Alviona Mahira berusia 15 tahun baru lulus SMP ketika dipaksa menikah dengan Daryon Arvando Prasetya (27 tahun), CEO Mandira Global yang terkenal tampan, kaya, dan memiliki reputasi sebagai playboy. Pernikahan ini hanya transaksi bisnis untuk menyelamatkan keluarga Alviona dari kebangkrutan.
Kehidupan rumah tangga Alviona adalah neraka. Siang hari, Daryon mengabaikannya dan berselingkuh terang-terangan dengan Kireina Larasati—kekasih yang seharusnya ia nikahi. Tapi malam hari, Daryon berubah menjadi monster yang menjadikan Alviona pelampiasan nafsu tanpa cinta. Tubuh Alviona diinginkan, tapi hatinya diinjak-injak.
Daryon adalah pria hyper-seksual yang tidak pernah puas. Bahkan setelah bercinta kasar dengan Alviona di malam hari, pagi harinya dia bisa langsung berselingkuh dengan Kireina. Alviona hanya boneka hidup—dibutuhkan saat Daryon terangsang, dibuang saat dia sudah selesai.
Kehamilan, keguguran karena kekerasan Kireina, pengkhianatan bertubi-tubi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34: DEPRESI BERAT
#
KEKOSONGAN YANG MENGHANCURKAN]**
Hari pertama setelah tuduhan itu, Alviona tidak keluar kamar.
Bukan karena dia dikurung. Bukan karena ada yang melarang.
Tapi karena... dia tidak punya alasan untuk keluar.
Tidak ada yang menunggu. Tidak ada yang peduli. Tidak ada yang percaya.
Jadi kenapa harus keluar?
Dia berbaring di ranjang dengan posisi yang sama—menyamping, memeluk bantal, menatap dinding dengan tatapan yang... kosong. Benar-benar kosong. Seperti tidak ada lagi jiwa di balik mata itu.
Pipinya masih terasa panas dari tamparan kemarin. Tapi rasa sakit fisik itu tidak ada apa-apanya dibanding rasa sakit di dadanya.
Rasa sakit dari pengkhianatan.
Dari harapan yang hancur.
Dari realisasi bahwa dia benar-benar sendirian di dunia ini.
Ketukan di pintu tidak dia jawab. Suara Bi Sari yang khawatir dari luar tidak dia tanggapi.
"Nona, kumohon makan sesuatu... sudah dua hari Nona tidak makan..."
Tapi Alviona tidak bergerak.
Makanan itu diletakkan di depan pintu—seperti memberi makan hewan yang tidak mau keluar dari sarang.
Dan seperti hewan yang terluka, Alviona membiarkan makanan itu dingin, tidak tersentuh, sampai akhirnya diambil lagi oleh pelayan dengan wajah sedih.
---
**[HARI KETIGA - MIMPI BURUK YANG TIDAK BERHENTI]**
Malam ketiga adalah yang terburuk.
Alviona akhirnya tertidur—bukan karena dia ingin, tapi karena tubuhnya memaksa—dan mimpi buruk datang seperti tsunami.
Dalam mimpi, dia berdiri di kamar bayi yang kosong itu.
Tapi kali ini tidak kosong.
Ada bayi di box—bayi kecil dengan mata tertutup, kulit pucat, tidak bergerak.
"Sayang?" Alviona dalam mimpi itu melangkah mendekati, tangannya gemetar saat meraih bayi itu.
Dingin.
Tubuh bayi itu dingin.
"Tidak... tidak... bangun sayang... kumohon bangun..."
Tapi bayi itu tidak bergerak. Tidak menangis. Tidak bernapas.
Dan kemudian—bayinya membuka mata.
Mata yang kosong. Mata yang menatapnya dengan tatapan yang... menyalahkan.
"Kenapa ibu tidak melindungi aku?" suara kecil itu keluar—suara yang tidak mungkin keluar dari bayi, tapi ini mimpi, dan mimpi tidak masuk akal.
