Mungkinkah cinta seorang ibu bisa runtuh oleh kebenaran genetik? Raya membesarkan putranya, Langit, dengan seluruh cinta dan jiwanya. Namun, sebuah tes medis tak terduga mengungkap fakta mengejutkan: Langit bukan darah dagingnya. Lebih mengerikan, DNA Langit justru mengarah pada masa lalu kelam Raya, terhubung dengan mantan suaminya yang dulu menyakitinya. Haruskah Raya mengungkap kebenaran yang bisa menghancurkan keluarganya, atau menyimpan rahasia demi menjaga 'anaknya'?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Ambang Kehilangan
Raya terisak, tubuhnya bergetar hebat. Kata-kata Karina terus bergema di telinganya, “Jebakan itu... baru saja tertutup.” Apa maksudnya? Perasaan dingin menyusup, lebih menusuk dari embusan angin malam. Langitnya... bagaimana dengan Langit? Ketakutan melumpuhkannya sesaat, tapi kemudian amarah membakar relungnya. Tidak akan. Dia tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti anaknya. Langit adalah darah dagingnya, bukan secara biologis, tapi secara jiwa.
Telepon genggamnya berdering, memecah kesunyian yang mencekam. Nama Ibu Diah, pengacaranya, terpampang di layar. Jantung Raya berdebar kencang. Ini pasti ada kaitannya. Ia menelan ludah, berusaha menstabilkan suaranya yang serak. “Halo, Bu Diah?”
“Raya, kamu sudah lihat suratnya?” Nada Ibu Diah terdengar tegang, cemas, seperti menahan berita buruk.
“Surat apa, Bu?” Raya mengerutkan kening, mencoba mengingat apakah ada dokumen penting yang ia lewatkan.
“Surat panggilan pengadilan. Dari Damar. Dan... dari Karina. Mereka mengajukan perintah penahanan sementara untuk Langit.”
Dunia Raya terasa runtuh. Perintah penahanan sementara? Artinya, Langit bisa diambil darinya? Sekarang? Tangannya gemetar hingga ponselnya nyaris jatuh dari genggaman. “Apa? Tidak mungkin! Atas dasar apa? Ini gila!”
“Mereka mengklaim kamu tidak stabil secara emosional, Raya. Dan yang lebih parah... mereka mengajukan klaim atas Langit sebagai ‘anak yang diculik’ atau ‘disalahgunakan secara identitas’. Damar bahkan menyertakan bukti DNA yang mereka dapatkan secara ilegal sebelumnya, bersama dengan laporan dari ‘saksi’ yang mengaku melihat kamu mengalami gangguan mental di rumah sakit. Karina... dia juga bersaksi tentang riwayat perceraianmu dan ‘ketidakmampuanmu’ untuk membesarkan anak.”
Darah Raya mendidih. Fitnah keji! “Itu bohong! Itu semua fitnah! Aku tidak pernah... Aku tidak gila!”
“Tenang, Raya. Aku tahu. Tapi ini serius. Mereka bergerak cepat. Sidang darurat akan diadakan besok pagi.”
Besok pagi? Raya merasa tercekik. Ia harus melawan. Untuk Langit. Ini bukan lagi tentang dirinya, tentang harga dirinya yang tercabik-cabik. Ini tentang nyawa Langit, tentang kebahagiaan putranya.
Malam itu adalah malam terpanjang dalam hidup Raya. Ia tidak bisa tidur. Setiap detik terasa seperti ancaman yang menggantung di atas kepalanya. Ia mencoba menghubungi Arlan, tapi suaminya itu masih menjaga jarak. Kemarahannya atas kebenaran tentang Langit terlalu dalam untuk diredam. Raya mengerti, tapi saat ini, ia membutuhkan Arlan lebih dari segalanya. Ia membutuhkan dukungan, kekuatan, dan orang yang percaya padanya. Tapi nomor Arlan hanya masuk kotak suara, tak pernah tersambung.
“Arlan, kumohon, angkat teleponku. Aku butuh kamu. Langit butuh kita,” bisiknya, air mata kembali menggenang, mengalir membasahi bantalnya. Ia merasa begitu sendirian, begitu rapuh.
