Gavin Narendra, CEO muda yang memiliki segalanya, menghancurkan pernikahannya sendiri dengan perselingkuhan yang tak terkendali. Larasati Renjana, istrinya yang setia, memilih untuk membalas dendam dengan cara yang sama. Dalam pusaran perselingkuhan balas dendam, air mata, dan penyesalan yang datang terlambat, mereka semua akan belajar bahwa beberapa luka tak akan pernah sembuh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34: Rahasia Terbongkar
#
Dua minggu setelah pertemuan Kiran dengan Gavin—dua minggu yang Gavin habiskan dengan anxiety yang melumpuhkan, menunggu sepatu berikutnya jatuh, menunggu rahasia ini entah bagaimana bocor—dunia Larasati yang perlahan mulai stabil kembali runtuh untuk kesekian kalinya.
Larasati duduk di teras belakang rumah ibunya dengan secangkir teh yang sudah dingin, menatap Abi yang bermain dengan tetangga kecil di taman. Anaknya terlihat lebih bahagia akhir-akhir ini—masih sedih sesekali, masih bertanya tentang papa, tapi tidak menangis sejadi kemarin lagi. Perlahan-lahan, Abi adapt dengan kehidupan baru mereka.
Dan Larasati juga. Perlahan. Sangat perlahan. Tapi setidaknya ada progress. Sidang kedua perceraian dijadwalkan minggu depan, dan lawyer Diana optimis bahwa ini akan jadi sidang terakhir sebelum putusan final. Gavin cooperate—tidak fight untuk custody penuh lagi, tidak buat masalah, hanya minta reasonable visitation yang Larasati tidak keberatan kasih.
Mungkin—hanya mungkin—segalanya akan okay akhirnya.
Lalu ponselnya berbunyi. Pesan dari Ziva—asisten pribadi yang sudah jadi teman dekat selama semua kekacauan ini, yang loyal bahkan saat Larasati tidak punya apa-apa lagi untuk ditawarkan.
_"Mbak, aku perlu bicara sama Mbak. Penting banget. Bisa video call sekarang?"_
Ada sesuatu di nada pesan itu—urgency yang membuat perut Larasati bergejolak dengan tidak enak.
Larasati pindah ke kamarnya untuk privacy, tutup pintu, lalu video call Ziva.
Wajah Ziva muncul di layar—dan Larasati langsung tahu ada yang salah. Ziva terlihat... khawatir. Ragu. Seperti dia tidak tahu bagaimana menyampaikan berita buruk.
"Vi, ada apa?" tanya Larasati, jantung mulai berdetak lebih cepat. "Kamu kelihatan—"
"Mbak," potong Ziva, mengambil napas dalam seperti preparing dirinya. "Ada yang perlu Mbak tahu. Dan aku... aku tidak tahu harus bilang bagaimana. Tapi Mbak harus tahu karena ini akan affect perceraian dan custody Abi."
Larasati menegang. "Bilang saja, Vi. Apapun itu."
Ziva menatap kamera dengan mata yang penuh simpati. "Aku dapat info dari teman yang kerja di klinik kesehatan. Dia lihat nama yang familiar di sistem pasien—Kiran Anindita. Mbak tahu kan siapa dia?"
Nama itu sendiri sudah cukup untuk membuat Larasati merasa mual. "Selingkuhan Gavin. Aku tahu. Kenapa? Apa dia sakit? Aku tidak peduli kalau—"
"Dia hamil, Mbak," kata Ziva pelan, dan kata-kata itu jatuh seperti bom. "Dua bulan. Dan berdasarkan timeline... berdasarkan kapan skandal pecah dan kapan mereka masih... masih bersama..."
Ziva tidak perlu menyelesaikan kalimat. Larasati sudah mengerti.
Dunia berhenti berputar.
"Apa?" bisik Larasati, meski dia dengar jelas. "Apa yang kamu bilang?"
"Kiran hamil, Mbak," ulang Ziva dengan suara yang lembut, hati-hati. "Dan kemungkinan besar itu anak Pak Gavin."
Larasati menatap layar tanpa benar-benar melihat. Otaknya mencoba memproses informasi tapi seperti ada dinding—defense mechanism yang mencoba protect dia dari sakit yang akan datang.