"Aku... aku sudah coba..." Alviona menangis dalam mimpi.
"Ibu tidak cukup kuat. Ibu lemah. Ibu membiarkan aku mati."
"TIDAK! AKU TIDAK—"
Alviona terbangun dengan jeritan yang tertahan di tenggorokan—tubuh basah keringat, jantung berdebar sangat cepat, napas tersengal.
Kamar gelap. Sepi. Hanya suara jam dinding yang berdetak pelan.
Tangannya langsung meraih perut—gerakan refleks yang sudah jadi kebiasaan—tapi yang dia sentuh hanya perut yang datar dan kosong.
Kosong.
Bayinya tidak ada.
Tidak akan pernah ada lagi.
Air mata jatuh—lagi—tapi kali ini diam-diam. Tidak ada isakan. Hanya air mata yang mengalir seperti sungai yang sudah lelah mengalir tapi tidak bisa berhenti.
---
**[HARI KELIMA - NAYLA MENCOBA]**
Hari kelima, Nayla datang.
Bi Sari yang kasihan pada Alviona—dan frustasi karena tidak bisa membantu—akhirnya menelepon Nayla diam-diam.
Nayla datang dengan wajah yang penuh kekhawatiran, langsung naik ke kamar Alviona dengan langkah cepat.
"Viona!" dia mengetuk pintu dengan cemas. "Viona, ini aku! Buka pintunya!"
Tidak ada jawaban.
"Viona kumohon! Bi Sari bilang kau tidak makan berhari-hari! Aku khawatir! Kumohon buka pintunya!"
Masih tidak ada jawaban.
Nayla menempelkan keningnya di pintu, suaranya berubah jadi bisikan yang bergetar:
"Aku tahu kau di dalam... aku tahu kau mendengar... kumohon jangan seperti ini... kau tidak sendirian... aku di sini... aku akan selalu di sini..."
Keheningan.
Lalu—suara sangat pelan dari dalam:
"Pergi."
Satu kata. Datar. Hampa.
"Viona—"
"Kumohon... pergi..." suara itu pecah sekarang. "Aku tidak mau kau lihat aku seperti ini... aku... aku memalukan..."
"Kau tidak memalukan!" Nayla langsung protes dengan keras. "Kau korban! Kau tidak salah! Yang salah adalah—"
"PERGI!" Alviona berteriak kali ini—bukan keras, tapi ada keputusasaan di sana yang membuat Nayla terdiam.
"Kumohon... aku mohon... biarkan aku sendiri... aku tidak layak punya teman... aku tidak layak punya siapapun..."
Nayla berdiri di depan pintu dengan air mata yang mulai jatuh—frustasi karena tidak bisa membantu, sakit hati karena melihat sahabatnya hancur seperti ini.
"Aku akan kembali," bisiknya dengan suara bergetar. "Aku tidak akan biarkan kau sendirian. Tidak peduli kau mau atau tidak. Aku akan terus kembali."
Dan dengan berat hati, Nayla pergi—tapi janji itu dia pegang.
---
**[MALAM KEENAM - PREDATOR DATANG LAGI]**
Malam keenam, Alviona berbaring di ranjang dengan mata terbuka—tidak bisa tidur karena takut mimpi buruk akan datang lagi.
Pukul 11 malam, pintu kamarnya terbuka.
Tanpa ketukan. Tanpa permisi.
Alviona langsung tegang—tubuhnya yang sudah sangat lemah karena tidak makan berhari-hari langsung kaku.
Daryon masuk dengan langkah santai—kemeja kerja sudah dibuka beberapa kancing, lengan dilipat, dan ada sesuatu di wajahnya yang membuat perut Alviona mual.
Senyum.
Bukan senyum hangat. Bukan senyum menyesal.
Tapi senyum... cabul. Senyum predator yang melihat mangsa.
"Sayang..." panggilannya keluar dengan nada yang... manis. Terlalu manis. Manis yang palsu.
Alviona tidak menjawab. Tubuhnya mulai gemetar.