Ia berjalan mondar-mandir di ruang keluarga yang gelap, hanya diterangi rembulan yang menerobos tirai. Matanya tertuju pada foto Langit yang tersenyum ceria, memegang boneka beruang kesayangannya. Langitnya tidak boleh tahu apa-apa. Langitnya harus tetap bahagia, tetap utuh. Ia harus melindungi Langit dari kebusukan dunia orang dewasa, dari semua kebencian dan kebohongan ini.
Raya teringat percakapannya dengan Karina beberapa waktu lalu, bagaimana wanita itu selalu menyimpan dendam. Tapi ini... ini bukan sekadar dendam pribadi. Ini adalah upaya terencana dan jahat untuk merenggut segalanya darinya. Karina pastilah bersekongkol dengan Damar, memanfaatkan kekosongan dan kelemahan yang ia tunjukkan belakangan ini.
“Kenapa, Karina? Kenapa kau begitu membenciku hingga ingin menghancurkan kehidupanku dan anakku?” gumam Raya, suaranya bergetar menahan amarah yang membara di dadanya.
Ia mengambil napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang menggila, menepis keputusasaan yang mulai merayapi benaknya. Ini bukan saatnya untuk menyerah pada keputusasaan. Ini saatnya untuk bertindak, untuk menjadi singa betina yang melindungi anaknya. Untuk Langit.
Ia menghubungi Ibu Diah lagi, merencanakan strategi. “Bu Diah, aku tidak akan membiarkan mereka mengambil Langit. Aku akan melawan habis-habisan. Aku tidak peduli mereka punya Damar atau Karina, aku tidak akan membiarkan Langit pergi.”
“Aku tahu, Raya. Kita akan berjuang. Kita punya bukti bahwa kamu adalah ibu yang penuh kasih. Kita punya kesaksian dari guru-guru Langit, teman-teman sekolah, dan bahkan tetangga. Tapi mereka punya klaim biologis Damar, dan kesaksian manipulatif Karina. Ini akan menjadi pertarungan yang sengit, sangat sengit.”
“Aku siap,” jawab Raya, suaranya mengeras dengan tekad membara. “Aku siap menghadapi apa pun yang mereka lemparkan kepadaku. Demi Langit.”
Pagi tiba terlalu cepat, membawa serta beban dan kecemasan yang mendalam. Raya berusaha bersikap setenang mungkin di hadapan Langit. Ia memeluk putranya erat, mencium keningnya, menanamkan semua cinta dan kekuatannya dalam pelukan itu. “Mama sayang Langit. Sangat, sangat sayang, nak. Ingat itu, ya.”
“Langit juga sayang Mama,” jawab Langit, senyum polosnya bagaikan obat penawar racun di jiwa Raya. Senyum itu memberinya kekuatan yang tak terbatas, mengusir sedikit rasa takut yang mencengkeramnya.
Di ruang sidang, suasana begitu mencekam, udara terasa berat dan dingin. Damar duduk di sisi lain, tatapan mata dinginnya menusuk Raya, seolah ingin melucuti jiwanya. Di sampingnya, Karina tersenyum licik, sebuah senyum kemenangan yang membuat bulu kuduk Raya merinding, firasat buruk kembali menyelimutinya.
Ibu Diah berbisik, menyalurkan kekuatan, “Ingat, Raya. Tetap tenang. Jangan terpancing emosi. Setiap reaksismu akan digunakan melawanmu.”
Hakim memasuki ruangan, mengakhiri bisik-bisik yang samar. Proses dimulai. Pengacara Damar, seorang pria paruh baya yang terlihat berpengalaman dan tanpa ampun, mulai menjabarkan tuduhan-tuduhan mereka. Ia menggambarkan Raya sebagai wanita yang labil, yang telah ‘mencuri’ identitas anak orang lain, dan menyembunyikan kebenaran dari anak tersebut. Setiap kata terasa seperti tamparan keras di wajah Raya, mengoyak-ngoyak hatinya.