Hamil. Kiran hamil. Dengan anak Gavin.
"Mbak, kamu baik-baik saja?" tanya Ziva dengan khawatir. "Mbak mau aku datang ke Bandung? Aku bisa—"
"Aku baik-baik saja," kata Larasati dengan suara yang datar, yang kosong. "Terima kasih sudah bilang, Vi. Aku harus pergi sekarang."
"Mbak tunggu—"
Larasati tutup video call sebelum Ziva bisa menyelesaikan. Dia taruh ponsel di meja dengan gerakan yang sangat hati-hati—terlalu hati-hati, seperti kalau dia tidak controlled, dia akan lempar ponsel itu ke dinding.
Lalu dia duduk di tepi kasur, tangan terlipat rapi di pangkuan, menatap dinding kosong di depannya.
Hamil.
Kata itu berputar di kepalanya, semakin keras setiap detik.
Gavin membuat Kiran hamil.
Saat mereka masih menikah—secara legal masih menikah—Gavin tidak hanya selingkuh, tidak hanya bohong, tidak hanya planning untuk menghancurkan Larasati. Dia juga membuat perempuan lain hamil.
Larasati pikir dia sudah tidak bisa terluka lagi. Dia pikir setelah semua pengkhianatan, semua kebohongan, semua sakit hati yang sudah dia rasakan—dia sudah immune. Tidak ada lagi yang bisa menyakitinya lebih dari yang sudah.
Tapi dia salah.
Ini lebih menyakitkan dari apapun.
Karena ini bukan hanya tentang pengkhianatan lagi. Ini tentang replacement. Gavin tidak hanya tidak mencintainya lagi—dia sudah membuat keluarga baru. Bayi baru. Awal yang baru dengan perempuan lain sementara Larasati masih mencoba figure out bagaimana survive dengan pecahan dari keluarga lama.
Air mata mulai jatuh—pelan dulu, lalu semakin deras. Tapi tidak ada isakan. Tidak ada tangisan keras. Hanya air mata yang mengalir deras di pipi yang diam, di wajah yang tidak menunjukkan ekspresi apapun.
Shock. Dia dalam shock.
Berapa banyak kali mereka bercinta? Larasati dan Gavin. Berapa tahun mereka trying untuk punya anak kedua setelah Abi? Tiga tahun. Tiga tahun di mana Larasati cek ovulasi, minum vitamin, berdoa setiap malam supaya Allah kasih mereka anak lagi.
Tapi tidak pernah terjadi. Dan doctor bilang tidak ada masalah dengan Larasati atau Gavin—just unlucky timing, just stress maybe.
Tapi ternyata? Ternyata Gavin bisa membuat perempuan lain hamil dengan mudah. Dengan perempuan yang dia selingkuhin, yang dia temui di hotel-hotel murah, yang bukan istri sahnya.
Apa itu berarti selama ini Tuhan tidak kasih mereka anak karena Tuhan tahu pernikahan ini akan hancur? Karena Tuhan tahu Gavin tidak layak untuk jadi ayah lebih dari satu anak?
Atau apa ini hukuman untuk Larasati karena... karena apa? Karena dia tidak cukup baik sebagai istri? Karena dia membiarkan Gavin selingkuh tanpa sadar? Karena dia gagal menjaga suaminya?
"Tidak," bisik Larasati pada dirinya sendiri, menggeleng. "Bukan salahku. Ini bukan salahku."
Tapi kenapa terasa seperti itu? Kenapa ada bagian dari dirinya yang berbisik bahwa kalau dia lebih baik, lebih cantik, lebih perhatian—Gavin tidak akan cari perempuan lain. Tidak akan membuat perempuan lain hamil.
Larasati berdiri tiba-tiba, berjalan ke kamar mandi dengan langkah yang tidak stabil. Dia menatap pantulannya di cermin—wajah pucat dengan mata merah, rambut yang berantakan, postur yang terlihat lebih kecil entah bagaimana.
Ini dia sekarang. Larasati Kusuma. Tiga puluh tujuh tahun. Ibu dari satu anak. Hampir officially janda. Dan sekarang—sekarang akan jadi mantan istri dari pria yang punya anak dengan perempuan lain.
