NovelToon NovelToon
Love, On Pause

Love, On Pause

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Diam-Diam Cinta / Cinta setelah menikah / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:385
Nilai: 5
Nama Author: Nisa Amara

Jovita Diana Juno dikhianati oleh kekasihnya sendiri, Adam Pranadipa tepat tiga bulan sebelum pernikahan mereka. Sementara itu, Devan Manendra lekas dijodohkan dengan seorang anak dari kerabat ibunya, namun ia menolaknya. Ketika sedang melakukan pertemuan keluarga, Devan melihat Jovita lalu menariknya. Ia mengatakan bahwa mereka memiliki hubungan, dan sudah membicarakan untuk ke jenjang yang lebih serius. Jovita yang ingin membalas semua penghinaan juga ketidakadilan, akhirnya setuju untuk berhubungan dengan Devan. Tanpa perasaan, dan tanpa rencana Jovita mengajak Devan untuk menikah.

update setiap hari (kalo gak ada halangan)

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nisa Amara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

8

Mereka berjalan cepat menjauh dari restoran hingga akhirnya berhenti di depan mobil Devan. Begitu sampai, Jovita langsung menarik tangannya lepas dari genggaman pria itu dengan gerakan kasar.

Ia menatap Devan tajam, matanya penuh emosi yang sulit ditahan. “Apa maksudmu melakukan semua ini?” suaranya bergetar menahan marah. “Pacar? Menikah? Kamu sadar gak kamu barusan ngomong apa?”

Devan menghembuskan napas pelan, mencoba tetap tenang meski jelas situasinya memanas. “Aku minta maaf,” katanya datar tapi sungguh-sungguh. “Tadi suasananya mendesak, aku gak sempat mikir panjang.”

Jovita terkekeh pelan, nada tawanya penuh ketidakpercayaan. Ia melipat tangan di dada, menatap Devan dengan kesal. “Mendesak?” ulangnya sinis.

Belum sempat Devan menjawab, matanya menangkap sosok Mawar keluar dari restoran. Wajah wanita itu tampak muram, sorot matanya menyala marah. Devan langsung tegang, refleks menatap sekeliling dengan panik.

Tanpa banyak pikir, ia mendorong lembut bahu Jovita ke arah mobil. “Masuk dulu,” katanya cepat, nada suaranya berubah tegas. “Kita bicara di tempat lain,” tambahnya, kali ini terdengar lebih mendesak.

Jovita nyaris tak punya waktu membantah. Dalam hitungan detik, mobil Devan sudah melaju menjauh dari restoran.

Dari kejauhan, Mawar menatap mobil itu dengan pandangan tajam, dingin dan penuh amarah. Seperti elang yang mengawasi mangsanya, ia memperhatikan sampai mobil itu benar-benar hilang dari pandangan.

Mereka akhirnya berhenti di sebuah kafe. Tanpa menunggu persetujuan, Devan memesan dua piring spageti, satu untuknya, satu lagi untuk Jovita. Ia duduk santai di kursinya, tampak tenang seolah tidak baru saja membuat kegaduhan besar dan menyeret Jovita ke dalamnya.

Sementara itu, Jovita hanya menatapnya tak percaya, belum juga menyentuh makanannya.

Devan, di sisi lain, mulai makan dengan tenang, gerakannya teratur, seperti tak ada yang terjadi. Sikapnya membuat Jovita semakin bingung dan jengkel.

Jovita mengetuk meja dengan kesal, membuat Devan mendongak dari piringnya. Tatapannya tenang, tapi jelas bingung dengan sikap wanita di depannya.

“Jelaskan. Apa maksudmu melakukan itu?” suara Jovita terdengar tegas, menahan amarah yang hampir meledak.

“Kamu,” Devan sempat terhenti di tengah gerakannya menyuapkan spageti. Ia menelan makanannya dulu sebelum melanjutkan dengan nada santai, “Jadi pacarku sekarang.”

Jovita menatapnya lekat, alisnya berkerut dalam. Lalu ia terkekeh pelan, hampir tertawa karena tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Kamu gila? Kenapa aku harus jadi pacarmu?”