“Klien kami, Bapak Damar, adalah ayah biologis sah dari anak yang bernama Langit,” kata pengacara Damar, suaranya tegas, penuh keyakinan. “Dan bukti DNA yang kami ajukan tidak dapat terbantahkan. Sementara itu, Nyonya Raya terbukti bukan ibu biologis dari anak tersebut. Fakta ini, ditambah dengan riwayat kesehatan mental yang tidak stabil dari Nyonya Raya yang kami dapatkan dari sumber-sumber terpercaya, menjadikannya tidak layak untuk membesarkan anak yang tidak memiliki ikatan darah dengannya.”
Ibu Diah segera menyela, bangkit dari kursinya. “Yang Mulia, keberatan! Klaim tentang ketidakstabilan mental Nyonya Raya sama sekali tidak berdasar dan merupakan serangan personal. Dan ikatan darah bukanlah satu-satunya parameter untuk menjadi orang tua yang baik. Nyonya Raya telah membesarkan Langit dengan penuh kasih sayang selama bertahun-tahun, menyediakan lingkungan yang stabil dan penuh cinta!”
“Terima kasih, Ibu Diah. Keberatan diterima dan dicatat,” kata Hakim, mengangguk pelan. “Namun, pengadilan perlu mendengarkan semua pihak secara adil.”
Kemudian giliran Karina. Dengan air mata buaya yang menetes dramatis di pipinya, ia menceritakan versinya tentang perceraian Raya dan Damar, memutarbalikkan fakta, menggambarkan Raya sebagai wanita yang terlalu ambisius, egois, dan mengabaikan Langit demi karier dan kesenangannya sendiri. Sebuah kebohongan besar yang membuat Raya mengepalkan tangan menahan amarah.
“Saya menyaksikan sendiri bagaimana Raya sering kali terlihat stres dan tidak sanggup mengelola emosinya, bahkan saya beberapa kali harus menenangkan Langit karena ketegangan di rumah,” kata Karina, suaranya bergetar dramatis, seolah ia adalah korban yang menderita. “Saya khawatir akan keselamatan Langit jika ia terus berada dalam pengasuhan yang tidak stabil seperti itu. Dia pantas mendapatkan lingkungan yang tenang dan aman.”
Raya ingin berteriak, ingin membantah setiap kebohongan yang keluar dari mulut Karina, ingin mengoyak-ngoyak wajah wanita licik itu. Tapi ia menahan diri, tangannya mencengkeram erat roknya, kuku-kukunya memutih menahan gejolak amarah.
Ibu Diah mulai membela. Ia mengajukan bukti-bukti berupa surat keterangan dari psikolog yang menyatakan Raya sehat secara mental, kesaksian dari tetangga dan guru-guru Langit yang memuji Raya sebagai ibu teladan, dan laporan medis Langit yang menunjukkan ia selalu mendapatkan perawatan terbaik dan tumbuh kembang yang optimal.
“Yang Mulia,” kata Ibu Diah. “Selama bertahun-tahun, Nyonya Raya telah menjadi satu-satunya sosok ibu dan figur orang tua yang stabil bagi Langit. Ikatan emosional antara mereka tak terpisahkan, lebih kuat dari ikatan darah manapun. Merenggut Langit dari Nyonya Raya adalah tindakan yang kejam dan akan menimbulkan trauma psikologis yang parah pada anak yang tidak bersalah itu.”
Hakim mendengarkan dengan saksama, sesekali mencatat sesuatu di buku catatannya. Mata Raya tak lepas dari wajah Hakim, berharap melihat secercah keadilan di sana, secercah pengertian akan cintanya yang tulus.
“Apakah ada bukti baru yang ingin diajukan, atau saksi lain dari pihak penggugat?” tanya Hakim, pandangannya beralih ke pengacara Damar.
“Ada, Yang Mulia,” kata pengacara Damar, tersenyum sinis, sebuah seringai tipis muncul di sudut bibirnya. “Kami ingin mengajukan bukti video dan rekaman audio yang baru saja kami terima, yang akan semakin memperkuat klaim kami.”
Jantung Raya serasa berhenti berdetak. Bukti apa lagi? Apa lagi yang sudah mereka siapkan untuk menghancurkannya?
