Kalau nggak suka, skip saja! Jangan kasih bintang satu! Please! 🙏🙏
Gara-gara sebuah insiden yang membuatnya hampir celaka, Syahla dilarang keluarganya untuk kuliah di Ibukota. Padahal, kuliah di universitas itu adalah impiannya selama ini.
Setelah merayu keluarganya sambil menangis setiap hari, mereka akhirnya mengizinkan dengan satu syarat: Syahla harus menikah!
"Nggak mungkin Syahla menikah Bah! Memangnya siapa yang mau menikahi Syahla?"
"Ada kok," Abah menunjuk pada seorang laki-laki yang duduk di ruang tamu. "Dia orangnya,"
"Ustadz Amar?" Syahla membelalakkan mata. "Menikah sama Ustadz galak itu? Nggak mau!"
Bagaimana kisah mereka selanjutnya? Apakah pernikahan mereka akan baik-baik saja?
Nantikan kelanjutannya ya🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. Seratus Hari Pernikahan
Syahla masih mendekam di dalam kamar mandi meski sudah setengah jam berlalu sejak ia masuk. Saat hendak melangkah keluar, ia melirik sebentar ke arah ketiaknya, lalu ia angkat tinggi-tinggi sehingga bisa terlihat beberapa bulu halus yang tumbuh di sana.
"Aduh, yang ini harus dicukur dulu," Syahla buru-buru mengambil alat cukur dan membersihkan rambut-rambut yang mengganggu. Setelah dirasa cukup bersih, ia mencium bau badannya sendiri dan akhirnya menganggukkan kepalanya yakin.
Entahlah, Syahla sendiri bingung apa yang sebenarnya sedang ia lakukan sekarang. Tapi, instingnya sebagai orang dewasa mengatakan kalau ia harus bersiap untuk melakukan sesuatu saat ini.
Keluar dari kamar mandi, Syahla merasa galau lagi. Kali ini dia bingung, haruskah memakai baju atau tidak? Ia mematut handuk kimono yang sedang ia pakai. Setelah menimbang-nimbang, Syahla akhirnya memutuskan untuk memakai pakaian dalam saja dan menutupinya dengan handuk kimono yang sedang ia pakai.
Sembari menunggu sang suami masuk, Syahla menyemprotkan parfum yang tadi dibelikan oleh Mama Ida. Ia lalu menunggu dengan manis di pinggir kasur. Namun, karena tidak ada tanda-tanda kemunculan Ustadz Amar, Syahla akhirnya membuka pintu kamarnya penasaran.
Terlihat Ustadz Amar sedang duduk di sofa ruang tengah dengan posisi membelakanginya. Syahla menelan ludah gugup. Apa Ustadz Amar sedang menunggu kode darinya? Karena tidak tahu harus berbuat apa, Syahla akhirnya menghampiri Ustadz Amar dengan hati-hati.
"Om Suami," Panggilnya lirih. Tidak ada jawaban. Syahla menghela napas.
"Om Suami!" Tidak ada pergerakan sama sekali dari suaminya. Merasa tidak sabar, Syahla akhirnya menarik paksa kepala sang suami agar menoleh ke arahnya.
Mata Syahla terbelalak karena ternyata suaminya itu sedang rapat secara online di laptop. Telinganya tersumpal headset, sehingga Ustadz Amar tidak bisa mendengar panggilan Syahla sebelumnya.
Tidak hanya Syahla yang terkejut, Ustadz Amar juga membulatkan matanya saat melihat kemunculan Syahla yang hanya berbalut handuk kimono. Dengan gesit, Ustadz Amar langsung mematikan fitur kamera di laptopnya.
"Kamu ngapain?" Ustadz Amar buru-buru menarik Syahla masuk ke dalam kamar. "Untung para dosen nggak ada yang lihat,"
Syahla mengikuti sang suami sambil menutup matanya dengan kedua tangan. "Saya kira Om Suami diam saja karena menunggu saya, saya tidak tahu kalau Om Suami sedang ada rapat sama dosen."
"Iya, maaf. Barusan aku dihubungi pihak kampus dan mereka mengadakan rapat dadakan. Rapatnya sebentar lagi selesai kok, kamu tunggu sebentar ya."
Syahla hanya bisa terdiam di atas kasur dengan selimut menutup seluruh tubuhnya. Rasanya ia ingin sembunyi ke dasar bumi saking malunya.
...----------------...
Tak sampai lima belas menit, Ustadz Amar masuk ke dalam kamar. Dengan menghela napas panjang, Ustadz Amar duduk di pinggir ranjang sang istri, dimana Syahla masih berada di balik selimut.
"Istri," panggil Ustadz Amar lembut. "Aku sudah selesai," Bisiknya mesra.
Karena tidak ada respon apapun, Ustadz Amar mengernyitkan dahi. Apa Syahla masih merasa malu karena kejadian tadi?
"Jangan khawatir, nggak ada yang lihat kamu kok. Jadi kamu nggak perlu malu,"
Hening. Ustadz Amar semakin merasa curiga. Jangan-jangan?
Selimut terbuka. Benar saja, orang yang dikhawatirkan ternyata sedang tertidur pulas di balik selimut. Sama sekali tidak terlihat malu atau khawatir. Ustadz Amar tertawa kecil. Ya ampun, ada-ada saja.
Ustadz Amar kemudian membetulkan selimut istrinya sehingga kain tebal itu menutup tubuh Syahla hingga ke leher. Sejenak, Ustadz Amar melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 15:00.
