"Buka hatimu untukku kak Praja," mohon Ardina Rezky Sofyan pada sang suami dengan penuh harap. Air matanya pun sejak tadi sudah menganak sungai di pipinya.
Pernikahan sudah berlangsung lama tapi sang suami belum juga memberinya kebahagiaan seperti yang ia inginkan.
"Namamu belum bisa menggantikan Prilya di hatiku. Jadi belajarlah untuk menikmati ini atau kamu pergi saja dari hidupku!" Balas Praja Wijaya tanpa perasaan sedikitpun. Ardina Rezky Sofyan menghapus airmatanya dengan hati perih.
Cukup sudah ia menghiba dan memohon bagaikan pengemis. Ia sudah tidak sabar lagi karena ia juga ingin bahagia.
Dan ketika ia menyerah dan tak mau berjuang lagi, akankah mata angin bisa berubah arah?
Ikuti perjalanan cinta Ardina Rezky Sofyan dan Praja Wijaya di sini ya😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bhebz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35 Kekhwatiran Semua Orang
Ardina begitu gelisah karena sejak suaminya kembali ke kotanya, pria itu tak juga memberinya kabar.
Dua hari sudah, pria itu pergi dan handphonenya tak bisa dihubungi. Ia rindu, bingung, dan juga kesal. Apalagi David selalu saja menanyakan dimana papanya.
Huuftt
Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya berkali-kali. Ia ingin melonggarkan rasa sesak di dadanya yang terasa sangat menghimpit.
"Ada apa Din?" tanya Asna melihat sang putri tidak pernah berkonsentrasi melakukan pekerjaan di rumah. David pun sering ditinggal dan melamun.
"Kak Praja Bu. Masak sih gak pernah nelpon sejak pulang, aku sangat khawatir." Akhirnya keluar juga unek-unek yang selama dua hari ini menjadi keresahan hatinya.
"Hah yang benar kamu?" ucap Asna tak percaya.
"Iya Bu. Aku khawatir lah. Apa mungkin kak Praja udah ngelupain kita lagi."
"Gak mungkin lah. Mungkin lagi sibuk dia nya, jadi gak sempat menghubungi kamu." Asna berusaha menghibur agar putrinya tidak memikirkan hal yang tidak-tidak.
"Benarkah? Tapi hatiku gak nyaman Bu. Masak nelpon sekali aja gak bisa. Kan aku jadi merasa was-was gitu."
"Sudah, berprasangka baik saja, ibu lihat Praja sangat mencintaimu jadi jauhkan pikiran-pikiran buruk dari dalam kepalamu."
"Iya Bu," jawab Ardina dengan hati yang masih saja dilanda kegalauan.
Ingin rasanya ia pulang ke kota kelahirannya itu untuk mencari suaminya tetapi ia belum juga bisa melakukanya karena masih banyak pekerjaan yang harus ia kerjakan.
Apa mungkin Kak Praja sudah melupakan aku lagi?
Ah tidak mungkin.
Tapi kenapa? Katanya ia cinta berat tetapi kenapa hanya aku saja yang gelisah dan merindukannya?
Oh Tuhan, jangan berikan aku perasaan rindu yang sangat besar ini. Aku takut tak bisa menanggungnya.
Ardina pun masuk ke kamarnya dengan dada sesak. Ia ingin menangis di dalam kamarnya saja.
"Mama mana papa?"
Akhirnya, pecah juga tangisnya yang ia tahan selama beberapa hari ini. Ia memeluk dan mencium David dengan segala keresahan di dalam dadanya.
"Mama mana Papa?" tanya sang putra lagi. Alhasil Ardina semakin bersedih saja.
Kak Praja, kenapa kamu datang dan pergi dengan menyiksa kami seperti ini?
Aku sudah hidup tenang tanpamu tapi kamu datang lagi mengusik aku dan putraku.
Kamu jahat!
"Mama jangan nangis," ucap David seraya menghapus air mata sang mama dengan telapak tangan kecilnya.
"Tidak sayang, mama hanya- hiks." Ardina lalu menggendong putranya dan mendudukkannya di atas ranjang.
"Kamu mau main apa, nanti mama nemenin," ucapnya seraya menarik nafas beratnya.
"Mau main cama papa ma," ucap David dengan wajah polosnya.
"Iya sayang nanti ya, kita akan bawa Papa pulang ke rumah ini."
"Janji ma?"
"Iya sayang, ayo sekarang kita main," ucap Ardina dengan dada sesak.
Dan ternyata, rasa gelisah dan khawatir juga dirasakan oleh sebuah keluarga di tempat yang lainnya.