Daryon menutup pintu—mengunci—dan suara klik itu membuat Alviona ingin menangis.
"Kau sudah berhari-hari di kamar ini," ucap Daryon sambil berjalan mendekati ranjang dengan langkah yang santai. "Aku... aku merindukanmu."
Bohong. Jelas bohong.
"Daryon... kumohon..." suara Alviona keluar lemah, parau karena berhari-hari tidak banyak bicara. "Aku... aku masih sakit... dokter bilang aku belum boleh—"
"Sudah hampir dua minggu," potong Daryon sambil duduk di tepi ranjang, tangannya menyentuh kaki Alviona di atas selimut. "Kau sudah cukup pulih."
"Tidak... aku belum..." Alviona mencoba mundur tapi punggungnya sudah menyentuh headboard.
Daryon tersenyum lagi—senyum yang membuat Alviona merasa seperti objek, bukan manusia.
"Aku akan lembut," bisiknya sambil tangannya mulai menarik selimut.
"Kumohon jangan..." air mata Alviona mulai keluar. "Aku... aku tidak kuat... aku baru kehilangan bayi... aku—"
"Dan aku sudah bersabar cukup lama," Daryon memotong dengan nada yang mulai berubah—tidak lagi manis, mulai ada ketajaman di sana.
Tangannya menarik selimut sampai terbuka—mengekspos tubuh Alviona yang hanya berbalut kaos tipis dan celana pendek.
"Daryon kumohon dengarkan aku—"
Tapi Daryon tidak mendengar.
Atau lebih tepatnya—dia tidak peduli.
Tangannya mulai menyentuh—dan Alviona merasakan sesuatu di dalam dirinya mati lagi.
"Aku akan pelan," bisik Daryon sambil merangkak naik ke ranjang. "Aku janji..."
Tapi janji Daryon tidak pernah berarti apa-apa.
---
**[IMPLIED - FOKUS PADA DAMPAK EMOSIONAL]**
Malam itu, Daryon mengambil apa yang dia inginkan.
Tidak peduli Alviona belum pulih. Tidak peduli tubuhnya masih lemah. Tidak peduli mentalnya sudah hancur.
Yang dia peduli hanya... kebutuhannya sendiri.
Alviona berbaring dengan mata kosong menatap langit-langit—tubuhnya bergerak karena gerakan Daryon, tapi jiwanya... jiwanya sudah pergi jauh. Melayang ke tempat lain. Tempat yang tidak sakit. Tempat yang tidak ada Daryon.
Dia mendengar suara Daryon—napas berat, desahan, kata-kata kotor yang dia bisikkan—tapi semuanya terdengar jauh. Seperti dari ujung terowongan panjang.
Alviona tidak merasakan apa-apa lagi.
Tidak sakit. Tidak sedih. Tidak marah.
Hanya... kosong.
Dan ketika Daryon selesai—untuk pertama kali—dia tidak langsung pergi.
Dia berbaring sebentar, napas masih tersengal.
"Aku merindukanmu," bisiknya sambil mencium leher Alviona—ciuman yang seharusnya intim tapi terasa seperti... penyerangan.
Lalu dia bangkit—tapi tidak keluar.
Dia duduk di tepi ranjang, menatap Alviona yang tergeletak lemas.
"Lagi," ucapnya dengan nada yang... lapar.
Alviona menutup mata—berharap ini cepat berakhir.
Tapi tidak.
Daryon melakukannya lagi. Dan lagi. Dan lagi.
Seperti dia mencoba mengisi kekosongan di dalam dirinya dengan mengosongkan Alviona lebih jauh.
---
Ketika semuanya benar-benar selesai—ketika Daryon sudah puas—dia berdiri, merapikan celana, mengambil kemejanya.
Tidak ada pelukan setelahnya. Tidak ada kata-kata lembut. Tidak ada "apa kau baik-baik saja?"
Hanya keheningan.
Daryon berjalan ke pintu—berhenti sebentar—seperti mau bilang sesuatu—tapi kemudian menggeleng kecil dan keluar.
