Aku terbiasa diberikan semua yang bekas oleh kakak. Tetapi bagaimana jika suaminya yang diberikan kepadaku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aluina_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Sabtu pagi datang tanpa permisi, membawa serta langit kelabu yang seolah mengejek suasana hatiku. Aku berdiri di depan lemari yang terbuka, menatap gaun biru dongker yang tergantung menyedihkan di sana. Gaun yang disebut Kak Binar "masih bagus".
Memang bagus. Aku membelinya tahun lalu untuk pesta ulang tahun seorang teman. Kainnya sifon yang ringan, modelnya sabrina yang memperlihatkan bahu. Tapi gaun ini bukan gaun warna senja. Gaun ini tidak membawa percikan semangat yang sama, tidak menyimpan impian tentang sebuah malam di mana aku bisa menjadi pusat dari ceritaku sendiri. Gaun ini adalah pilihan kedua. Sebuah kompromi. Cerminan hidupku.
"Arin, sudah siap?" Suara Ibu terdengar dari balik pintu. "Nanti kamu berangkat sama Tante Ratih, ya. Ibu sama Ayah mau mampir ke rumah sakit dulu, jenguk Pakde Susilo."
"Iya, Bu," sahutku pelan.
Aku menarik napas panjang, memaksa diriku untuk bergerak. Setidaknya, aku harus datang. Demi Rere. Dia sahabatku sejak SMA, dan aku tidak akan membiarkan drama keluargaku merusak hari bahagianya.
Setengah jam kemudian, aku menatap pantulanku di cermin. Riasan tipis yang kububuhkan tak mampu menyembunyikan lingkaran hitam di bawah mataku, sisa tangis semalam. Gaun biru ini memang pas di badan, tapi terasa asing. Terasa seperti kostum. Aku bukan Arini yang bersemangat, aku adalah Arini yang sedang menjalankan kewajiban.
"Nah, cantik, kan?" Suara Tante Ratih yang ceria memecah lamunanku saat aku turun ke ruang tamu. "Biru itu warna kamu, lho, Rin. Kelihatan elegan."
Aku tersenyum, senyum yang terasa seperti tarikan otot. "Makasih, Tante."
Perjalanan menuju hotel terasa lama. Tante Ratih terus bercerita tentang arisan dan harga cabai yang naik, sementara pikiranku melayang. Aku membayangkan Kak Binar, mungkin saat ini sedang ditata rambutnya oleh penata rambut profesional, tertawa renyah saat Mas Danu memujinya. Mereka akan menjadi pasangan paling memukau di pesta malam ini. Dan salah satu elemen kemegahan itu adalah gaun impianku.
Gedung hotel menjulang megah, lobi utamanya dihiasi lampu kristal raksasa yang berkilauan. Karpet merah tebal meredam setiap langkah kaki. Suasana pesta sudah terasa bahkan sebelum aku memasuki ballroom. Musik lembut mengalun, bercampur dengan tawa dan denting gelas.
"Rin! Akhirnya kamu datang!" Rere, dalam balutan gaun pengantinnya yang seputih salju, langsung menghambur memelukku begitu aku menemukannya. Wajahnya berseri-seri, dipenuhi kebahagiaan murni.
"Selamat ya, Re. Kamu cantik banget, pangling aku," ucapku tulus, membalas pelukannya erat. Untuk sesaat, aku bisa melupakan kekesalanku.
"Kamu juga cantik! Suka banget sama gaunmu!" pujinya.
Aku hanya tersenyum. "Kakakmu mana? Katanya diundang juga."
"Belum kelihatan, sih. Mungkin sebentar lagi. Udah, jangan berdiri di situ aja. Ambil minum, gih. Nanti aku kenalin sama sepupu-sepupunya Dito," katanya sambil mengedipkan sebelah mata sebelum ditarik oleh ibunya untuk menyapa tamu lain.