Video diputar di layar besar di ruang sidang. Itu adalah rekaman samar-samar, seperti diambil secara sembunyi-sembunyi dari balik dinding, di lorong rumah sakit. Raya melihat dirinya sendiri, beberapa minggu setelah mengetahui kebenaran tentang Langit. Ia terlihat berantakan, rambutnya acak-acakan, wajahnya sembab, menangis histeris di lorong rumah sakit, memohon kepada seseorang yang tidak terlihat jelas untuk tidak mengambil Langit darinya. Suaranya serak, penuh keputusasaan dan rasa sakit yang mendalam.
“Tolong! Jangan ambil anakku! Langit adalah milikku! Aku ibunya!” teriak Raya dalam rekaman itu, diiringi isakan pilu yang memilukan. Gambaran dirinya yang rapuh dan hancur, terekspos tanpa belas kasihan.
Rekaman itu berakhir. Ruangan hening, diselimuti keheningan yang memekakkan telinga. Raya merasakan pandangan semua orang tertuju padanya, menghakiminya. Ia merasa telanjang, semua kerapuhannya terekspos di hadapan publik. Rekaman itu memang nyata. Itu adalah salah satu momen tergelapnya, ketika ia pertama kali mengetahui kebenaran dan hampir gila karena syok dan pengkhianatan.
“Rekaman ini menunjukkan dengan jelas ketidakstabilan emosional Nyonya Raya,” kata pengacara Damar penuh kemenangan, menyeringai. “Dia tidak bisa mengendalikan emosinya, bahkan di tempat umum. Bagaimana kita bisa yakin dia bisa memberikan lingkungan yang stabil dan aman bagi anak yang rentan seperti Langit?”
Ibu Diah segera berdiri, wajahnya memerah menahan amarah. “Yang Mulia, keberatan! Rekaman ini diambil secara tidak sah, tanpa persetujuan. Dan ini adalah momen yang sangat traumatis bagi Nyonya Raya, yang baru saja menerima berita mengejutkan dan menggetarkan tentang anaknya. Ini adalah respons manusiawi terhadap kesedihan dan keputusasaan yang mendalam, bukan bukti ketidakstabilan mental jangka panjang!”
“Keberatan dicatat, Ibu Diah,” kata Hakim, menghela napas. “Namun, rekaman ini tetap akan dipertimbangkan sebagai bagian dari bukti. Apakah ada hal lain?”
“Ada, Yang Mulia,” kata Karina, kembali tersenyum licik, sebuah kilatan kemenangan di matanya. Kali ini, ia mengeluarkan sebuah amplop tebal dari dalam tasnya. “Kami juga memiliki surat-surat dari beberapa rekan kerja Nyonya Raya di perusahaan lama, yang mengindikasikan bahwa Nyonya Raya sering kali absen tanpa keterangan, menunjukkan tanda-tanda depresi, dan bahkan pernah mengancam akan melukai diri sendiri jika Langit diambil darinya.”
Ini benar-benar di luar batas! Fitnah ini terlalu keji! Raya tidak pernah mengancam akan melukai diri sendiri! Ini adalah kebohongan paling busuk yang pernah ia dengar! Ia ingin bangkit dan menghajar Karina, mengakhiri semua kebohongan ini dengan tangannya sendiri.
“Ini semua bohong!” teriak Raya, tak mampu menahan diri lagi, suaranya parau karena amarah dan frustrasi. “Aku tidak pernah mengatakan itu! Karina, kau pembohong besar!”
Hakim mengetuk palu dengan keras. “Nyonya Raya! Mohon tenang. Jika Anda tidak bisa menjaga ketenangan, saya akan meminta Anda keluar dari ruang sidang. Jangan merusak proses hukum!”
Raya terhuyung, Ibu Diah menahan lengannya, berbisik, “Tenang, Raya. Jangan biarkan mereka menang. Ini yang mereka inginkan.”
Tapi bagaimana bisa ia tenang? Mereka memutarbalikkan segalanya, menciptakan narasi yang mengerikan tentang dirinya, merenggut martabatnya, dan kini mengancam untuk mengambil Langit.
Pengacara Damar melanjutkan, puas melihat kekacauan yang terjadi. “Surat-surat ini berasal dari sumber yang dapat dipercaya, Yang Mulia. Mereka menunjukkan pola perilaku yang mengkhawatirkan dan tidak pantas untuk seorang ibu.”