Alif Wijaya memandang ke arah jalanan yang baru saja diguyur hujan yang sangat deras. Genangan airnya masih belum kering.
Sebentar-sebentar ia menghela nafas beratnya untuk melonggarkan dada nya yang terasa sangat menghimpit.
Wajahnya tampak sangat khawatir karena sampai sekarang sang putra belum juga pulang dari Jakarta padahal sudah hampir satu pekan. Ia menatap istrinya yang juga sangat gelisah.
"Apa Praja tidak ingat perusahaan? Dan juga tidak ingat kalau kita ini masih hidup?"
"Bisa-bisanya hanya pergi untuk urusan bisnis dan lupa pulang."
Alif Wijaya nampak kesal. Sejak minta izin ke Jakarta untuk urusan bisnis, putranya itu belum pulang juga ke rumah mereka.
"Bahkan memberikan kabar pun tak pernah. Apa mungkin ia sudah bertemu dengan Ardina sampai melupakan kita?" lanjutnya lagi dengan nada marah. Setidaknya dengan begitu ia bisa merasa lebih baik.
"Handphonenya sejak kemarin tidak aktif pa." Dewinta mengangkat benda pipih elektronik miliknya untuk memperlihatkan kalau ia sudah menelpon sang putra tapi tidak juga tersambung sampai sekarang.
"Praja gimana sih?" Pria itu menggerutu lagi seraya mondar-mandir di depan beranda rumahnya. Perasaan was-was pun kini meliputi hatinya.
"Eh, lihat Pa itu kan Selfina. Sekretarisnya Praja. Dia pasti tahu dimana anak itu berada," ucap Dewinta seraya memperhatikan seorang gadis yang sedang turun dari mobilnya.
Dengan berlari-lari kecil, Selfina menghampiri mereka berdua kemudian memberikan salam.
"Assalamualaikum tante, Om."
"Waalaikumussalam. Mari silahkan duduk Fin."
"Iya tante, makasih." Selfina pun duduk seraya memandang dua pemilik rumah itu dengan senyum tipis dibibirnya.
"Kebetulan sekali Fin kamu datang. Kami sedang membutuhkan informasi dari kamu." Dewinta berucap seraya memandang wajah gadis itu.
"Informasi apa tante?" tanya Selfina dengan balas menatap wajah perempuan paruh baya itu.
"Bosmu Pak Praja Wijaya, putra kami. Ia belum pulang ke rumah ini sejak kalian ke Jakarta beberapa hari yang lalu."
"Yang benar tante? Om?" Gadis itu menatap orang tua Praja Wijaya secara bergantian. Ia begitu kaget dengan apa yang ia dengar.
"Iya Fin. Dan kami ini mau bertanya padamu karena kalian berdua pergi ke Jakarta bersama."
"Astaghfirullah. Saya dan pak Praja sudah sampai di kota ini kemarin tante, om. Tapi Pak Praja langsung ke Perusahaan karena ada masalah yang harus diselesaikannya," jawab gadis itu dengan yang masih nampak sangat kaget.
"Lho? Kok gitu?"
"Iya om, tante, justru saya kesini karena mau meminta tanda-tangan beliau. Ada banyak berkas yang harus ditanda-tanganinya di Perusahaan karena menurut karyawan lain, pak Praja sejak kemarin itu sudah gak masuk lagi."
"Ya Allah pa. Kenapa bisa seperti ini sih? Mana gak bisa kita hubungin lagi," ucap Dewinta dengan perasaan yang mulai takut. Ia sangat khawatir kalau ada hal buruk yang mungkin terjadi.
"Kayaknya kita harus melapor ke kantor polisi deh Pa, saya takut terjadi apa-apa dengan Praja," ucapnya lagi.
"Ah iya ma. Itu betul sekali. Ini sudah lebih dari 24 jam Praja tidak ada kabar." Alif segera masuk ke dalam rumahnya untuk mengambil jaket karena cuaca terasa sangat dingin menusuk tulang untuk berpikir keluar dari rumah.
"Ayo kita berangkat. Selfina ikut mobil kami atau bagaimana?" Alif Wijaya memberikan pilihan bagi gadis itu.
"Saya pakai mobil sendiri saja om. Masih ada hal yang ingin saya kerjakan setelah ini."
"Ah iya, kalau begitu ayo segera berangkat." Alif pun meraih tangan istrinya dan membawanya ke arah mobilnya. Kantor polisi lah yang akan mereka datangi saat ini.
🌹🌹🌹
*Bersambung.
Hai readers tersayangnya othor mohon dukungannya untuk karya receh ini ya gaess dengan cara klik like dan ketik komentar agar author semangat updatenya oke?
Nikmati alurnya dan happy reading 😊