Zoya tak sengaja menyelamatkan seorang pria yang kemudian ia kenal bernama Bram, sosok misterius yang membawa bahaya ke dalam hidupnya. Ia tak tahu, pria itu bukan korban biasa, melainkan seseorang yang tengah diburu oleh dunia bawah.
Di balik kepolosan Zoya yang tanpa sengaja menolong musuh para penjahat, perlahan tumbuh ikatan tak terduga antara dua jiwa dari dunia yang sama sekali berbeda — gadis SMA penuh kehidupan dan pria berdarah dingin yang terbiasa menatap kematian.
Namun kebaikan yang lahir dari ketidaktahuan bisa jadi awal dari segalanya. Karena siapa sangka… satu keputusan kecil menolong orang asing dapat menyeret Zoya ke dalam malam tanpa akhir.
Seperti apa akhir kisah dua dunia yang berbeda ini? Akankah takdir akan mempermainkan mereka lebih jauh? Antara akhir menyakitkan atau akhir yang bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zawara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Guru Tampan
Bersiul kecil, Zoya berjalan santai kembali menuju kelasnya.
Namun, saat ia berbelok di koridor utama yang menghubungkan ruang guru dan kelas-kelas, langkahnya terhenti.
Di depan ruangan Pak Bambang, sang Kepala Sekolah, terjadi pemandangan yang tidak biasa. Sekelompok siswi, mungkin sepuluh sampai lima belas orang berkumpul di sana. Anehnya, mereka semua perempuan, kebanyakan dari kelas X dan XI, dan mereka berkerumun dengan ekspresi... aneh. Setengah berbisik, setengah menahan tawa, sambil sesekali berjinjit mencoba mengintip ke dalam ruangan.
"Wah, ada apaan nih?" gumam Zoya, radarnya untuk drama langsung aktif.
Ia mengabaikan bel masuk yang sebentar lagi berbunyi, merasa ini jauh lebih menarik. Ia memperlambat langkah, mencoba melihat ada apa. Apakah Pak Bambang menangkap basah siswi yang membawa skincare? Atau ada razia rok?
Saat itulah, matanya menangkap sosok yang sangat ia kenali. Saat mendekat, ternyata di sana juga sudah ada Riani di barisan paling belakang. Sahabatnya itu juga tampak bingung sekaligus penasaran, berusaha mencari celah untuk melihat ke dalam.
Zoya mengerutkan kening. Ngapain Riani di sini?
Tanpa pikir panjang, Zoya menyelinap di belakang sahabatnya itu.
"Pst," Zoya menusuk punggung Riani dengan telunjuknya. "Woyyy… ngapain?"
Riani terlonjak kaget, nyaris berteriak. "Eh, Zoya! Anjir, lo ngagetin aja! Gue kira Bu Mirna!" serunya tertahan.
"Lo ngapain disini?" tanya Zoya, matanya ikut melirik penasaran ke arah pintu kantor Pak Bambang. "Ada apaan sih? Kok rame banget kayak pembagian sembako. Bukannya kita bentar lagi apel?"
"Gue juga nggak tau," bisik Riani, matanya terpaku ke depan. "Gue penasaran kenapa anak-anak ini pada ngumpul di sini. Katanya sih, ada yang ganteng banget baru masuk ke kantor Pak Bambang."
"Hah? Ganteng?" Radar Zoya langsung naik seratus persen. "Okey, gue temenin. Kita lihat."
Sepuluh menit berlalu tapi tidak ada yang terjadi. Kumpulan siswi itu tetap setia menanti sesuatu hal tanpa kepastian. Zoya dan Riani mulai bosan, hingga Pak Badri datang.
"Ckck kalian ini, kalian sebenarnya nungguin apaan sih?"
"Pakkk tadi kita lihat orang ganteng masuk ke kantor Pak Bambang, siapa tu pak?" ucap salah seorang siswi menjawab pertanyaan Pak Badri, guru fisika di sekolah itu.
"Astaga kalian ke sini gara-gara itu? Emang kalian yakin itu orang ganteng yang masuk? Kalo itu Pak Yanto gimana?"
Nyatanya memang benar, Pak Badri tahu seseorang yang masuk adalah guru baru yang tampan. Namun, ia terus berusaha menyangkal, meminjam nama Pak Yanto, tukang bersih-bersih sekolah. Pak Badri tak ada pilihan lain selain berbohong agar gerombolan siswi ini bubar.
"Udah, udah, kalian ini menunggu sesuatu hal yang gak pasti. Mending kalian ke lapangan sana. Lihat udah jam berapa ini," ucap Pak Badri tegas dengan raut wajah mulai serius.
