Di kehidupan sebelumnya, Emily begitu membenci Emy yang di adopsi untuk menggantikan dirinya yang hilang di usia 7 tahun, dia melakukan segala hal agar keluarganya kembali menyayanginya dan mengusir Emy.
Namun sayang sekali, tindakan jahatnya justru membuatnya makin di benci oleh keluarganya sampai akhirnya dia meninggal dalam kesakitan dan kesendiriannya..
"Jika saja aku di beri kesempatan untuk mengulang semuanya.. aku pasti akan mengalah.. aku janji.."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aplolyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 3
Setelah mengatakan itu, Emily pergi meninggalkan mereka.
"Ayah.."
Emy merasa bersalah, dia menatap sang ayah seolah sedang mengatakan bahwa dia baik-baik saja dan mereka harus membawa Emily kembali.
Namun pria itu menggelengkan kepalanya dan berkata, "Biarkan saja, ayah pikir dia sudah berubah, lebih baik kita mencari bantuan dari perusahaan lain dari pada harus membuatnya pulang, ayah tidak suka sifatnya yang egois"
"Tapi ayah.."
"Tidak ada tapi-tapian.. ayo pulang"
Ethan mengambil kemejanya dan memakaikannya pada Emy agar gadis itu tidak kedinginan, kemudian dia mengambil kantong belanjaan milik Emily, dengan setengah berlari dia hendak mengembalikan itu padanya.
"Eh? Kenapa dia menghilang secepat ini?"
Emily hilang dari pandangannya padahal gang dimana gadis itu berbelok bisa dibilang agak panjang sedangkan baru saja dia melihat Emily berbelok beberapa detik yang lalu.
"Ethan! Tidak usah menyusulnya, ayo kita pulang"
Panggil sang ayah yang membuatnya mengurungkan niat untuk mengembalikan itu, plastik itu di bawa pulang, dia tak menyadari di dalam sana ada obat dengan dosis baru yang tadi pagi diambil Emily saat berkonsultasi di rumah sakit, botol obat itu bahkan belum dibuka sama sekali oleh Emily.
***
"S!al.. kemana plastik tadi?!"
Emily kembali ke tepi sungai setelah satu jam dari kejadian tadi, mencari keberadaan plastik belanjaannya namun tak menemukannya dimanapun.
Tidak masalah jika dia membeli lagi, namun sekarang badannya sudah sangat kesakitan dan perjalanan menuju rumah sakit butuh sekitar setengah jam.
"Ah, terserah sajalah.."
Emily berjalan menuju jalan utama, menunggu taxi saat salju pertama akhirnya turun.
'Sungguh indah, jika mati sekarang sepertinya bagus ya..'
Sepertinya ucapan Emily langsung menjadi doa yang mujur, di tepi jalan raya yang sunyi dan sepi, pandangannya mulai kabur dan telinga kirinya berdengung panjang sebelum badannya dengan ringan jatuh ke aspal.
Dia tak peduli siapa yang akan menemukan mayatnya untuk pertama kali, namun yang pasti pertama kalinya dia merasa damai.
***
"Emily? Hei.. bangun.. katanya mau diantar mendaftar?"
Emily mengerjapkan matanya, mendapati kakaknya yang sedang menatapnya.
"Kak Ethan?," Panggil Emily kemudian bangun dari tidurnya.
"Tadi pagi kakak ada urusan, tapi udah selesai, ayo siap-siap.. kakak antar ke kampus"
Mendengar kalimat itu membuat Emily bingung, bukankah dia sudah mati?
"Ngapain ke kampus?," tanya Emily masih tak mengerti mengapa dia bisa ada di kamarnya dulu.
"Kan kamu mau urus berkas administrasi buat daftar kuliah, masa kamu lupa? Udah ah.. Kakak tunggu di bawah, langsung turun kalau udah siap ya," ucap Ethan lalu pergi dari kamar Emily.
Begitu kakaknya keluar, Emily mengambil kalender di meja kecil yang ada di samping tempat tidurnya.
"Astaga.. ini aku beneran balik ke masa lalu atau yang tadi itu cuma mimpi?"
Emily menggeleng-gelengkan kepalanya, mana mungkin dia bermimpi, karna rasa sakit saat kematiannya datang masih terbayang dalam pikirannya.
Meski masih syok namun Emily bergegas bersiap, jika menurut waktunya maka hari ini adalah hari dimana Emy akan terkena serangan asma, namun yang dia tak mengerti adalah sikap kakaknya.
Sudah jelas dulu Ethan dan sang ayah tidak mau mengantarkannya ke kampus sehingga dia kesal dan mengambil inhaler milik Emy, lalu mengapa Ethan datang di siang hari dan berubah pikiran?
"Sudah? Tidak ada berkas yang ketinggalan kan? Ayo.."
Kakaknya berjalan menuju garasi diikuti oleh dirinya.
"Kakak beneran gak sibuk?," tanya Emily lagi, dia seperti melihat sosok lain pada kakaknya, tidak seperti dulu, saat dulu Ethan tidak pernah pusing dengan urusan Emily, meski dia tidak sibuk pun, dia tidak akan membantunya.
"Iya, kenapa sih? Gak percaya banget kamu"
Dalam perjalanan, Emily tak berhenti memikirkan kejadian selanjutnya, di masa lalu dia pergi mengurus administrasi sendirian, namun kali ini ada Ethan disampingnya.
"Nih, minum dulu, antriannya masih panjang," ucap Ethan yang menyodorkan air mineral pada Emily.