“Yang Mulia, surat-surat ini hanyalah sebatas tulisan tangan dan klaim tanpa bukti sah yang kredibel,” sanggah Ibu Diah, suaranya mencoba tetap tenang meskipun ia juga merasa frustrasi. “Apakah ada tanda tangan notaris atau saksi resmi? Ini bisa saja rekayasa belaka untuk memanipulasi pengadilan!”
“Itu akan kami selidiki lebih lanjut, Ibu Diah,” kata Hakim, nadanya mulai terdengar lelah. “Namun, saya harus mengakui bahwa bukti-bukti yang diajukan oleh pihak penggugat cukup mengganggu dan menimbulkan kekhawatiran yang serius.”
Raya merasa hampa. Semua usahanya, semua cintanya, semua pengorbanannya, dihancurkan oleh kebohongan dan manipulasi yang tak tahu malu ini. Rasanya seperti ada lubang menganga di dadanya, menguras seluruh kekuatannya.
“Baiklah,” kata Hakim, melihat jam tangannya, menghela napas panjang. “Mengingat kompleksitas kasus ini, dan demi kepentingan terbaik anak, saya memutuskan...”
Jantung Raya berdebar kencang, nyaris meledak. Ia menatap Ibu Diah, yang juga tampak tegang, napasnya tertahan.
“...untuk sementara waktu, Langit akan ditempatkan di bawah pengawasan sosial, di sebuah fasilitas penampungan anak, sampai keputusan akhir dapat diambil oleh pengadilan.”
Tubuh Raya membeku. Langit akan diambil? Dititipkan di fasilitas penampungan? Bukan pada Damar, bukan pada dirinya, tapi pada orang asing? Matanya memanas, napasnya tersengal, seperti ada tangan tak terlihat yang mencekik tenggorokannya. Ini adalah mimpi buruk terburuknya yang menjadi kenyataan.
“Tidak!” teriak Raya, bangkit berdiri, semua rasa takut dan putus asa memuncak. “Tidak bisa! Langit tidak bisa diambil dariku! Dia anakku! Aku ibunya!”
“Nyonya Raya, saya minta Anda tenang!” seru Hakim, nada suaranya tegas dan tidak main-main. “Keputusan ini bersifat sementara, untuk memastikan keamanan dan kesejahteraan anak selama proses hukum berlangsung dan untuk menghindari konflik langsung antara pihak-pihak yang bersengketa!”
“Kesejahteraan? Apa yang lebih sejahtera daripada berada di samping ibunya?! Ibu kandungnya!” Raya meraung, air mata mengalir deras di pipinya, membasahi seluruh wajahnya. “Langit tidak akan selamat di sana! Dia membutuhkan aku! Dia hanya punya aku!”
Ibu Diah berusaha menenangkan Raya, tapi Raya tidak bisa dihentikan. Ia menatap Damar, yang ekspresinya kosong, tak menunjukkan emosi, dan Karina, yang tersenyum sinis, penuh kepuasan, matanya memancarkan kemenangan yang dingin.
“Kalian kejam!” teriak Raya, tenggorokannya sakit. “Kalian tidak akan pernah mendapatkan Langit! Tidak akan! Aku bersumpah!”
Para petugas pengadilan mendekatinya, berniat menenangkannya atau menyeretnya keluar. Raya menolak. Ia tidak mau percaya ini nyata. Ia tidak bisa membiarkan Langit diambil. Ia harus berjuang sampai titik darah penghabisan. Tapi bagaimana? Bagaimana caranya ia bisa melindungi Langit dari sistem yang kejam ini, dari jebakan yang semakin mengikatnya?
Raya akhirnya diantar keluar dari ruang sidang, tubuhnya limbung, pikirannya kacau balau, dunia di sekitarnya terasa kabur. Ibu Diah mengikuti, wajahnya keruh, matanya dipenuhi simpati dan kekhawatiran.
“Raya, kita akan ajukan banding. Kita tidak akan menyerah,” kata Ibu Diah, suaranya mantap, mencoba menyalurkan sedikit harapan. “Tapi untuk sementara, kita harus mematuhi keputusan ini. Kita tidak ingin memperburuk keadaan.”