Melihat wajah serius Pak Badri, semua siswi itu berlarian pergi menuju ke lapangan. Mereka tahu jika Pak Badri sudah memasang wajah serius, berarti dia tak akan segan-segan menghukum.
Berbeda dengan siswi lain, di sana tersisa Zoya dan Riani yang enggan pergi. Dua sahabat yang keras kepala itu tidak pernah takut pada guru killer karena menurut mereka orang rumah jauh lebih seram (kecuali bu Mirna).
Raut wajah serius Pak Badri berubah malas ketika mendapati sisa gadis di depannya adalah Zoya dan Riani.
"Heyyy kalian berdua... Hadehhh, males Bapak berhadapan sama kalian. Sekarang selagi Bapak masih baik, kalian pergi ke lapangan yaa," perintah Pak Badri.
"Ntaran lahh pak, kita masih kepo nih. Bener gak yang dibilang anak-anak cewek itu?" ucap Riani santai.
"Itu bener," jawab Pak Badri singkat, padat, dan jelas.
Zoya, yang berada di samping Riani, mengerutkan dahinya. "Ehh kok langsung dijawab si pak?" heran Zoya. "Biasanya juga ada debatnya dulu," lanjutnya.
"Nggak! Kagak mau, capek debat sama kalian berdua. Sekarang karena Bapak udah kasih tau, kalian pergi ke lapangan."
"Syapp pak, karena Bapak udah baik, kita juga baik!" ucap Zoya meletakkan tangan kanannya di samping dahi.
"Makasihhh pak, assalamualaikum," ucap kedua gadis itu bersamaan, lalu berlalu pergi.
"Waalaikumsalam." Pak Badri menatap punggung kedua gadis itu. "Hmm, walau mereka sering menyusahkan, tapi mereka sebenarnya anak yang baik," gumamnya, lalu ikut berjalan ke lapangan.
...***...
Sekarang semua siswa-siswi SMA Pelita sudah berada di lapangan tengah. Zoya dan Riani juga ikut meramaikan, mengambil barisan paling depan, sengaja menggeser tempat yang biasanya diisi musuh mereka, Ines dan Ela.
Tepat pukul 07.00, upacara dimulai.
Beberapa menit berlalu, upacara sudah setengah berjalan. Matahari mulai meninggi dengan garang. Dua gadis yang tadinya terlihat segar bugar karena gosip pagi, sekarang sudah layu seperti kerupuk kering kerontang.
"Gusti Allah SWT, ini bukan neraka, tapi kenapa rasanya kayak lagi simulasi siksa kubur, sih?" desis Zoya, mulai gelisah sambil mengipas-ngipaskan tangan ke leher.
"Nggak, Zo. Kata Mama neraka lebih panas dari ini," balas Riani tak kalah lemas, keringat sudah membasahi pelipisnya.
"Iya, gue tau, gue cuma perumpamaan aja, Ri."
"Zoya, Zoya, kayak kamu udah pernah bermukim di neraka ke tujuh saja, sampai-sampai pakai neraka sebagai perumpamaan buat dunia." Suara lembut namun tegas Bu Rasti tiba-tiba terdengar dari samping mereka.
Tak menghiraukan sindiran halus itu, Zoya justru langsung mengadu. "Bu Rasti, kapan sih apelnya selesai? Udah gerah banget ini, Bu. Bisa meleleh saya."
"Tunggu aja, tinggal sebentar lagi. Sekarang berhenti saling rangkul, sikap tegak," jelas Bu Rasti sabar sambil memperbaiki posisi baris dua gadis di sampingnya. Bu Rasti adalah satu-satunya guru yang mereka hormati, yang selalu sabar menuntun dua "biang kerok" ini.
Saat Zoya dan Riani sudah berdiri tegak dengan ogah-ogahan, mata Bu Rasti menyapu barisan lain di sebelah mereka.
"Lho," gumam Bu Rasti, matanya menyipit. "Itu barisan XI IPA 2, kan? Kok Ibu nggak lihat Ines sama Ela?"
Zoya, mendengar dua nama itu, langsung menegang. Punggungnya kaku. Ia pura-pura menatap lurus ke bendera Merah Putih sambil bersiul kecil tanpa suara.
"Zoya? Kamu tahu mereka ke mana?" tanya Bu Rasti, yang tahu betul Zoya adalah pusat informasi (dan masalah) di sekolah.
Zoya menoleh patah-patah, lalu nyengir kaku. "Wah, kurang tahu, Bu. Mungkin... mungkin mereka lagi quality time di toilet, Bu? Diare berjamaah mungkin? Kan lagi musim, Bu."