Pintu ditutup pelan.
Meninggalkan Alviona sendirian.
Telanjang. Lemah. Penuh bekas.
Lehernya merah dengan bekas gigitan dan hisapan—tanda kepemilikan yang kasar. Tubuhnya sakit di mana-mana. Perutnya mual. Kepalanya pusing.
Tapi yang paling sakit adalah... realisasi.
Daryon hanya manis saat dia mau sesuatu.
Kemarin dia baik karena dia merasa bersalah dan butuh pengampunan.
Tadi malam dia manis karena dia butuh tubuh Alviona.
Tapi besok? Besok dia akan dingin lagi. Akan kasar lagi. Akan... menjadi monster lagi.
Karena itulah Daryon. Itu akan selalu jadi Daryon.
Dan Alviona... Alviona harus menerima itu.
---
**[PAGI HARI - MOMENT YANG MENGHANCURKAN]**
Pagi hari, Alviona tidak bangun dari ranjang.
Tubuhnya terlalu sakit. Jiwanya terlalu lelah.
Dia hanya berbaring dengan selimut ditarik sampai menutupi tubuhnya yang penuh luka dan bekas—fisik dan emosional.
Matanya menatap meja nakas—dan melihat sesuatu yang dia sembunyikan di laci beberapa hari lalu.
Dengan tangan yang gemetar, dia membuka laci dan mengeluarkan sebuah foto kecil.
Foto hasil pemeriksaan kehamilan di minggu ke-12.
Foto yang menunjukkan bayangan kecil—sangat kecil—di layar monitor.
Bayangan yang seharusnya jadi bayinya.
Alviona menatap foto itu dengan air mata yang mulai jatuh lagi—tapi kali ini air mata yang berbeda.
Ini air mata dari tempat paling dalam. Dari luka yang tidak akan pernah sembuh. Dari kehilangan yang akan dia bawa selamanya.
"Maafkan ibu..." bisiknya pada foto itu, jarinya menelusuri bayangan kecil dengan sangat lembut. "Maafkan ibu tidak bisa melindungimu..."
Suaranya pecah—tetapi dia melanjutkan:
"Ibu... ibu sudah coba... tapi ibu tidak cukup kuat... ibu lemah... ibu gagal jadi ibumu..."
Dia memeluk foto itu ke dada—erat-erat—seperti memeluk bayinya.
"Harusnya kamu di sini... harusnya kamu di pelukanku... harusnya kamu dengar suara ibu... harusnya..."
Tangisannya pecah total sekarang—isakan yang memilukan, yang datang dari jiwa yang sudah terlalu hancur.
"Ibu merindukanmu... ibu akan selalu merindukanmu... maafkan ibu tidak bisa jadi ibu yang kamu butuhkan..."
Dia menangis sampai tidak ada air mata lagi. Menangis sampai suaranya hilang. Menangis sampai tubuhnya kehabisan tenaga.
Dan akhirnya—dengan foto masih dipeluk erat di dada—Alviona tertidur.
Tidur yang dipenuhi mimpi buruk lagi.
Tidur yang tidak memberikan istirahat.
Tidur yang hanya jadi pelarian sementara dari kenyataan yang terlalu menyakitkan untuk dihadapi.
---
**Di luar kamar, Bi Sari berdiri dengan nampan berisi makanan yang tidak tersentuh—lagi. Air matanya jatuh melihat kondisi Alviona. Di lantai bawah, Daryon sarapan dengan tenang seolah tidak terjadi apa-apa semalam. Dan di suatu tempat di kota, Kireina tersenyum puas membaca pesan dari mata-matanya di mansion: "Target semakin lemah. Rencana berjalan sempurna."**
**Apakah Alviona masih bisa bangkit dari kehancuran total ini? Atau dia akan terus tenggelam lebih dalam sampai benar-benar... hilang? Dan apakah ada seseorang—siapapun—yang akan menyadari bahaya sebelum terlambat?**
---
*