Devan hanya mengangkat bahu ringan, sama sekali tidak terlihat tertekan. “Karena kamu gak punya pacar sekarang. Pernikahanmu juga dibatalkan,” jawabnya santai.

Ucapan itu membuat Jovita mendesis, wajahnya memerah karena kesal. Tangannya sudah hampir terangkat untuk melempar minumannya ke arah Devan.

“Bener, kan?” tambah Devan, masih dengan nada datar yang entah kenapa justru membuat Jovita makin ingin meledak.

Jovita mencengkeram gelas di tangannya erat-erat, wajahnya sudah memerah karena marah. Ia hampir saja melemparnya ke arah Devan, tapi sebelum sempat, Devan buru-buru mengangkat tangan, tanda menyerah.

“Oke, oke. Aku bercanda,” katanya cepat, berusaha menenangkan situasi.

Namun bagi Jovita, ucapan itu bukan hal lucu. Ada rasa kesal sekaligus perih yang sulit dijelaskan. Mungkin bagi Devan, ucapannya hanyalah candaan ringan, tapi bagi Jovita, itu menyentuh luka yang belum sembuh. Ia memang tidak lagi punya kekasih, dan pernikahannya memang batal, tapi mendengarnya diucapkan begitu enteng tetap saja menyakitkan.

Matanya mulai memanas, dan agar air mata tak sempat jatuh, ia segera mengalihkan pandangannya.

Devan yang melihat perubahan ekspresi itu langsung tersadar. Nada santainya hilang, digantikan rasa bersalah yang perlahan muncul. Suasana di antara mereka mendadak kaku, senyap.

“Hei, aku minta maaf,” ucap Devan pelan, suaranya nyaris seperti bisikan.

Jovita menarik napas panjang, mencoba menahan emosi yang sudah di ujung tanduk. Ia menatap Devan dengan tatapan datar, dingin. “Aku gak mau, urus masalahmu sendiri,” katanya tegas.

Tanpa menunggu jawaban, Jovita berdiri. Namun terhenti sebelum sempat benar-benar pergi. Tubuhnya mendadak kaku, matanya membulat ketika melihat dua sosok yang baru saja masuk ke kafe, Adam dan Arum.

Devan ikut menoleh, wajahnya langsung berubah serius saat menyadari situasinya. Ia sempat menatap Jovita, yang kini terlihat tegang.

“Jovita?” panggil Adam pelan. Pandangannya lalu beralih ke Devan, sorot matanya langsung berubah tajam.

Jovita menatapnya balik dengan dingin, berusaha tetap tenang meski dadanya berdegup kencang. Tapi matanya sempat bergerak turun, pada tangan Arum yang kini menggenggam tangan Adam dengan mantap. Ada sesuatu di sana yang menusuk, entah marah, kecewa, atau sekadar luka yang belum benar-benar sembuh.

“Kenapa kamu di sini? Bersamanya?” tanya Adam akhirnya.

Jovita menarik napas, menatapnya lurus tanpa berkedip. “Kenapa kamu peduli?” balasnya dingin.

Adam belum sempat membuka mulut untuk membalas, ketika Arum tiba-tiba maju selangkah dan menyela dengan senyum manis yang terdengar dibuat-buat.

“Kebetulan kamu di sini,” ucapnya ringan, matanya melirik sekilas ke arah Devan. “Gimana kalau kita makan bareng?”

Jovita menatapnya tajam, seolah tak percaya dengan keberanian Arum mengucapkan itu. Beberapa detik kemudian, bibirnya melengkung, tapi bukan dalam senyum ramah, melainkan tawa kecil yang terdengar sinis.

“Kenapa aku harus makan bersama kalian?” tanyanya pelan, suaranya tenang tapi dingin dan tajam seperti silet.

Tanpa memberi kesempatan untuk menjawab, Jovita menoleh ke arah Devan, lalu menarik lengannya agar berdiri. “Kita udah selesai makan,” katanya datar. “Baru aja mau pergi.”

Gerakannya tegas, tapi jelas dari caranya menarik napas bahwa ia sedang menahan banyak hal, amarah, luka, dan gengsi yang harus ia jaga di depan mereka.