"Sebentar lagi ashar sih, tapi nanti saja deh banguninnya." Ujar Ustadz Amar merasa tidak tega. Ia melihat wajah istrinya dengan seksama sebelum meninggalkan kamar.
"Selamat tidur," Ucap Ustadz Amar sembari mengecup kening sang istri.
...----------------...
Pukul 20:00.
Syahla sebenarnya sudah bangun sejak pukul empat sore, tapi ia tidak segera keluar karena rasa malu tiba-tiba kembali menyergapnya.
"Om Suami pasti nganggep aku cewek nakal, kan?" Bayangan dirinya yang sedang memakai handuk kimono kembali menyeruak, dan hal itu membuat Syahla kembali membenamkan wajahnya di atas bantal.
"Istri," Pintu diketuk dan terdengar suara panggilan Ustadz Amar dari luar. "Makan dulu yuk,"
Syahla buru-buru bangkit dari kasurnya. Perutnya yang keroncongan membuat Syahla memutuskan untuk membunuh rasa malunya sejenak. Biarlah Ustadz Amar mau menganggapnya apa, yang penting dia tidak mati konyol karena kelaparan.
Keluar dari kamar, Syahla terkejut karena dirinya disambut dengan meja makan romantis yang dilengkapi lilin dan bunga mawar. Lampu ruangan pun dimatikan untuk menciptakan suasana dramatis. Sambil tersenyum manis, Ustadz Amar menuntun Syahla duduk di atas kursi.
"Maaf kalau hanya seadanya," Ustadz Amar berkata lembut. "Saya sudah berpikir untuk pergi ke restoran, tapi perjalanan ke sana cukup jauh, saya takut kamu kelaparan di jalan."
Ustadz Amar kemudian menyerahkan piring berisi steak yang sudah ia potong kecil-kecil. "Ini steak ala-ala saya. Coba dimakan dan kasih saran,"
Syahla menurut. Meski masih kebingungan, ia menyuapkan sepotong daging steak ke mulutnya. Daging sapi yang lembut langsung menyapa lidah Syahla dan membuatnya tanpa sadar mengambil lagi potongan kedua.
"Pelan-pelan," Ustadz Amar merasa senang karena Syahla tampak menikmati makanannya. "Kalau masih kurang, saya bisa buatkan lagi."
Syahla langsung tersadar kalau saat ini seharusnya menjadi momen yang romantis. Buru-buru ia mengubah cara makannya menjadi lebih anggun.
Ustadz Amar malah tertawa geli melihat lagak istrinya. "Tidak perlu begitu. Kamu makanlah yang banyak seperti biasa,"
Syahla tertawa nyengir. Ustadz Amar memang pengertian sekali. Pada akhirnya Syahla melahap habis makanannya sampai tidak tersisa.
"Saya jadi bangga pada diri saya sendiri," Ucap Ustadz Amar dengan senyum sumringah.
"Kenapa?" Syahla sudah mencomot potongan buah apel sebagai pencuci mulut.
"Karena bisa membuat masakan enak yang disukai istri saya," Ustadz Amar menjawab dengan senyuman yang tidak lepas dari wajahnya. Senyuman yang entah kenapa membuat Syahla salah tingkah.
Sedang sibuk-sibuknya menata jantung yang berdetak cepat, Syahla dikejutkan dengan Ustadz Amar yang sudah berada di belakangnya.
"Happy 100 Days,"
Syahla bisa merasakan sensasi dingin logam mulia yang menyentuh lehernya. Sebuah kalung. Syahla menolehkan kepalanya sehingga ia bisa menatap Ustadz Amar yang sedang melihatnya sambil tersenyum.
"Saya tidak menyangka seratus hari pernikahan kita akan seindah ini," Ustadz Amar berjalan di depan Syahla dan membimbing Syahla sehingga tubuh mereka berdiri saling berhadapan. Dengan lembut, digenggamnya kedua tangan Syahla.
"Saya mencintai kamu Syahla. Apakah kamu mengizinkan saya untuk menumbuhkan perasaan ini bersama kamu?"
Syahla menelan ludahnya. Ia sudah berkali-kali membaca adegan pada novel romantis dimana pemeran pria mengungkapkan perasaannya pada pemeran wanita. Tapi Syahla tidak menyangka kalau ia akan mendapatkan hal yang sama, dengan Ustadz Amar sebagai pemeran prianya. Meski ragu-ragu, Syahla tahu kalau perasaannya sudah mulai condong pada lelaki itu. Dengan perlahan, ia menganggukkan kepala sebagai jawaban untuk pertanyaan suaminya.
Ustadz Amar tersenyum bahagia. Ia mengecup kedua tangan Syahla lembut. Lalu, dengan gerakan hati-hati, Ustadz Amar meraih kedua pipi Syahla dan mulai mendekatkan wajahnya.
"Eh," Syahla tahu apa yang akan mereka lakukan selanjutnya, maka ia mengantisipasi. "Tapi, mulut saya bau daging,"
Ustadz Amar tertegun sejenak sebelum tertawa terbahak-bahak. "Memangnya kenapa?"
"Apa saya perlu sikat gigi dulu?"
"Tidak perlu," Ustadz Amar kembali mendekatkan wajahnya. "Rasa daging sapi juga enak kok,"
Maka, di antara lampu temaram dan lilin-lilin yang mulai padam, di antara deru napas yang beraroma daging sapi, bibir Syahla dan Ustadz Amar kembali bertemu. Mereka menyalurkan gairah masing-masing yang semakin lama semakin memuncak. Membuat mereka mengerti bahwa hubungan mereka sudah jauh melangkah ke depan dibanding sebelumnya.
apalagi suaminya lebih tua