Masih kelanjutan dari PETUALANGAN AJI DI MASA DEPAN.
Petualangan Aji kali ini lebih kelam. Tidak ada Pretty, dkk. Hanya dirinya, Sari (adiknya), bidadari nyentrik bernama Nawang Wulan, Tumijan, Wijaya, dan beberapa teman barunya seperti Bonar dan Batubara.
Petualangan yang lebih kelam. Agak-agak horor. Penuh unsur thriller. Sungguh tak bisa ditebak.
Bagaimanakah dengan nasib Pretty, dkk? Oh, tenang, mereka masih memiliki porsi di serial ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IG @nuellubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semedi di Bawah Air Terjun
Perjalanan itu dimulai sebelum fajar benar-benar merekah. Kabut masih menggantung rendah di atas perairan ketika Jaka Kerub membangunkan Aji. Tanpa banyak bicara, lelaki tua itu hanya memberi isyarat dengan dagunya. Itu merupakan sebuah tanda bahwa sudah waktunya berangkat. Aji meraih kain selendangnya, menggantungkan sebilah pisau pendek di pinggang, lalu mengikuti langkah Jaka Kerub yang ringan meski usianya tak lagi muda.
Mereka menyeberang danau dengan perahu kecil, menyusuri jalur yang tak pernah dilalui nelayan biasa. Air Danau Toba di bagian ini terasa lebih berat, seolah mengandung tarikan yang berbeda. Dayung Jaka Kerub bergerak perlahan namun pasti. Tak ada suara selain kecipak air dan napas mereka sendiri.
“Ini bukan sekadar perjalanan kaki,” kata Jaka Kerub akhirnya. “Anggap saja ini perjalanan niat.”
Aji mengangguk. Ia merasakan dadanya berdebar, bukan karena lelah, melainkan karena panggilan yang semakin jelas. Bayangan Sari masih menghantuinya. Di sana, terlihat takut dan pucat. Ia tahu, apa pun yang menantinya di ujung perjalanan ini, semuanya terkait dengan upayanya menjemput kekuatan yang belum pernah ia kenal.
Mereka berhenti di sebuah daratan yang tidak dikenal Aji. Bukan Samosir. Hutan di hadapannya lebih rapat, pohon-pohon menjulang dengan batang gelap dan akar menggembung dari tanah. Udara di sini lembap, beraroma lumut dan getah.
Perjalanan darat dimulai. Jam demi jam berlalu. Kadang mereka mendaki, kadang menurun. Kaki Aji terasa berat, namun ia menolak mengeluh. Jaka Kerub tidak pernah menoleh, seakan yakin Aji akan tetap mengikutinya. Hanya sesekali ia berhenti, menempelkan telapak tangan ke batang pohon atau menutup mata sejenak, seperti mendengarkan sesuatu yang tak terdengar oleh Aji.
Menjelang sore, suara gemuruh mulai terdengar. Pelan di awal, lalu semakin jelas. Air. Bukan sungai biasa. Getaran itu merambat ke dada Aji.
Mereka tiba di sebuah celah hutan yang terbuka. Di sana, air terjun menjulang tinggi. Lalu aliran air putih jatuh dari tebing batu hitam, menghantam kolam di bawahnya dengan tenaga liar. Kabut air memenuhi udara, membiaskan cahaya sore menjadi kilau-kilau halus.
Aji tertegun.
“Ini tempatnya,” kata Jaka Kerub. “Air ini tidak tunduk pada siapa pun. Kalau kau bisa berdiri di bawahnya tanpa melawan, kau akan belajar banyak.”
Tanpa banyak penjelasan, Jaka Kerub meminta Aji menanggalkan pakaian luarnya. Tubuh Aji kini hanya terbalut kain sederhana. Ia melangkah ke kolam dingin, napasnya tercekat ketika air menusuk kulit. Jaka Kerub menunjuk tepat ke bawah jatuhan air.
“Semedi di sana,” katanya. “Kosongkan pikiranmu. Biarkan air memukul kepalamu untuk membersihkan dan menguji hatimu.”
