Novel ini menceritakan tentang perjalanan seorang anak perempuan sulung yang baru menikah karena perjodohan. Ketika ia baru saja merasakan masa awal pernikahan tiba-tiba ia dihantam badai besar. Perceraian kedua orang tuanya setelah 30 tahun bersama, kematian keponakan yang baru 8 bulan dalam kandungan, serta pernikahan kembali Ibunya hanya 7 bulan setelah perceraian. Di tengah luka, ia berusaha membangun rumah tangganya sendiri yang masih rapuh. Hingga akhirnya, di usia 2 tahun pernikahannya, ia diberi rezeki yaitu kehamilan yang mengubah seluruh cara pandangnya tentang keluarga,takdir dan kesembuhan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RARESKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Sidang Yang Pahit
Pagi itu Bandung seperti kehilangan warnanya. Kabut tipis menggantung di antara gedung, dan suhu udara yang dingin menusuk tulang membuat Alya menggigil bahkan sebelum keluar dari gerbang rumah. Hari ini adalah hari yang sejak lama ia takuti hari sidang pertama mengenai status pernikahannya dengan Ardi. Hari ketika semuanya, entah diselamatkan atau benar-benar runtuh, akan diputuskan oleh meja hijau.
Alya berdiri lama di depan cermin kamarnya. Wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya, kantung mata menghitam, dan ada kesan lelah yang tak bisa disembunyikan bahkan dengan bedak tipis. Setelah menenangkan diri dengan napas panjang, ia merapikan jilbabnya dan mengenakan kemeja putih sederhana. Rapi, sopan, tidak mencolok. Ia ingin terlihat kuat hari ini, meski perasaannya berantakan.
Di meja rias, ponselnya bergetar. Notifikasi dari grup keluarga muncul, pesan dari ibunya, Murni:
“Nak, Ibu doakan semua lancar. Ingat, apapun keputusanmu, Ibu selalu mendukung.”
Alya mengetik balasan pelan, “Iya Bu, doain Alya kuat ya.”
Ia tahu ibunya ingin ikut mendampingi, tapi Alya menolak. Sidang ini terlalu berat untuk dilihat oleh siapapun, apalagi ibu yang mudah menangis. Alya ingin berdiri sendiri, menunjukkan bahwa ia bukan lagi gadis yang dulu menikah karena tekanan keluarga kali ini ia ingin menegakkan keputusannya sendiri.
Ketika melangkah ke ruang tamu, Ardi sudah duduk di sofa. Lelaki itu terlihat lebih rapi dari biasanya: kemeja biru muda, rambut disisir ke belakang, dan raut wajah yang muram tapi tenang. Ada jarak aneh antara mereka, jarak yang tidak pernah terasa selama tahun-tahun pernikahan mereka.
“Sudah siap?” tanya Ardi pelan.
Alya mengangguk tanpa banyak bicara. Mereka berjalan keluar rumah, berdiri berdampingan di halaman, tapi rasanya seperti dua orang asing yang kebetulan menuju ke tempat yang sama. Bukan sebagai suami istri, melainkan sebagai dua orang yang akan mempertahankan versi cerita masing-masing di hadapan hakim.
Mobil melaju pelan menyusuri jalanan menuju Pengadilan Agama Bandung. Tidak ada percakapan sepanjang perjalanan. Radio pun dimatikan sejak awal. Keheningan itu terasa tebal, seperti selimut yang menahan banyak hal yang ingin diucapkan namun tak lagi menemukan jalannya.
Sesampainya di pengadilan, halaman sudah ramai. Beberapa pasangan duduk menunggu dengan wajah lelah, sebagian tampak marah, sebagian pasrah. Pemandangan itu membuat perut Alya semakin mual. Ia tak pernah membayangkan dirinya akan berada di antara orang-orang dengan cerita rumah tangga yang runtuh.
“Alya…” suara Ardi memanggil, lembut, hati-hati. “Kalau kamu nggak siap.”
“Aku siap.” Alya memotong cepat. “Kita sudah sejauh ini, Ar. Nggak ada jalan mundur sekarang.”
Ardi menunduk, tampak menerima jawaban itu meski dengan berat hati.
Mereka duduk di kursi tunggu. Alya menggenggam map berisi berkas—surat pernikahan, bukti rekaman transaksi judi online, serta beberapa foto struk hutang yang ditemukan di dompet Ardi. Tangannya bergetar ringan, tapi ia paksa untuk tetap diam.
Tidak lama kemudian, petugas memanggil nama mereka.
“Ardi Rahman dan Alya Putri, dipersilakan masuk.”
Langkah Alya terasa berat, seperti ada batu bertengger di dadanya. Ruang sidang kecil itu dingin dan kaku, didominasi warna coklat kayu tua. Hakim duduk di depan, wajahnya tegas tapi tidak menakutkan. Dua orang panitera duduk di kiri dan kanan.
Mereka diminta duduk berseberangan: Ardi di kiri, Alya di kanan. Jarak meja di antara mereka yang hanya beberapa jengkal terasa seperti jurang dalam yang tak bisa dijembatani lagi.