Aku mengambil segelas jus jeruk dan mencari sudut yang tidak terlalu ramai. Dari sini, aku bisa melihat seluruh ruangan. Dekorasi bunga lili dan mawar putih memenuhi setiap sudut, menciptakan suasana romantis yang sempurna. Para tamu, dengan pakaian terbaik mereka, saling bercengkerama. Semuanya tampak sempurna.
Lalu, aku melihat mereka.
Mereka masuk seolah sorotan lampu tak kasat mata mengikuti setiap langkah mereka. Kak Binar dan Mas Danu. Mereka berjalan berdampingan, serasi dan memukau. Semua mata tertuju pada mereka.
Dan di sana, gaun itu. Gaunku.
Gaun warna senja itu terlihat seratus kali lebih indah saat dipakai oleh Kak Binar. Warnanya begitu hidup di kulitnya yang putih. Potongannya yang sederhana menjadi begitu mewah di tubuhnya yang jenjang dan sempurna. Kain satinnya berkilauan setiap kali ia bergerak, menangkap cahaya lampu seperti ribuan permata kecil. Rambutnya yang ditata model sanggul modern yang sedikit berantakan menonjolkan leher jenjangnya.
Di sebelahnya, Mas Danu tampak gagah dengan setelan jas hitam yang dipadukan dengan dasi berwarna senada dengan gaun Kak Binar. Mereka adalah definisi dari pasangan sempurna.
Perutku terasa seperti diremas. Napasku tercekat. Rasanya seperti seseorang meninju dadaku hingga sesak. Semua orang menatap mereka dengan kekaguman. Beberapa wanita berbisik sambil melirik ke arah gaun Kak Binar. Pujian mereka terdengar samar di telingaku, tapi setiap kata terasa seperti sayatan.
"Itu Binar, kan? Istrinya Danu Wijoyo? Gila, cantik banget!"
"Gaunnya ... lihat gaunnya. Desainer mana, ya? Aku mau!"
"Mereka pasangan paling serasi malam ini, sumpah."
Aku ingin menghilang. Berubah menjadi tak terlihat dan lari dari tempat ini. Tapi kakiku seolah terpaku di lantai.
"Arini! Di sini kamu rupanya!"
Suara Kak Binar yang riang membuatku tersentak. Dia menarik lengan Mas Danu dan berjalan ke arahku dengan senyum lebar. Senyum seorang bintang yang menyapa penggemarnya.
"Mas, ini lho, Arin. Adikku yang paling baik hati," katanya, suaranya sengaja dikeraskan agar beberapa orang di sekitar kami bisa mendengar. "Gaun cantik yang aku pakai ini, dia yang pinjamkan. Baik banget, kan?"
Mas Danu menatapku. Akhirnya, dia benar-benar menatapku. Tapi tatapannya sulit kuartikan. Ada sedikit rasa terima kasih, tapi lebih banyak lagi ketidakpedulian yang sopan. "Oh, hai, Arini. Makasih ya, Binar jadi makin cantik malam ini berkat kamu."
"Sama-sama, Mas," jawabku lirih. Suaraku nyaris tak terdengar.
"Kamu kok pakai baju yang ini, sih? Kenapa nggak pakai yang merah marun? Itu kan juga bagus," celetuk Kak Binar, matanya menilaiku dari atas sampai bawah. Sebuah kritik yang dibungkus seperti saran.
"Yang ini lebih nyaman, Kak," balasku, mencari alasan paling aman.
"Oh, begitu," gumamnya, sebelum perhatiannya teralih pada seorang wanita paruh baya yang menyapanya. "Tante Sinta! Apa kabar, Tante?"
Dan begitu saja, aku kembali dilupakan. Mereka larut dalam percakapan dengan teman-teman sosialitanya. Aku berdiri canggung di sebelah mereka, seperti pajangan yang tak diinginkan. Mas Danu sesekali melirikku, mungkin merasa sedikit tidak enak, tapi ia tidak tahu harus berkata apa. Dunianya adalah dunia Kak Binar. Aku hanyalah satelit asing yang kebetulan melintas di orbit mereka.
