Sadiyah, seorang gadis yatim piatu, terpaksa harus menerima perjodohan dengan cucu dari sahabat kakeknya. Demi mengabulkan permintaan terakhir sahabat kakeknya itu, Sadiyah harus rela mengorbankan masa depannya dengan menikahi pria yang belum pernah ia temui sama sekali.
Kagendra, pengusaha muda yang sukses, terpaksa harus menerima perjodohan dengan cucu dari sahabat kakeknya. Disaat ia sedang menanti kekasih hatinya kembali, dengan terpaksa ia menerima gadis pilihan kakeknya untuk dinikahi.
Setelah pernikahan itu terjadi, Natasha, cinta sejati dari Kagendra kembali untuk menawarkan dan mengembalikan hari-hari bahagia untuk Kagendra.
Apakah Sadiyah harus merelakan pernikahannya dan kembali mengejar cita-citanya yang tertunda? Akankan Kagendra dan Natasha mendapatkan cinta sejati mereka?
Siapa yang akan bersama-sama menemukan cinta sejati? Apakah Sadiyah dan Kagendra? Ataukah Natasha dan Kagendra?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raira Megumi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. Malam Ketiga
Jam sembilan tepat, Sadiyah dan Kagendra sudah bersiap di posisinya masing-masing untuk bersegera tidur. Kagendra mematikan lampu utama dan menggantinya dengan lampu tidur. Sebelum mematikan lampu tidurnya juga, Kagendra berdeham entahlah untuk membersihkan tenggorakannya yang tercekat atau menutupi kegugupannya.
“Sadiyah,” panggil Kagendra.
“Iya, A,” sahut Sadiyah yang kembali pada posisi duduk setelah tadinya sudah berada dalam posisi berbaring.
“Ehm,” Kagendra kembali berdeham.
Sadiyah terdiam menunggu Kagendra mengutarakan maksudnya.
“Kamu sudah mengantuk?” tanya Kagendra basa-basi.
“Belum.” Sadiyah memberikan jawaban singkat.
Mereka berdua kembali tidak bersuara.
Setelah hening beberapa saat, Kagendra kembali berdeham.
“Sadiyah, apa sudah ada tanda-tanda?” tanya Kagendra ragu.
“Tanda-tanda apa A?” Sadiyah menatap Kagendra heran.
Kagendra mengusap tengkuknya dengan kasar tanda ia sedang gugup.
“Ya tanda-tanda, kamu tahu kan maksudnya?”
“Saya gak ngerti maksud tanda-tanda yang Aa bilang.”
“Ehm, tanda kalau kamu hamil,” ucap Kagendra cepat.
“Eh? Oh.” Sadiyah terkejut mendengar kata-kata Kagendra.
“Kamu sudah cek belum?” tanya Kagendra lagi.
Setelah termenung beberapa saat, Sadiyah segera tersadar dari rasa terkejutnya.
“Belum A. Iyah yakin, eh saya yakin kok belum hamil. Tadi pagi saja, saya baru selesai bersih-bersih,” jawab Sadiyah.
“Apa hubungannya kamu bersih bersih dengan hamil?” tanya Kagendra bingung.
“Maksudnya bersih-bersih itu baru beres menstruasi. Tadi pagi saya baru mandi besar setelah selesai masa menstruasi. Jadi sudah bisa dipastikan kalau saya belum hamil,” jelas Sadiyah menjawab kebingungan Kagendra.
“Ohhh,” gumam Kagendra.
Suasana hening kembali karena kecanggungan yang mereka berdua rasakan setelah Kagendra membahas masalah kehamilan.
“Kenapa kamu belum hamil? Padahal kan kita sudah beberapa kali melakukannya,” tanya Kagendra.
“Bagaimana mau hamil kalau dalam prosesnya saja pakai pemaksaan dan juga melupakan hal yang paling penting, yaitu berdoa sebelum melakukan proses pembuahan. Untung saja tidak jadi hamil, kalau jadi hamil kan bisa gawat. Nanti anaknya gak akan salih dan salihah karena orangtuanya tidak berdoa dulu waktu proses pembuatannya,” dumel Sadiyah dalam hati.
“Kamu ngatain saya ya dalam hati kamu?” tuduh Kagendra.
“Eh, apaan sih? Jangan main tuduh dong,” protes Sadiyah yang kaget karena kata hatinya bisa terdengar Kagendra. Padahal yang sebenarnya tidak mungkin suaminya itu bisa mendengar apa yang dikatakan dalam hati. Mungkin itu hanya kebetulan saja.
“Bukannya menuduh, saya cuma menebak saja. Bisa jadi kan kamu mengumpat dalam hati. Ngatain yang jelek-jelek tentang saya,” ujar Kagendra sudah mulai rileks dan malah menggoda istrinya.
“Huh.” Sadiyah memanyunkan bibir tanda kesal.
“Jadi tadi kamu ngatain saya apa?” cecar Kagendra.
“Makanya kalau mau begituan harus berdoa dulu. Biar bisa hamil dan nanti anaknya menjadi anak yang salih dan salihah.” Sekalian saja Sadiyah mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya.
“Memang ada doanya?” tanya Kagendra.