Hakim membuka berkas mereka, lalu berkata dengan suara tenang namun tegas.
“Baik, hari ini kita akan mulai sidang pertama terkait permohonan cerai yang diajukan oleh pihak istri, saudari Alya Putri. Apakah kedua pihak hadir?”
“Hadir, Yang Mulia,” jawab mereka hampir bersamaan.
Alya bisa merasakan jantungnya berdegup keras.
Hakim menatap Alya. “Saudari Alya, apa alasan saudari mengajukan permohonan ini?”
Alya menelan ludah. Ini bagian yang ia takuti. Bukan karena ia tidak punya alasan, tapi karena mengucapkannya berarti mengakui bahwa rumah yang dijaganya selama ini benar-benar retak.
Ia menarik napas, lalu mulai berbicara.
“Yang Mulia… selama beberapa tahun terakhir rumah tangga kami dilanda masalah. Ardi… suami saya… terjerat judi online. Banyak hal yang berubah sejak saat itu. Keuangan keluarga kacau, komunikasi kami selalu berakhir dengan pertengkaran, dan… saya sering merasa tidak aman secara emosional.”
Hakim menandai beberapa poin, lalu bertanya, “Apakah saudari pernah melaporkan kekerasan fisik?”
Alya menggeleng cepat.
“Tidak, Yang Mulia. Ardi tidak pernah memukul saya. Tapi… dia sering menghilang, menyembunyikan hutang, bahkan menggadaikan barang tanpa sepengatahuan saya.”
Ardi tampak menunduk, wajahnya seperti dilanda rasa bersalah.
Hakim berpaling pada Ardi. “Saudara Ardi, apakah saudara membenarkan apa yang disampaikan oleh istri anda?”
Suasana hening sejenak sebelum Ardi membuka suara.
“Saya… saya akui Yang Mulia, saya memang pernah berjudi online. Dan itu salah saya. Tapi saya sudah berhenti.” Suaranya bergetar. “Saya mau memperbaiki semuanya. Saya nggak mau berpisah.”
Ucapan itu menusuk Alya lebih dari yang ia kira. Ia memejamkan mata sebentar.
Haruskah ia percaya lagi? Atau ini hanya janji terakhir yang datang terlambat?
Hakim mengangguk kecil.
“Terima kasih. Sidang hari ini hanya pembacaan awal dan verifikasi data. Sidang lanjutan mengenai mediasi akan dilakukan minggu depan.”
Alya merasa lututnya melemas. Selesai… tapi belum benar-benar selesai. Masih ada tahap mediasi, dan entah apa yang akan terjadi.
Ketika keluar dari ruang sidang, Ardi memanggilnya.
“Yaa…” suaranya serak. “Kamu yakin mau lanjut semua ini?”
Alya menatapnya lama. Lelaki itu tampak lelah, tetapi juga tulus. Tapi luka yang ia buat tidak kecil.
“Kita lihat di mediasi nanti, Ar,” jawab Alya pelan. “Aku masih… butuh waktu.”
Ardi hanya mengangguk, dan untuk pertama kalinya mereka berpisah berjalan menuju pintu keluar. Alya ke arah kiri untuk memesan taksi online, sedangkan Ardi berjalan ke parkiran.
Dunia mereka yang dulu satu kini benar-benar terasa seperti dua jalan yang berbeda.
Keluar dari gerbang pengadilan, Alya berdiri sejenak di bawah langit Bandung yang mulai menghangat. Matahari telah muncul, tapi hawa dingin dan perasaan sesak di dadanya belum juga pergi. Ia merasa seperti baru saja keluar dari sebuah ruangan yang menguras seluruh tenaganya.
Ia membuka aplikasi taksi online, lalu menunggu di bangku dekat taman kecil di halaman pengadilan. Di sampingnya, beberapa pasangan lain tampak menangis, ada pula yang saling bertengkar. Semua orang punya ceritanya masing-masing, pikir Alya, tapi tak ada yang benar-benar mudah.
Ponselnya kembali bergetar. Kali ini pesan dari Laras, adik perempuan pertamanya.
“Kak, gimana sidangnya? Kakak baik-baik aja kan?”
Alya mengetik cepat, “Nanti Kakak cerita ya. Sekarang masih di luar pengadilan.”
Ia menutup layar ponsel, lalu menunduk. Perasaannya campur aduk lelah, sedih, bingung, tapi juga sedikit lega karena sidang pertama telah dilalui. Namun, mediasi nanti jauh lebih berat. Di sana, ia harus duduk berdua dengan Ardi, membicarakan inti dari hubungan mereka: bertahan atau berpisah.
Tak lama kemudian, taksi datang. Alya masuk dan duduk, memeluk tasnya erat-erat. Sepanjang perjalanan pulang, ia hanya menatap keluar jendela. Kota terasa asing, seolah ia melihat Bandung dari sudut pandang baru sebagai seorang perempuan yang sedang berjuang mempertahankan dirinya sendiri.