Devan yang sebenarnya masih ingin melanjutkan makannya hanya bisa menghela napas, pasrah saat Jovita menarik tangannya menjauh dari meja. Ia mengikuti langkahnya tanpa banyak bicara, meski jelas terlihat kalau ia belum siap pergi.

Namun baru beberapa langkah menuju pintu, Adam menahan gerak mereka. Tangannya menggenggam lengan Jovita, membuat keduanya berhenti.

“Apa hubungan kalian?” tanyanya pelan tapi tegas, sorot matanya tajam penuh rasa penasaran.

Jovita terdiam sejenak, pikirannya berputar cepat. Ia tahu apapun yang dikatakannya sekarang akan berarti sesuatu, untuknya, untuk Devan, dan mungkin juga untuk Adam.

Di sampingnya, Devan perlahan melepaskan genggamannya dari tangan Jovita, seolah ingin berbicara. “Kita cuman…” katanya, tapi kalimatnya terhenti saat Jovita menoleh dan menariknya kembali mendekat.

“Kita berpacaran sekarang,” ucap Jovita cepat, mantap, tanpa memberi ruang untuk keraguan sedikit pun.

Devan menoleh kaget, matanya bergetar menatap wajah wanita itu. Ia tak tahu harus merasa apa, lega karena Jovita akhirnya menyetujuinya, atau bingung karena tidak tahu sejauh mana kebohongan ini akan dibawa.

Adam hanya terdiam, wajahnya sulit dibaca. Tapi sebelum siapa pun sempat bicara lagi, Jovita sudah lebih dulu menarik tangan Devan dan melangkah cepat keluar, meninggalkan keheningan di belakang mereka.

Devan dan Jovita sudah duduk di dalam mobil, suasananya hening dan tegang. Hanya suara mesin dan hembusan napas mereka yang terdengar. Devan beberapa kali melirik ke arah Jovita, tapi wanita itu tetap menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras, matanya dipenuhi amarah dan kelelahan.

Semuanya terasa berantakan. Semua berawal dari candaan Devan tentang hubungan mereka, candaan yang seharusnya ringan, tapi justru membuat Jovita terbawa emosi saat bertemu Adam tadi. Akibatnya, kata-kata itu terlontar begitu saja.

Devan menelan ludah, mencoba memecah keheningan yang menyesakkan. “Jo, tentang tadi…” ucapnya pelan, nada suaranya penuh hati-hati.

Namun sebelum ia sempat melanjutkan, Jovita sudah lebih dulu memotong, suaranya lemah tapi tegas. “Aku lelah sekarang.”

Devan terdiam, pandangannya turun. Ia tahu, ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan apa pun. Hening pun kembali mengisi ruang di antara mereka.

Akhirnya Devan mengantarkan Jovita pulang ke rumahnya. Sepanjang perjalanan, tak ada satu kata pun yang terucap di antara mereka.

Jovita menatap keluar jendela, pikirannya masih berputar pada kejadian di kafe tadi. Ia terlalu impulsif, terlalu terbawa emosi hingga tanpa pikir panjang mengakui Devan sebagai pacarnya di depan Adam. Sekarang, ia bahkan tak tahu harus menebus atau menyesali hal itu.

Begitu mobil berhenti di depan rumah, Jovita segera melepaskan seatbelt-nya. Namun baru saja ia hendak keluar, Devan juga ikut melepas sabuk pengamannya. Jovita menoleh dengan kening berkerut.

“Ngapain?” tanyanya curiga.

“Ah, itu…” Devan tampak gugup, matanya bergerak ke sana kemari. “Boleh aku numpang ke toilet sebentar?”

Mereka pun masuk ke dalam rumah. Devan langsung menuju kamar mandi dengan langkah cepat, sementara Jovita berjalan ke halaman depan. Anak anjing yang ia bawa tempo hari sudah menunggu, melompat-lompat riang begitu melihatnya.

“Brownie…” panggil Jovita lembut sambil menuangkan makanan ke wadah kecil.

Sebenarnya, Noah sudah menyarankan agar ia menyerahkan anak anjing itu pada orang lain. Alerginya makin parah setiap hari, dan memelihara Brownie hanya memperburuk keadaannya. Jovita pun sudah berusaha mencari orang yang mau mengurusnya, tapi sampai sekarang belum ada yang bersedia.