"Kamu harus kenalan sama teman-teman Mas Danu, Rin! Mereka banyak yang pengusaha sukses, lho!" seru Kak Binar tiba-tiba, menarik lenganku.
"Nggak usah, Kak. Aku di sini aja," tolakku halus.
"Ih, jangan gitu! Siapa tahu ada yang nyantol. Kamu kan harus cepat-cepat cari jodoh biar nggak sendirian terus," katanya lagi. Kata-katanya terdengar seperti perhatian, tapi bagiku itu adalah hinaan. Seolah status lajangku adalah sebuah aib yang harus segera ditutupi.
Aku hanya bisa tersenyum kaku. Setiap detik di pesta ini terasa seperti siksaan. Aku melihat Rere dan suaminya di pelaminan, tertawa bahagia, dan aku merasa iri. Bukan iri pada pernikahannya, tapi iri pada kebahagiaannya yang utuh. Kebahagiaan yang tidak perlu ia bagi atau ia relakan untuk orang lain.
Puncak penderitaanku adalah saat pembawa acara mempersilakan para tamu untuk berdansa. Mas Danu, tentu saja, langsung mengulurkan tangannya pada Kak Binar. Mereka melangkah ke lantai dansa.
Di tengah ruangan, di bawah cahaya temaram, mereka bergerak dengan begitu anggun. Gaun warna senja itu berputar, melambai, seolah ikut menari mengikuti irama musik. Kak Binar menyandarkan kepalanya di bahu Mas Danu, matanya terpejam, senyum bahagia terukir di bibirnya. Mereka tampak seperti adegan penutup dari sebuah film roman.
Dan aku? Aku adalah penonton. Penonton yang telah menyediakan salah satu properti terpenting untuk adegan indah itu.
Cukup. Aku tidak tahan lagi.
Aku berjalan cepat menghampiri Rere yang sedang beristirahat sejenak di kursinya.
"Re, kayaknya aku harus pulang duluan," bisikku.
Raut wajahnya berubah cemas. "Lho, kenapa, Rin? Acaranya bahkan belum selesai. Kamu nggak enak badan?"
"Iya, kepalaku pusing banget tiba-tiba," aku berbohong. "Maaf banget, ya. Aku senang banget hari ini buat kamu. Selamat sekali lagi, Sayang."
"Ya udah kalau gitu. Kamu istirahat, ya. Hati-hati di jalan. Makasih banyak udah datang," katanya sambil memelukku.
Aku bergegas keluar dari ballroom, tidak menoleh ke belakang lagi. Udara malam yang dingin langsung menerpa wajahku, sedikit membantu menjernihkan kepalaku yang terasa panas. Aku memesan taksi online dan menunggu di lobi, merasa seperti seorang buronan yang berhasil kabur dari penjara.
Di dalam taksi, aku menatap gedung hotel yang gemerlap dari kejauhan. Di dalam sana, pesta masih berlangsung. Di dalam sana, kakakku sedang berdansa dengan suaminya, mengenakan gaunku. Gaun yang seharusnya menjadi pemberontakan kecilku, malam ini justru menjadi simbol kekalahanku yang paling telak.
Malam itu, saat aku tiba di kamar dan menanggalkan gaun biru yang terasa menyesakkan, aku berjanji pada diriku sendiri. Ini adalah yang terakhir kalinya. Aku tidak akan pernah lagi membiarkan dia merebut apa yang menjadi milikku.
Namun, aku tidak sadar. Bahwa apa yang dipertaruhkan di masa depan jauh lebih besar dari sekadar gaun pesta. Dan lawanku, ternyata jauh lebih lihai dari yang pernah kubayangkan.
kan jadi bingung baca nya..