Jika bukan cinta, lalu apa arti ciuman itu? apakah dirinya hanya sebuah kelinci percobaan?
Jelas-jelas Satya menyayangi Hanin hingga pernah menciumnya, tapi setelah suatu kebenaran terungkap dia justru menghindar dan menjauh.
Satya berubah menjadi sosok kakak yang dingin dan acuh, bahkan memutuskan meninggalkan Hanin.
Apakah Hanin akan menyerah dengan cintanya yang tak berbalas dan memilih laki-laki lain?
Ataukah lebih mengalah dengan mempertahankan hubungan persaudaraan mereka selama ini asalkan tetap bersama dengan Satya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwi Asti A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hanin Ingin Punya Pacar
Hanin membuka matanya, menatap langit-langit kamar yang membuatnya sadar dirinya sedang berada di kamar. Hanin beranjak bangun. Dia masih ingat terakhir dia berada di mobil dan sepertinya tertidur. Pakaiannya pun masih sama yang dia kenakan saat pergi ke kafe bersama keluarganya. Hanya saja dia tidak tahu siapa yang sudah membawanya ke kamar. Jika bukan papanya, pasti Satya.
Hanin ingin mandi, dia kemudian melepas pakaian luarnya menyisakan dalaman tanpa lengan, lalu berjalan ke arah kamar mandi. Hanin menghentikan langkahnya saat menyadari seseorang berdiri di dekat jendela. Seketika Hanin menoleh.
“Kakak!” Hanin berteriak karena kaget. Begitu menyadari pakaian yang dikenakannya dia lekas berbalik.
Satya sedang berdiri memandang keluar jendela ketika tiba-tiba Hanin berteriak, juga mengejutkannya.
“Mau ke mana?” tanya Satya.
“Mau mandi,” jawab Hanin masih membelakangi Satya. Hanin mendengar suara langkah kaki Satya mendekat ke arahnya. Hanin kembali teringat kejadian sore itu, saat Satya baru kembali dari Jakarta. Hanin merasakan jantungnya berdebar begitu cepat. Dia takut Satya kembali melakukan sesuatu pada dirinya.
Langkah itu semakin lama semakin mendekat. Debaran jantung Hanin pun kian cepat. Begitu langkah itu tiba di belakangnya Hanin merasakan tubuh Satya menempel di punggungnya, lalu memeluknya dari belakang. Embusan nafas yang hangat terasa di telinganya hingga sebuah sentuhan di tengkuknya membuat Hanin mendesah.
“Hentikan, Kak!” teriak Hanin.
“Ada apa?” tanya Satya.
Hanin membuka matanya, menatap pada sosok Satya yang tengah berdiri di hadapannya menatapnya. Hanin terdiam untuk beberapa saat, kedua matanya yang bening bergerak-gerak gelisah. Dia sedang memikirkan apa yang barusan terjadi apakah benar-benar terjadi atau ...,
“Kau ini senang mengigau ya, dalam keadaan tidur maupun sadar seperti ini,” kata Satya.
“Maksud Kak Satya apa yang barusan terjadi itu hanya mimpi?”
“Tadi kau mengigau, sekarang mimpi sambil berdiri.” Satya membungkukkan sedikit badannya hingga wajahnya menjadi begitu dekat dengan Hanin.
“Hani mimpi? Barusan itu mimpi?” Hanin bertanya seperti orang linglung.
“Mimpi apa sampai membuatmu berteriak seperti itu?”
Mendengar pertanyaan Satya rasanya aneh, tapi setelah dipikir-pikir sepertinya itu memang terjadi pada dirinya. Apa yang barusan dirasakannya seperti nyata ternyata hanya halusinasinya saja.
“Kakak tadi memeluk Hani dari belakang, lalu ...,” Hanin tak melanjutkan kata-katanya. Tangan kanannya mengelus tengkuknya yang masih merinding sambil mengingat kejadian tadi. Ketika jentikkan jari Satya di keningnya kembali menyadarkannya.
“Kau tidak hanya bisa bermimpi sambil berdiri, kau juga senang berhalusinasi.” Satya kembali menegakkan punggungnya sembari geleng-geleng kepala. “Sebaiknya kau jadi pengarang saja, Hani, supaya imajinasimu itu bermanfaat, siapa juga yang mau memeluk gadis belum mandi sepertimu.” Satya menggodanya.
“Kakak ...!” teriak Hanin.
Satya dengan cepat berlari menghindari Hanin yang mengejar ingin mencubitnya. Lalu keluar kamar, menutup pintu itu rapat.
Langkah Hanin mentok di pintu. Dia berdiri diam menyandarkan dirinya di pintu itu. Dia masih tidak percaya jika apa yang terjadi tadi hanya mimpi, tapi sepertinya Satya memang tidak melakukan apa pun pada dirinya. Satya berada di hadapannya saat itu.
“Ini tidak bisa dibiarkan, aku tidak bisa seperti ini terus-menerus.” Hanin membawa langkahnya menuju kamar mandi sambil memukuli kepalanya yang sering berkhayal, khayalannya selalu bersama dengan Satya.
Saat makan malam, Elvan masih membahas masalah isu tentang Satya hingga rencana ke depannya bersama gadis bersama Larasati itu. Tampaknya Elvan cukup serius, karena masalah Satya berhubungan dengan perusahaan. Elvan berharap berita hubungan Satya dan Larasati bisa meredam isu tersebut.