Jadi, untuk sementara, Brownie tetap bersamanya, satu-satunya hal kecil yang masih bisa membuat hatinya sedikit tenang di tengah kekacauan hari itu.

Saat keluar dari kamar mandi dan menutup pintunya, Devan sontak terhenti. Tepat di depannya berdiri seorang anak kecil. Eden menatapnya dengan mata bulat penuh kebingungan.

“Om siapa?” tanya Eden itu polos, suaranya lembut namun penuh rasa ingin tahu.

Devan sempat terdiam beberapa detik. Ia menatap Eden dengan bingung. Ia belum pernah melihatnya sebelumnya. “Aku… temannya Jovita,” jawab Devan akhirnya, suaranya pelan dan canggung. Ia mencoba tersenyum, tapi senyumnya tampak kikuk.

“Tatty?” ucap Eden lagi, kepala miring sedikit.

Devan menggeleng perlahan. “Bukan. Jovita,” katanya dengan nada lembut, berusaha memperjelas.

Namun Eden berkata yakin, “Itu Tatty.”

Devan tertegun. Kenapa dia terus bilang Tatty? pikirnya bingung.

Tiba-tiba suara seseorang terdengar dari arah dapur. “Itu panggilannya ke Mbak Jovita, Mas,” sahut ART rumah itu dengan nada ramah sambil tersenyum kecil.

Devan hanya mengangguk pelan, kini mulai paham. “Oh, begitu,” gumamnya singkat. Ia lalu berjalan menuju pintu, dan tanpa disangka, Eden ikut mengekor di sebelahnya dengan langkah kecil yang berisik di lantai marmer.

Begitu keluar, pandangan Devan langsung tertuju pada sosok Jovita yang tengah berjongkok di halaman depan. Rambutnya diikat asal, dan jemarinya sibuk mengelus kepala Brownie.

“Kamu punya anjing?” tanya Devan, sedikit terkejut. Ia ikut berjongkok di sebelahnya, menatap binatang itu yang tampak jinak dan manja.

Jovita menoleh sekilas padanya, lalu kembali fokus pada si Brownie. “Aku nemu dia di pinggir jalan,” ujarnya santai, suaranya tenang namun matanya menyimpan sesuatu, mungkin iba, atau sekadar kasih tanpa banyak kata.

Keduanya terdiam cukup lama, hanya suara Brownie yang sesekali menggonggong pelan memecah suasana. Angin sore berhembus lembut, menggoyangkan helai rambut Jovita yang lepas dari ikatannya.

“Kamu suka anjing?” tanya Jovita tiba-tiba, menoleh padanya.

Devan sempat menunjuk dirinya sendiri, seolah memastikan pertanyaannya benar ditujukan padanya. Ia mengangkat bahu kecil. Bukan penggemar hewan, tapi juga bukan pembenci.

Namun sebelum ia sempat menjawab lebih jauh, suara Jovita terdengar lagi, pelan tapi tegas. “Aku udah mikirin ini.”

Devan spontan menoleh. Tatapan Jovita kini menembus, serius tapi tanpa tekanan.

“Oke,” katanya akhirnya, “kita berpacaran mulai sekarang.”

Napas Devan langsung tercekat. Matanya membulat, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Ia tahu hubungan itu hanya sandiwara, tapi tetap saja, mendengarnya dari mulut Jovita terasa… berbeda.

Namun sebelum pikirannya sempat menata, Jovita menambahkan kalimat berikutnya. Suaranya menurun setengah nada, tapi tajam menusuk.

“Tapi dengan satu syarat.”

Devan menatapnya, kening berkerut. “Syarat?” tanyanya perlahan.

Jovita menatap balik, diam beberapa detik sebelum bibirnya melengkung samar.

To be continued

1
Nindi
Hmm jadi penasaran, itu foto siapa Devan
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Blueberry Solenne
🔥🔥🔥
Blueberry Solenne
next Thor!
Blueberry Solenne
Tulisannya rapi Thor, lanjut Thor! o iya aku juga baru join di NT udah up sampe 15 Bab mampir yuk kak, aku juga udah follow kamu ya😊
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!