"Dia akan punya anak dengan perempuan pelakor itu," bisik Larasati pada pantulannya, mencoba statement itu—mencoba membuat kata-kata itu real supaya bisa mulai proses menerima.
Tapi kata-kata itu terasa asing. Terasa seperti tentang orang lain. Bukan tentang hidupnya. Bukan tentang suami yang dulu berjanji selamanya.
Suami yang sekarang akan punya anak dengan perempuan yang menghancurkan pernikahannya.
Larasati jatuh berlutut di lantai kamar mandi—tidak karena lemah, tapi karena kakinya tidak bisa menahan beratnya lagi. Dia peluk dirinya sendiri, tangan di perut yang dulu berharap akan membesar lagi dengan anak kedua, dengan adik untuk Abi.
Tapi sekarang tidak akan pernah terjadi. Karena tidak akan ada anak kedua dengan Gavin. Tidak akan ada keluarga yang bertambah. Hanya keluarga yang hancur dan digantikan dengan yang baru.
Ketukan pelan di pintu kamar. "Lara?" Suara ibunya. "Sayang, kamu baik-baik saja? Aku dengar kamu di kamar mandi."
Larasati usap air matanya dengan cepat, berdiri dengan kaki yang gemetar. "Aku baik-baik saja, Bu. Sebentar."
Tapi suaranya pecah di kalimat terakhir, dan tentu saja Dhara—yang sudah jadi ibu selama enam puluh dua tahun—tahu bahwa putrinya tidak baik-baik saja.
"Aku masuk ya," kata Dhara, membuka pintu dengan hati-hati. Dan saat dia lihat Larasati berdiri di sana dengan wajah basah oleh air mata—mata yang menunjukkan jenis sakit yang Dhara tahu terlalu baik—dia langsung tarik putrinya ke pelukan.
"Ada apa, sayang?" bisik Dhara, mengusap punggung Larasati dengan lembut. "Apa yang terjadi?"
"Kiran hamil," bisik Larasati di bahu ibunya, dan saying it out loud membuat segalanya terasa lebih real, lebih menyakitkan. "Perempuan yang Gavin selingkuhin. Dia hamil. Dengan anak Gavin."
Dhara terdiam—tidak shock karena sayangnya dia sudah tidak shocked dengan apapun yang Gavin lakukan lagi. Tapi tetap marah. Marah untuk putrinya yang sudah cukup terluka.
"Ya Allah," bisik Dhara. "Bajingan itu. Bajingan sialan itu."
Larasati tidak pernah dengar ibunya mengutuk sebelumnya. Tapi entah kenapa, mendengar ibunya yang selalu bijak dan tenang sekarang marah untuk dirinya—itu membuat sesuatu di dada Larasati sedikit lebih ringan.
"Ibu... kenapa ini terasa lebih sakit dari yang lain?" tanya Larasati, menarik diri untuk menatap ibunya. "Kenapa ini—dia selingkuh, dia bohong, dia planning untuk hancurkan aku—semua itu menyakitkan. Tapi kenapa ini terasa lebih buruk?"
Dhara memegang wajah putrinya dengan lembut. "Karena bayi adalah symbol dari intimacy yang paling dalam. Karena kamu dulu berharap punya anak lagi dengan Gavin. Karena sekarang dia akan punya anak dengan perempuan yang bukan kamu, dan itu terasa seperti final replacement. Seperti dia tidak hanya meninggalkan kamu, tapi membangun kehidupan baru yang complete tanpa kamu di dalamnya."
Setiap kata resonates karena itu exactly apa yang Larasati rasakan.
"Aku pikir aku sudah move on," bisik Larasati. "Aku pikir aku sudah accept bahwa pernikahan kami berakhir. Tapi ini..."
"Ini setback," kata Dhara dengan lembut. "Dan itu okay. Healing bukan linear, sayang. Kamu akan punya hari-hari di mana kamu merasa kuat, dan hari-hari di mana kamu merasa hancur lagi. Dan hari ini adalah hari yang hancur. Tapi besok—atau lusa, atau minggu depan—kamu akan kuat lagi."