"Abis ini kakak mau ke rumah sakit, kamu ikut ya"
"Ngapain?"
Ethan mengambil tempat disamping kursi panjang lalu duduk dan menatap Emily, "Kakak mau medical check up, kamu juga mau?"
Mendengar itu membuat Emily menggelengkan kepala, untuk apa mengecek kesehatannya disaat dia tahu bahwa tiga tahun lagi dia akan meninggal karna kanker, meski kemungkinan hasil tes akan membuat dia bisa melakukan kemoterapi secepatnya namun Emily sudah muak.
Kali ini dia ingin pergi dengan tenang, tidak ingin menimbulkan masalah dan terlibat dengan si Emy itu.
"Kenapa gitu? Kakak harus mengisi berkas kesehatan di kantor, sekalian aja.. nanti kakak yang bayarin"
"Nomor 74!"
Untung saja panitia memanggilnya, jadi dia tidak perlu repot menjawab kakaknya.
"Emily Marleight Hambert ya?"
Emily menganggukkan kepala pada panitia, "Iya.."
"Berkasnya taruh disini trus kamu bisa tandatangan disini, kamu ambil Diploma kan?"
Ucap panitia itu sambil memberikan selembar kertas persetujuan di depannya, disana tertera bahwa dia masuk ke fakultas seni murni dengan jurusan seni lukis yang akan ditempuh 3 tahun penuh.
Dulu dia memang mengambil jurusan itu agar bisa satu kelas dengan Emy, dia ingat kalau pada masa ini kemampuan melukisnya belum terlalu bagus dan hanya masuk karna koneksi ayahnya.
Tapi tidak apa-apa, kali ini dia akan belajar dengan para profesional, berbeda dengan dulu saat dia hanya bisa membayar guru privat dengan harga seadanya sebelum akhirnya menjadi terkenal di dunia lukis dengan julukan Daisy itu.
"Ok, nanti langsung lihat informasi di grup buat lokasi dan waktu pelaksanaan pengenalan kampus ya"
Setelah mendengar itu Emily langsung kembali pada kakaknya.
"Sudah?"
"Hmm" jawab Emily dengan cuek, meski dia ingin menjauh dari mereka di kehidupan keduanya, namun sifat cueknya tidak bisa hilang begitu saja.
"Ayo.. kalau gak mau ke rumah sakit, kita pergi makan siang aja ya.."
Emily melihat jam tangan yang menunjukkan pukul 2.43 siang, "Makan siang atau makan sore"
Ethan mendengar namun tak menghiraukannya, dia membukakan pintu bagi Emily lalu mereka pergi ke sebuah restoran.
Selagi mereka menyantap makan 'siang', Emy baru saja kembali bersama ayahnya, tentu saja dia sudah duluan ke kampus bersama sang ayah.
"Kok sepi?," biasanya dia mendapat sambutan jahat dari Emily namun saudaranya itu tidak ada.
"Nyari sapa? Ethan belum pulang kerja," ucap ayahnya yang baru selesai berganti dari pakaian formal ke pakaian biasa.
"Ohh," mana mungkin Emy mengatakan bahwa dia mencari Emily, ayahnya mulai tidak suka dengan Emily semenjak keegoisannya untuk masuk kampus yang sama dengan Emy.
Saat SMA dia sudah banyak menganggu Emy dan sekarang dia masih ingin mengikuti Emy.
"Lebih baik kamu istirahat, ingat kata dokter.. kamu gak boleh terlalu kecapean"
Akhirnya Emy pergi naik ke atas menuju kamarnya.
Emy membuka kotak berisi peralatan melukisnya, "Kenapa sih susah sekali"
Emy melihat beberapa lukisannya yang kata guru privatnya kurang menarik, sang guru mengatakan bahwa dia harus banyak berlatih teknik mengoles kuas dengan benar serta gradasi warna agar lukisannya terlihat hidup.
Meski Emy lebih pandai di bidang akademik, namun dia bertekad untuk meneruskan bakat mendiang ibu angkatnya itu, atau bisa di bilang dia ingin diakui orang-orang sebagai anak kandung karna memiliki bakat sama dengan Nyonya Hambert.
Oleh karna itu, sekarang dia menghiraukan perintah sang ayah yang menyuruhnya istirahat, dia lebih memilih untuk berlatih di depan kanvas.
Saking fokusnya Emy, dia tidak sadar bahwa Ethan dan Emily tiba bersama-sama.
"Rajin banget ya.. kamu pikir lukisan kamu bagus?," rencananya Emily memang tak ingin mencari hal dengan Emy, namun ketika melihat gadis itu bermain dengan kuas membuatnya kesal.
"Sttthh.. pergi istirahat Emily.. tadi kamu bilang ngantuk," tegur Ethan pada Emily.
Emy heran, sejak kapan kakaknya perhatian pada Emily, lalu dari kalimatnya itu sepertinya mereka baru saja pergi bersama.
"Kakak pergi bareng kak Emily?" Tanya Emy begitu Emily pergi dari kamarnya.
"Iya.. kakak nganter dia ke kampus"
Tunggu, mengapa hari Emy merasa kesal, apa karna perhatian yang seharusnya menjadi miliknya kini terbagi?
Emy berusaha berfikir positif, setidaknya kakaknya datang menghampirinya begitu kembali bukan?
"Kamu juga istirahat, kakak mau ke ruang kerja dulu, ayah tadi manggil kakak"