisi kiri dan kanan ranjang. Dengan tertatih-tatih sembari berpegangan pada tepi kasur, ia melangkahkan kaki menuju kamar mandi.
Ceklek... Pintu kamar tiba-tiba terbuka.
"Dwayne.. Kau mau kemana?" Mia datang dengan sebuah nampan di tangannya. Dengan langkah cepat ia meletakkan semangkuk bubur dan segelas air yang dibawanya di atas nakas.
"Aku mau buang air" Jawab Dwayne pelan.
Dengan sigap Mia menyejajarkan dirinya di samping Dwayne.
"Ayo aku bantu."
Kemudian ia menekukkan lutut dan melingkarkan lengannya pada bahu Dwayne. Mia membiarkan pria itu menopang pada dirinya. Kemudian Mia memegang tangan Dwayne yang melingkari bahunya dengan tangan yang terjauh dari dirinya. Selanjutnya menempatkan tangannya yang lain melingkari pinggul Dwayne. Perlahan Mia mengikuti langkah kaki Dwayne menuju kamar mandi.
Kreeet...
Langkah kaki Dwayne membawa mereka menuju closet yang ada di sudut toilet. Tangan Mia dengan sigap membuka penutup closet.
"Kau bisa melakukannya sendiri? "
"Huum." Gumam Dwayne tak yakin.
Perlahan Mia melepaskan topangannya, namun tubuh Dwayne mendadak melorot kehilangan keseimbangan. Mia sigap memposisikan tubuhnya kembali menopang tubuh tegap Dwayne.
"Seperti kau harus tetap di sini, Mia." Ucap Dwayne pelan
"Ya sudah tidak apa-apa. Lagi pula aku kan kekasihmu. Tidak masalahkan kalau aku melihatmu melakukan aktivitas pribadi." Ucap Mia menyembunyikan degup jantungnya yang mulai berpacu.
"Aku sudah tidak tahan lagi, Mia. Bisakah kau membantuku membukakan resleting celanaku?"
Dwayne kemudian menarik resleting celananya dengan satu tangan. Ragu-ragu tangan Mia yang bebas menahan di sisi bawah resleting.
Sreeeet...
Celana Jeans yang dikenakan Dwayne kemudian terbuka. Dengan mudah Dwayne menurunkan celananya itu hingga ke paha. Dengan sebelah tangannya, Dwayne menurunkan sedikit boxer yang ia kenakan, kemudian mengeluarkan kembaran Bruno dari dalamnya. Mungkin karena berasa bebas dari bekapan boxer, Bruno kawe berdiri dengan gagahnya menghirup udara bebas. Sejurus kemudian, ia mengeluarkan beban yang sedari tadi ia pikul.
currrrr...
Air mancur mini keluar dari mulut Bruno kawe. Mia membuang wajahnya ke arah lain. Menetralisir degup jantungnya yang tidak teratur.
"Sudah. Mia." Ucap Dwayne tenang sambil menyeka kepala Bruno kawe dengan tisu toilet.
"Oh. Ehh.. " Mia mengalihkan pandangannya kembali. Tatapannya sekali lagi ternoda dengan pemandangan yang mengerikan sekaligus meng gai rahkan. "Si Bruno tidak kau sarungkan?" Ucapnya pelan. Tanpa disadari Mia menggigit bibir bawahnya.
"Hah?" Dengan wajah bingung tak mengerti Dwayne menatap wajah Mia yang mulai memerah.
"Itu... " Mia menunjuk dengan tatapan matanya.
"Ohh... Biarkan saja begitu." Ucap Dwayne tak perduli. "Aku mau mandi, Mia." Lanjutnya.
"Hah... ?" Pikiran Mia mulai kacau.
"Badanku rasanya lengket semua, Mia."
"Kau bisa mandi sendiri?"
"Seperti agak sulit, Mia." Jawab Dwayne dengan tatapan datar.
"Ya sudah. Kau duduk dulu di sini." Mia menutup kembali closed. Ia menuntun Dwayne untuk duduk di atasnya.
"Kepalamu masih sakit ya..?"
"Huum. Tapi tidak sesakit kemarin."
"Aku sudah menyiapkan semangkuk bubur hangat. Nanti setelah mandi, buburnya dihabiskan dan obatnya diminum."