Larasati ingin percaya itu. Tapi sekarang, duduk di lantai kamar mandi dengan ibunya, rasanya seperti dia tidak akan pernah merasa kuat lagi.
"Apa yang harus aku lakukan?" tanya Larasati. "Apa aku harus bilang ke lawyer? Apa ini akan affect custody?"
"Ya," jawab Dhara firm. "Kamu harus bilang Diana. Ini menunjukkan pattern of irresponsibility. Gavin membuat perempuan hamil saat masih married dengan kamu—itu relevant untuk character assessment di court."
Larasati mengangguk pelan, tapi pikiran tentang harus bilang lawyer—harus admit keras pada stranger bahwa suaminya tidak hanya selingkuh tapi sampai membuat perempuan lain hamil—membuat perutnya bergejolak.
"Dan sayang," kata Dhara, nada lebih serius sekarang, "ini saatnya untuk truly move on. Bukan hanya secara legal dengan perceraian. Tapi secara emotional. Kamu harus lepaskan Gavin sepenuhnya. Tidak ada lagi hope, tidak ada lagi what-ifs, tidak ada lagi bagian dari hatimu yang masih attach."
"Aku tidak attach lagi—"
"Kamu masih attach," potong Dhara dengan lembut tapi firm. "Tidak secara romantic. Tapi kamu masih terikat dengan kenangan, dengan apa yang dulu ada, dengan potential yang tidak terwujud. Dan selama kamu masih terikat—bahkan sedikit—kamu tidak bisa fully move forward."
Larasati diam, knowing ibunya benar.
"Reza," kata Dhara. "Pria yang melamar kamu. Pria yang willing untuk tunggu. Sayang, mungkin ini saatnya untuk seriously consider dia. Bukan sebagai pelarian. Tapi sebagai awal yang baru."
Nama Reza membuat sesuatu di dada Larasati bergetar—campuran dari... apa? Hope? Fear? Atau hanya desperate need untuk tidak sendirian di tengah kehancuran ini?
"Aku tidak tahu kalau aku siap," bisik Larasati.
"Tidak ada yang pernah fully ready," kata Dhara dengan senyum sedih. "Tapi kadang kamu harus leap anyway. Kadang kamu harus trust bahwa net akan appear saat kamu jump."
Malam itu, setelah Abi tidur, setelah Dhara retire ke kamarnya, Larasati duduk sendirian di teras belakang dengan selimut menutupi bahunya dan ponsel di tangan.
Dia menatap contact Reza—pria yang menawarkan cinta tanpa syarat, yang willing untuk jadi ayah untuk Abi, yang promising masa depan yang stabil dan penuh perhatian.
Masa depan yang sangat berbeda dari delapan tahun terakhir hidupnya.
Dengan tangan yang gemetar, Larasati ketik pesan:
_"Reza, apa kamu masih mau ketemu besok? Ada yang mau aku omongin."_
Tiga titik muncul hampir langsung—Reza mengetik. Lalu:
_"Tentu. Aku bisa datang ke Bandung. Jam berapa?"_
_"Jam dua siang. Di kafe yang sama."_
_"Aku akan ada di sana. Lara... apa kamu baik-baik saja? Kamu terdengar—"_
_"Aku akan cerita besok. Sekarang aku perlu istirahat. Selamat malam."_
_"Selamat malam, sayang. Aku tunggu besok."_
Larasati tutup ponselnya, menatap langit malam yang penuh bintang. Somewhere di Jakarta, Gavin mungkin tidak tidur juga—mungkin khawatir tentang Kiran, tentang bayi, tentang bagaimana segalanya akan explode lagi.
Tapi Larasati tidak peduli lagi tentang apa yang Gavin khawatirkan. Tidak peduli tentang masalahnya. Tidak peduli tentang kehancurannya.
Karena dia punya hidupnya sendiri untuk rebuild. Dan mungkin—hanya mungkin—Reza adalah bagian dari foundation yang baru.
Keputusannya semakin bulat dengan setiap detik yang berlalu:
Dia harus move on sepenuhnya.
Dan Reza—Reza adalah jawabannya.
**Bersambung ke Bab 35 Larasati Menerima Lamaran Reza**