“Jadi apa rencana Papa untuk Satya selanjutnya?” tanya Miranda.
“Papa akan membicarakan itu nanti dengan Pramana saat rapat. Ada kemungkinan untuk meyakinkan orang-orang mengenai Satya, harus ada pembuktian hubungannya dengan Larasati supaya berita bisa melihatnya.”
“Jadi Papa serius dengan perjodohan mereka?” kembali Miranda bertanya. Mukanya masam setiap kali membicarakan perjodohan itu.
“Papa tidak bisa menjelaskan untuk saat ini, Mah, hanya ini jalan satu-satunya yang kami pikirkan. Kita lihat nanti perkembangannya.”
“Kenapa jadi seperti ini, si? Mengapa juga harus ada isu sampai membawa-bawa perusahaan segala,” gerutu Miranda.
Satya juga tidak senang dengan rencana perjodohan itu, hanya demi perusahaan papanya dia bersedia mengikuti permintaan Elvan. Kalau saja masalah itu tidak membawa perusahaan, Satya pastikan mengabaikan isu tersebut.
“Mah, kenapa Mama tidak senang Kakak dijodohkan dengan gadis itu, dia cantik kok, pintar lagi,” celetuk Hanin yang semenjak tadi memilih hanya menyimak pembicaraan.
“Karena Mama sudah memiliki calon lain untuk kakakmu.”
Jawaban Miranda membuat Satya dan Hanin terkejut. Sementara Elvan dia menatap Miranda tajam tidak senang. Miranda seketika meralat ucapannya.
“Maksud mama, mama ingin juga calon yang sesuai dengan selera mama. Satya itu sudah dingin, jarang bicara, dan tidak romantis. Dapat istri harus yang periang, manis dan lucu, dan yang lebih penting tidak pemarah apa lagi sibuk.”
“Kalau begitu nikahkan saja dengan kucing, Mah, manis, lucu dan menggemaskan. Kerjanya hanya makan dan rebahan.” Elvan menimpali ucapan Miranda dengan raut kesal.
Satya menyunggingkan bibirnya, melihat perdebatkan kedua orang tuanya. Sayangnya dia lebih ke pikiran tentang ucapan Miranda. Tidak mungkin juga hanya sebuah kebetulan mengatakan hal itu. Dia merasa ada sesuatu yang dirahasiakan.
‘Jadi mama juga sudah punya calonnya sendiri untuk kakak setelah papa mengenalkan Larasati. Mereka begitu gencar menjodohkan kakak, kapan mereka memikirkanku? Gadis seperti apa lagi yang akan mama kenalkan untuk kakak?’ batin Hanin.
“Setelah perjodohan kakak selesai, giliran Hani, Mah, Pah. Hani juga ingin punya pacar,” celetuk Hanin. Semenjak tadi ucapannya selalu mengejutkan semua orang.
“Nanti ada saatnya, sekarang kau harus fokus belajar yang rajin supaya bisa lulus ujian,” kata Elvan.
“Cuma buat pacaran tidak apa-apa, kan?” Hanin menimpali.
“Berapa kali kakak bilang, pacaran itu mengganggu pelajaran. Kau ini selalu tidak fokus dan terlalu banyak berkhayal. Jika ditambah punya pacar kau hanya akan memikirkan pacarmu itu,” kata Satya.
“Tapi kakak boleh.”
“Aku dan gadis itu cuma berkenalan. Lagi pula ini usulanmu, jadi jangan protes!” Balas Satya.
Hanin berubah cemberut.
“Hani sayang ..., memang apa yang kau pikirkan tentang orang berpacaran?” tanya Miranda.
Hanin meletakan sendok yang semenjak tadi dimain-mainkannya, kemudian memejamkan matanya sambil membayangkan apa yang dia rasakan.
“Dia berkhayal lagi,” gumam Satya melihat kelakuan adiknya itu.
Hanin mulai berbicara dengan mata masih terpejam, “Pacaran itu selalu bersama, ke mana pun selalu bersma. Duduk dan makan berdua bahkan dia menyuapi Hani. Rasanya ada seseorang yang perhatian itu sungguh menyenangkan,” jawab Hanin.
“Kalau hanya seperti itu bersama kakak pun jadi, tidak perlu berpacaran, oke?” Satya langsung mematahkan harapan Hanin.
“Pasti beda rasanya, Kak ...!”
“Hani, apa yang dikatakan kakakmu itu benar. Kau ini hanya senang diperhatikan dan kakakmu bisa melakukan itu,” ujar Miranda.
“Tapi tidak lagi setelah Kak Satya punya pacar. Pokonya kalau nanti kakak benaran jadian dengan gadis bernama Larasati itu, Hanin juga ingin punya pacar.” Hanin beranjak lalu pergi meninggalkan ruang makan dengan kesal.
Miranda dan Elvan tak terlalu memikirkan keinginan Hanin itu, mereka menganggap pikiran Hanin masih terlalu polos, belum benar-benar mengerti apa itu pacaran dan cinta. Mereka juga percaya Satya yang selalu bersamanya bisa menjaga dan menangani adiknya dengan baik.