Aji menelan ludah, lalu melangkah. Saat tubuhnya masuk ke bawah air terjun, dunia seakan meledak. Air menghantam bahunya keras, membuat lututnya hampir menyerah. Nafasnya terputus. Namun ia memaksa berdiri, menanamkan kaki ke bebatuan licin.
Satu tarikan napas. Dua. Ia memejamkan mata.
Pikirannya berloncatan. Dari persoalan Sari, memikirkan Lestari, hingga masa-masa di Majapahit. Ada beberapa luka, amarah, hingga brasa bersalah. Air mengguyur kepalanya tiada henti. Perlahan, Jaka Kerub terdengar jauh, seolah berada di dunia lain.
Waktu akhirnya kehilangan makna. Yang tersisa hanya tubuh, air, dan napas di dalam diri Aji.
Entah berapa lama berlalu ketika Aji merasa sesuatu berubah. Air yang tadinya terasa sebagai pukulan kini berubah seperti tangan yang menekan, memandu. Pikiran tak lagi berontak. Ia membiarkan bayangan datang dan pergi. Dalam kehampaannya, ia melihat dirinya sendiri. Yang bukan sebagai kakak, bukan sebagai anak, melainkan sebagai titik yang berdiri di antara banyak nasib.
Saat Jaka Kerub memanggilnya keluar, hari sudah berganti senja. Tubuh Aji gemetar, kulitnya memucat, namun matanya menyala dengan cahaya yang berbeda.
“Itu baru pintu,” kata Jaka Kerub. “Sekarang tubuhmu."
Latihan dimulai keesokan paginya, dan hari-hari setelahnya. Jaka Kerub mengajarkan gerak yang tak ia sebut sebagai jurus. Lebih sebagai cara berdiri, cara melangkah, cara memindahkan berat badan. Setiap gerakan menuntut kesadaran penuh. Sedikit lengah, maka Aji akan terjatuh.
Kemudian senjata diperkenalkan. Sebilah golok dengan bilah kusam, dan sebilah pisau panjang yang tajamnya dingin. Jaka Kerub tidak memulai dengan menyerang, melainkan menyuruh Aji menggambar lingkaran di tanah dengan ujung bilah.
“Senjata bukan untuk melampiaskan,” katanya. “Ia perpanjangan niat. Kalau niatmu sedang kacau, kau justru akan mencelakakan dirimu sendiri.”
Latihan sering kali berujung pada kegagalan. Aji tergores akibat terjatuh. Tubuhnya lebam. Namun setiap malam, ia kembali duduk bersemedi, kadang di bawah percikan air terjun yang lebih kecil, kadang di bebatuan dingin. Dalam semedinya, wajah Sari muncul. Itu bukan lagi hanya sebagai korban, melainkan sebagai alasan.
Suatu malam, Jaka Kerub melemparkan batang kayu ke arah Aji tanpa peringatan. Refleks Aji bergerak. Goloknya menangkis. Bunyi benturan menggema.
Jaka Kerub tersenyum tipis. “Kau mulai mendengar sebelum melihat.”
Aji terengah. Ia sadar, sesuatu di dalam dirinya memang berubah. Geraknya tak lagi didahului pikir panjang. Tubuhnya merespons dengan kesadaran yang utuh. Namun Jaka Kerub belum selesai mengujinya.
“Pada akhirnya,” kata lelaki tua itu suatu malam, di depan api kecil, “yang akan kau hadapi bukan hanya manusia. Ada hukum lain yang bekerja. Dan kau harus siap berdiri di antaranya.”
Aji memandang bara api yang berdenyut pelan. Ia tahu, perjalanan ini bukan tentang menjadi kuat semata. Ini tentang menjadi penjaga. Pun,tentang menyeberangi batas tanpa kehilangan diri.
Di kejauhan, air terjun terus mengaum, seolah menjadi saksi sumpah yang belum diucapkan, namun sudah mengikat.