Sesampainya di rumah, suasana sepi. Tidak ada suara televisi, tidak ada bau masakan, hanya keheningan yang membuat rumah terasa lebih besar dan kosong dari biasanya. Alya meletakkan map sidang di meja makan lalu duduk, menundukkan kepala, mencoba menarik napas dalam-dalam.
Air matanya akhirnya jatuh. Bukan karena ingin berpisah, tapi karena harus melalui semua rasa sakit ini sendirian.
Ia meremas ujung jilbabnya sambil berkata pelan pada diri sendiri, “Aku kuat… aku harus kuat…”
Pintu rumah terbuka beberapa menit kemudian. Ardi rupanya memutuskan pulang juga. Lelaki itu masuk perlahan, seolah takut mengusik ketenangan rumah yang kini tidak lagi sama rasanya seperti dulu.
Alya buru-buru menghapus air mata, berdiri, dan mengambil jarak beberapa langkah.
Ardi menatapnya lama. “Kamu nangis?” tanyanya pelan.
“Nggak,” jawab Alya cepat, meski jelas suaranya bergetar.
Ardi tidak memaksa. Ia hanya melepaskan napas panjang, lalu meletakkan kunci mobil di meja.
“Sidang tadi… bikin aku sadar banyak hal, Ya.” Suaranya lirih, lebih jujur dari biasanya. “Aku lihat kamu duduk di depan hakim, jelasin semua kesalahan aku… dan aku baru benar-benar mikir. Selama ini aku nyakitin kamu, tapi kamu tetap ada. Dan pas kamu bilang kamu butuh waktu… itu lebih nyakitin daripada dimarahin.”
Alya terdiam. Kata-kata itu terasa seperti hujan gerimis yang jatuh ke tanah keras menyentuh, tapi tidak cukup untuk menghidupkan.
“Ar…” Alya akhirnya menjawab, “aku nggak mau bohong. Aku capek. Aku sayang sama kamu, tapi luka yang kamu buat banyak. Aku nggak tahu apa semuanya masih bisa sembuh.”
Ardi mengangguk pelan. “Aku ngerti. Tapi aku mau kamu lihat satu hal… aku berubah, Ya.” Ia menatapnya dengan mata merah. “Aku beneran berhenti. Aku ikut pertemuan konseling seminggu sekali. Aku udah lapor ke Mama juga. Aku mau kamu percaya.”
Alya menunduk, tak sanggup membalas tatapan itu.
“Masalahnya bukan cuma kamu berhenti atau nggak,” bisiknya. “Tapi rasa percaya itu sendiri sudah rusak, Ar. Itu yang berat.”
Keduanya kembali terdiam. Sunyi itu terasa seperti sebuah tembok tinggi yang berdiri di antara mereka.
Ardi akhirnya melangkah mundur, seperti menyerah untuk hari ini. “Kalau kamu butuh ruang… aku tidur di kamar belakang aja dulu. Aku nggak mau nyusahin kamu.”
Alya tidak menjawab. Ia hanya memandangi punggung Ardi yang perlahan menghilang di lorong rumah. Lelaki itu tampak lebih tua dari usianya, seperti seseorang yang memikul beban yang terlalu lama dibiarkan menumpuk.
Setelah Ardi menghilang, Alya pelan-pelan duduk kembali. Ia memandang map sidang yang tergeletak di atas meja. Di dalamnya tertulis masa depan yang belum diketahui bentuk akhirnya: apakah pernikahan mereka akan berakhir, atau bisa diselamatkan.
Tangannya menyentuh kertas-kertas itu. Hatinya sakit, tapi tidak sekeras beberapa bulan lalu. Mungkin karena ia mulai menerima bahwa apa pun yang terjadi nanti, ia sudah berusaha. Baik sebagai istri, sebagai perempuan, maupun sebagai dirinya sendiri.
Ponselnya kembali berbunyi. Kali ini dari ibunya.
“Assalamualaikum, Nak. Kamu pulang sendirian? Ibu masakin sup kesukaan kamu, kalau mau Ibu anterin.”
Mendengar itu, mata Alya kembali hangat.
“Waalaikumsalam Bu… Nggak usah. Aku istirahat aja di rumah ya. Makasih.”
Setelah menutup telepon, Alya berjalan ke kamarnya. Ia membuka jendela, membiarkan angin Bandung yang sejuk masuk. Meski hatinya penuh kekhawatiran, ada sedikit rasa tenang yang datang.
Ia tahu, perjalanan ini belum selesai. Masih ada mediasi, keputusan, mungkin pertengkaran baru, atau mungkin harapan baru. Tapi untuk hari ini, ia memilih untuk tidak memikirkan sejauh itu.
Ia hanya ingin tidur, memberi tubuhnya kesempatan untuk pulih dari hari yang pahit.
Dan ketika ia menutup mata, satu doa kecil terlintas di hatinya:
“Ya Tuhan, kuatkan aku. Apa pun hasilnya nanti, jangan biarkan aku hilang dalam luka ini.”