“Astaghfirullah, Aa tidak tahu? Jadi Aa tidak hapal doanya? Eh jangankan hapal, harus berdoa sebelum prosesnya saja Aa tidak tahu. Bagaimana mau jadi imam saya kalau yang seperti ini saja Aa tidak tahu. Pantas saja main paksa,” sindir Sadiyah.
“Jangan menyindir saya. Dosa kamu kalau hobinya menyindir suami terus. Saya bukannya tidak tahu kalau harus berdoa dulu. Hanya saja saya memang belum hapal doanya” sahut Kagendra ketus. "Lagian yang kemarin-kemarin kan saya sudah kepalang bergairah. Boro-boro ingat doa," lanjut Kagendra dalam hati.
“Siapa yang punya hobi menyindir suami?” protes Sadiyah.
Kagendra tidak mengindahkan protes Sadiyah, ia sudah sibuk mencari doa sebelum melakukan hubungan suami istri dari situs pencarian di internet. Setelah mendapatkan doanya, Kagendra langsung menghapalkannya. Beruntung otak cerdas Kagendra sangat berperan dalam hal ini sehingga ia mampu menghapalnya dalam waktu singkat.
“Saya sudah hapal doanya,” cetus Kagendra tiba-tiba.
“Alhamdulillah deh kalau memang sudah hapal,” sahut Sadiyah sambil kembali memposisikan tubuh untuk bersiap-siap tidur.
“Jangan tidur dulu!”
“Mau apa lagi sih, A? Saya sudah ngantuk nih. Dari tadi ngajak ngobrol terus. Besok kan saya harus masak, beres-beres juga buat persiapan pindahan rumah,” protes Sadiyah kesal karena Kagendra melarangnya tidur.
“Saya mau minta hak saya malam ini,” ucap Kagendra tegas.
“Eh?” terdengar nada cemas dan ketakutan dalam suara Sadiyah.
“Maaf.” Akhirnya satu kata keramat itupun keluar dari mulut Kagendra. Kagendra yang jarang sekali mengungkapkan kata maaf telah berhasil mengalahkan egonya. Sebuah kata maaf yang sebenarnya ingin ia utarakan pada Sadiyah dari jauh-jauh hari akhirnya terucap juga.
“Maaf kenapa?” tanya Sadiyah heran.
“Maaf kalau dua malam itu, saya memaksakan kehendak saya sama kamu. Maaf kalau saya menyakiti kamu,” ucap Kagendra tulus.
Sadiyah terdiam.
“Malam ini saya tidak akan memaksa kamu. Saya akan meminta izin dulu sama kamu. Saya ingin kamu ikhlas melakukannya,” harap Kagendra.
Sadiyah masih terdiam, tidak mampu mengeluarkan sepatah kata pun.
“Kalau kamu tidak ingin pun saya tidak akan memaksa. Mulai sekarang saya berjanji kalau saya tidak akan pernah lagi memaksa jika kamu memang tidak rela.” Kagendra mengutarakan penyesalan atas perilaku kasarnya.
Sadiyah masih terdiam, memikirkan dan bertanya-tanya apakah Kagendra berkata tulus dan jujur. Ia menatap wajah Kagendra dan mencari ketulusan dari mata Kagendra. Sadiyah melihat bahwa kali ini Kagendra benar-benar tulus padanya dan ia dapat merasakan jika Kagendra memang menyesali perbuatan kasar yang pernah dilakukan sebelumnya.
“Boleh?” pinta Kagendra.
Sadiyah mengangguk samar.
Kagendra tidak melihat pergerakan kepala Sadiyah dan kembali bertanya.
“Boleh tidak?” tanya Kagendra sedikit tidak sabar dan cemas jika malam ini Sadiyah akan menolaknya.
“Ya,” jawab Sadiyah lirih yang masih bisa terdengar Kagendra.
Kagendra bersyukur dan bersorak dalam hati. Akhirnya malam ini ia akan mendapatkan haknya tanpa ada unsur paksaan.
Dimulai dengan membaca doa yang sudah dihapalnya tadi, Kagendra menciumi wajah Sadiyah, dimulai dari kening, hidung, kedua sisi pipi, dagu, dan terakhir berlabuh cukup lama di bagian bibir. Tangannya mulai bergerilya membuka kancing-kancing piyama Sadiyah.
“Besok-besok jangan memakai piyama yang banyak kancingnya seperti ini. Pakai saja daster yang mudah dibuka dan sedikit kancingnya kalau kamu tidak mau saya merusak semua pakaian tidur kamu,” pinta Kagendra.
Wajah Sadiyah semakin bersemu merah. Beruntung, hanya lampu tidur yang menyala sehingga wajah yang sudah memerah seperti kepiting rebus tidak terlihat jelas oleh suaminya.
Kegendra memperlakukan Sadiyah dengan begitu lembut. Tidak ada lagi ciuman kasar dan paksaan. Di tengah perjalanan, ciuman lembut tentu saja berubah menjadi ciuman yang sedikit kasar. Bukan kasar karena paksaan tapi karena hasrat yang sudah tak terbendung.
Akhirnya, malam itu Sadiyah bisa menikmati apa yang seharusnya ia nikmati di malam-malam sebelumnya. Berkali-kali mereka saling memuaskan dan menggapai puncak kepuasan hingga menjelang subuh.
********
semangat