“Mematuhi?” Raya tertawa pahit, tawa yang terdengar lebih seperti rintihan. “Mematuhi apa? Membiarkan mereka mengambil anakku? Aku tidak akan pernah!”
“Raya, tolong. Berpikirlah jernih. Kita butuh rencana. Kita butuh strategi. Jangan sampai kepanikan ini membuatmu kehilangan akal.”
Raya menggeleng. Ia merasa kosong. Kekalahan ini terlalu pahit. Ini bukan hanya kekalahan hukum, tapi kekalahan jiwa, kehancuran eksistensinya sebagai seorang ibu.
Saat mereka melangkah keluar dari gedung pengadilan yang megah, sebuah tangan menepuk bahu Raya dengan lembut. Ia menoleh, matanya bengkak dan merah, nyaris tidak bisa melihat dengan jelas.
Seorang wanita paruh baya berdiri di sana, mengenakan setelan rapi, wajahnya tampak prihatin namun juga tegas. Ada aura kebaikan namun juga kekuatan di sekelilingnya. “Nyonya Raya?”
Raya mengangguk pelan, bingung siapa wanita ini.
“Saya Olivia Tan. Saya seorang konselor anak dan juga penyelidik independen yang ditugaskan oleh pengadilan untuk meninjau kasus Anda,” katanya, suaranya tenang namun jelas. “Saya telah mengamati sidang Anda. Dan saya harus mengatakan, saya merasa ada sesuatu yang tidak beres di balik semua ini. Ada banyak kejanggalan.”
Raya menatapnya, ada secercah harapan kecil yang menyala di kegelapannya yang pekat. Mungkinkah ini pertolongan dari Tuhan? “Maksud Anda?”
Olivia Tan menunduk sedikit, mendekat ke telinga Raya, suaranya merendah. “Saya melihat bagaimana Karina bersaksi. Dan saya punya alasan kuat untuk percaya bahwa beberapa ‘bukti’ yang diajukan oleh pihak Damar dan Karina mungkin tidak sepenuhnya jujur. Ada manipulasi.”
Jantung Raya kembali berdetak kencang, kali ini bukan karena takut, tapi karena secercah harapan yang mulai tumbuh. “Apa maksud Anda? Apakah Anda punya bukti?”
Olivia menatap sekeliling, memastikan tidak ada yang mendengarkan. “Tidak di sini. Ini terlalu berisik, terlalu banyak mata. Bisakah kita bicara di tempat lain? Saya punya informasi yang mungkin bisa membantu Anda membalikkan keadaan. Informasi tentang Karina... dan keterlibatannya dengan orang-orang yang seharusnya tidak berada di dekat Langit, orang-orang yang mungkin punya motif tersembunyi.”
Raya menatap wanita itu, benaknya berputar cepat. Mungkinkah ini kesempatan? Sebuah cahaya di ujung terowongan? Atau jebakan lain yang lebih berbahaya?
“Saya... saya bersedia. Kapan?” tanya Raya, suaranya tercekat, penuh harap.
“Malam ini. Di kafe dekat kantor saya. Sendirian, Nyonya Raya. Ada hal-hal yang sangat sensitif yang perlu kita bicarakan, hal-hal yang tidak bisa diketahui pihak lain.”
Olivia Tan menyerahkan kartu nama kepadanya, lalu pergi secepat ia datang, menghilang di keramaian. Raya memegang kartu nama itu erat-erat, seolah itu adalah satu-satunya jembatan menuju keselamatan. Jantungnya berdebar-debar antara harapan yang membuncah dan kecurigaan yang samar. Siapa Olivia Tan ini sebenarnya? Dan informasi apa yang dia miliki? Mungkinkah ini jebakan lain, jebakan yang lebih rumit, yang dirancang untuk menguji batasnya? Atau... ini adalah jalan keluar yang ia nantikan, sebuah kesempatan terakhir untuk menyelamatkan Langit? Di satu sisi, ada secercah harapan yang mulai tumbuh, di sisi lain, ia merasakan firasat buruk yang menguar, seperti bayangan yang mengintai di balik setiap janji manis. Ia tahu, apa pun itu, keputusannya malam ini akan menentukan segalanya, nasib Langit dan nasibnya sendiri.