Riani menatap Zoya bingung, alisnya bertaut. "Diare? Perasaan tadi pagi mereka—"
DUK!
Zoya langsung menginjak kaki Riani pelan tapi penuh penekanan.
"Aduh!" pekik Riani tertahan.
Bu Rasti menghela napas panjang, tak mau ambil pusing lebih jauh. "Ada-ada saja kalian ini."
"Tapi Bu..." Zoya kembali merengek, berusaha mengganti topik.
"Kalian tunggu aja," potong Bu Rasti. "Selesai Pak Bambang pidato, beliau akan memperkenalkan seseorang."
"Yahhhh lama donggg," protes dua kembar Siam itu berbarengan.
"Udah, udah, tuh Pak Bambang sudah selesai."
Benar saja, selesai Pak Bambang berpidato, seorang pria muda melangkah maju. Posturnya tinggi semampai, tubuhnya tegap di balik kemeja rapi, wajahnya putih bersih, serta rambut hitam legam yang disisir undercut rapi. Ia segera menggantikan Pak Bambang berbicara di atas mimbar kehormatan.
Ia berdiri tegak, siap memperkenalkan diri dengan seluruh pusat perhatian tertuju padanya.
"Assalamualaikum."
"Waalariumsalam!" gemuruh siswa bersahutan, volumenya naik sepuluh kali lipat, seakan-akan baru saja menang lotre. Mereka yang tadinya lemah lesu kurang makan, sekarang tegak seperti tentara.
"Perkenalkan..."
Euforia meledak bahkan sebelum lelaki itu selesai bersuara. Suara maskulin dari pria itu benar-benar menghipnotis para kaum hawa SMA Pelita. Seperti melihat aktor drama Korea yang keluar dari layar kaca, mereka mulai menghalu ria.
"Masya Allah, Bu... itu siapa? Kok tampan banget kayak bukan manusia?" tanya Zoya dengan mata berbinar-binar, mulutnya sedikit terbuka.
"Itu Pak Radit namanya. Dia wali kelas baru kalian," jawab Bu Rasti tenang sambil tersenyum geli melihat reaksi muridnya.
"DEMI APA, BU?!" Seakan tak percaya, kedua gadis itu kompak memutar badan menghadap Bu Rasti.
"Mmm, demikian?" goda Bu Rasti.
"Bukan, bukan itu! Maksud kita, beneran, bapak ganteng itu wali kelas kami? Kelas IPA 3 yang terkutuk ini?" cecar Zoya.
"Iyaa, beneran."
Riani mengguncang-guncang lengan Zoya histeris. "Zoya! Mimpi apa kita semalam dapet wali kelas setampan itu? Mana suaranya merdu lagi! Fix, ini jodoh masa depan!"
"Iya, Ri! Auto rajin sekolah ini gue! Gue bakal duduk paling depan tiap hari!" seru Zoya tak kalah heboh.
Tiba-tiba, sebuah suara cempreng yang menyebalkan terdengar dari barisan laki-laki di sebelah kiri mereka.
"Woy, biasa aja kali! Norak lu pada!"
Zoya dan Riani menoleh serempak. Di sana berdiri Dandi dan Andre, teman sekelas mereka, yang menatap kedua gadis itu dengan pandangan geli.
"Tutup tuh mulut, ilernya netes ke lapangan, banjir ntar," celetuk Dandi sambil memperagakan gaya mau muntah. "Kayak nggak pernah liat laki-laki aja seumur hidup."
"Tau nih," timpal Andre sambil memutar bola matanya malas. "Baru liat yang bening dikit langsung kesurupan. Giliran liat kita tiap hari, boro-boro muji, disapa aja kagak."
"Dih! Najis!" balas Zoya sewot, matanya melotot galak. "Muka pas-pasan kayak kalian ngapain dipuji? Sadar diri dong, Mas!"
"Iri bilang bos!" sambung Riani sambil mengibaskan rambutnya. "Udah, diem aja kalian para butiran debu! Kalian iri kan karena kalah ganteng sama Pak Radit."
"Yeee, si ondel-ondel!" balas Dandi tak mau kalah. "Awas ya lu nanti kalo Pak Radit ternyata galak, jangan nangis ke kita!"
"Bodo amat! Yang penting ganteng!" Zoya menjulurkan lidah ke arah Dandi, lalu kembali fokus menatap Pak Radit dengan tatapan memuja, mengabaikan teman-teman laki-lakinya yang geleng-geleng kepala melihat tingkah norak dua sahabat itu.