"Makanya kau bantu aku, agar lebih cepat selesai." Dwayne berkata dengan kepala tertunduk.
"Ya sudah. Kau jangan banyak bergerak. Aku akan membantumu." Dengan perasaan tak menentu, Mia mulai melepas satu persatu pakaian yang melekat di tubuh Dwayne. Dimulai dengan membuka satu persatu kancing kemeja kotak-kotak yang dikenakan Dwayne. Selanjutnya ia menarik ke atas kaos oblong warna hitam yang Dwayne kenakan di bawah kemeja. Kaos dalam itu lepas melewati perut, da da, dan kepala Dwayne. Sementara itu Dwayne menurunkan celana yang ia kenakan hingga mata kaki. Perlahan ia melepaskannya dan melemparkannya ke sudut ruangan.
Jeng.. Jeng..
Di depan Mia saat ini duduk patung hidup mahakarya semesta. Pahatan yang sempurna terpampang nyata di hadapannya. Tubuh Dwayne di penuhi lengkungan otot di mana-mana. Kemungkinan karena profesinya sebagai petani yang membuat Dwayne banyak melakukan aktivitas fisik. Tanpa Mia sadari, has rat nakalnya membandingkan fisik Dwayne yang berkali-kali lipat lebih baik dari pada milik Jack yang hanya hamparan bidang datar.
"Mia aku kedinginan. Sampai kapan kau akan mengagumi tubuhku. Hmmm...? " Dwayne menatap Mia dengan tatapan tak terbaca.
"Eh.... I i..iya... " Mia kehilangan kata-kata. Wajahnya memerah mengetahui Dwayne menangkap basah dirinya yang sedang mengagumi tubuh atletisnya.
Dengan tangan bergetar Mia mengambil ganggang shower dan mulai membasahi bagian tubuh atas Dwayne terlebih dahulu, setelahnya lanjut ke bagian bawah. Kemudian mengambil shampoo, sabun cair dan shower puff (spons jaring) yang tersimpan di rak kamar mandi. Menuangkan shampoo ke telapak tangannya, selanjutnya busakan shampo dengan bantuan sedikit air. Setelah itu Mia mengusapkan shampoo secara merata pada rambut dan kulit kepala Dwayne sambil dipijat perlahan-lahan.
Berikutnya Mia menuangkan sabun cair ke shower puff dan mulai menggosok leher dan da da Dwayne dengan lembut. Dengan nafas tertahan shower puff di tangan Mia mulai turun perlahan ke perut kotak-kotak milik Dwayne. Tanpa sengaja pergelangan tangan Mia tak sengaja menyentuh Bruno kawe yang ternyata sedang dalam posisi standby.
"Astaga.. " Seru Mia terkejut.
Mendengar suara Mia, dengan kepala yang dipenuhi busa, Dwayne mengangkat wajahnya. Mendapat tatapan aneh dari Dwayne, Mia segera melanjutkan tugasnya menggosok punggung. Posisi tubuhnya saat itu sangat dekat dengan tubuh Dwayne. Tiba-tiba ia merasakan tangan kokoh Dwayne memeluk erat tubuhnya.
"Dwayne. Lepaskan. Aku sedang menggosok punggungmu." Tolak Mia pelan.
"Bolehkah begini saja? Kepalaku rasanya sakit sekali."
Membiarkan Dwayne memeluk tubuhnya, Mia melanjutkan tugasnya menggosok tubuh bagian belakang hingga belakang bawah.
"Lepaskan Dwayne. Tinggal kakimu yang belum aku bersihkan."
Dengan berat hati, Dwayne melepas dekapannya. Kesempatan itu digunakan Mia membasuh bagian bawah tubuh Dwayne dengan cepat hingga ke ujung jari. Untuk keamanan jantungnya, Mia melewatkan potongan tubuh Dwayne yang sedari tadi telah menantangnya. Selesai menggosok tubuh, dengan cepat Mia mengambil ganggang Shower kemudian mengguyur tubuh Dwayne dan membersihkannya dari busa.
.
.
.
Sampai di sini dulu pemirsa. Be ng ek UII.. In Hale, Ex Hale.. In Hale, Ex Hale.. Silahkan travelling mereka selanjutnya mau apa.. 🏃♀️🏃♀️🏃♀️