Halwa adalah siswi beasiswa yang gigih belajar, namun sering dibully oleh Dinda. Ia diam-diam mengagumi Afrain, kakak kelas populer, pintar, dan sopan yang selalu melindunginya dari ejekan Dinda. Kedekatan mereka memuncak ketika Afrain secara terbuka membela Halwa dan mengajaknya pulang bersama setelah Halwa memenangkan lomba esai nasional.
Namun, di tengah benih-benih hubungan dengan Afrain, hidup Halwa berubah drastis. Saat menghadiri pesta Dinda, Halwa diculik dan dipaksa menikah mendadak dengan seorang pria asing bernama Athar di rumah sakit.
Athar, yang merupakan pria kaya, melakukan pernikahan ini hanya untuk memenuhi permintaan terakhir ibunya yang sakit keras. Setelah akad, Athar langsung meninggalkannya untuk urusan bisnis, berjanji membiayai kehidupan Halwa dan memberitahunya bahwa ia kini resmi menjadi Nyonya Athar, membuat Halwa terombang-ambing antara perasaan dengan Afrain dan status pernikahannya yang tak terduga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Setelah puas berbelanja di boutique, Athar mengajak istrinya pulang.
Mereka membeli beberapa stel baju tidur yang Athar pilih sendiri dan semuanya berbahan sutra tipis dan mewah.
"Sayang, setelah ini aku harus kembali ke kantor lagi. Ada rapat penting yang harus kuselesaikan. Kamu di rumah saja, jangan ke mana-mana," ucap Athar
Halwa menganggukkan kepalanya saat mendengar perkataan dari suaminya.
"Iya, Athar. Aku tidak akan kemana-mana."
Sesampainya di rumah, Athar mencium kening istrinya, lalu menariknya ke pelukan singkat.
"Ingat, jangan ke mana-mana."
"Iya, Athar," janji Halwa.
Athar pun kembali ke mobilnya, sementara Halwa masuk ke rumah.
Saat ia baru saja duduk di tepi ranjang, ponselnya berdering.
Halwa melihat Afrain yang sedang menghubunginya.
Halwa ragu sejenak, namun akhirnya ia mengangkat panggilan itu.
"Iya, Kak, ada apa?"
"Hal, tolong temui aku di tempat ini sekarang," suara Afrain terdengar berat dan mendesak.
"Tapi, Kak—"
"Aku mohon, Hal. Ini penting. Aku harus bicara," potong Afrain.
Halwa menghela napas panjang dan ia pun menyetujui.
Ia segera mengambil kunci mobilnya dan keluar dari rumah tanpa sepengetahuan Yunus.
Sesampainya di lokasi yang disebutkan oleh Afrain.
Halwa memarkirkan mobilnya di sebuah area parkir sepi di dekat hotel.
Halwa turun dari mobil dan belum sempat ia melangkahkan kakinya, tiba-tiba Afrain langsung menarik tangannya dengan kasar dan membawanya masuk ke dalam hotel.
"Kak, lepaskan tanganku! Ada apa ini?" Halwa mencoba memberontak, terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Afrain.
Afrain menyeret Halwa ke sebuah kamar hotel yang sudah dipesannya.
Begitu pintu tertutup, Afrain melempar Halwa dengan segepok uang tunai yang tebal.
Uang itu langsung jatuh berserakan di lantai kamar hotel.
"Berapa tarifmu semalam? Katakan padaku!" bentak Afrain, matanya merah karena amarah.
Halwa menatap uang di lantai dan wajah Afrain dengan bingung dan hancur.
"Apa maksud kamu, Kak? Aku tidak mengerti."
"Jangan berbohong lagi, Hal! Aku sudah tahu! Aku melihatmu di Mall tadi, bersama 'om-om' itu! Si Paman itu! Dia mencium pipimu, kalian membeli baju tidur! Jangan pura-pura polos! Berapa Athar membayarmu untuk menjadi simpananya?" ucap Afrain dengan nada menghina, suaranya dipenuhi rasa pengkhianatan.
"Kak, kamu salah paham! Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang,"
Halwa mencoba meraih tangan Afrain, tetapi Afrain menepisnya.
Afrain mendekat ke arah Halwa. Sebelum Halwa sempat berkata apa-apa, Afrain mencengkeram rahangnya dan mencium bibir Halwa dengan paksa.
Ciuman itu kasar dan menuntut, dipenuhi amarah dan rasa posesif yang salah.
PLAKK!
Suara tamparan yang dilayangkan oleh Halwa.
"Kamu jahat, Kak! Aku membencimu!" Halwa berteriak.
Afrain memegangi pipinya yang ditampar. Ia menatap Halwa, rasa bersalah dan amarah bercampur aduk.
"Siapa dia, Hal? Siapa pria itu?!" tuntut Afrain.
Halwa tidak menjawab dan berlari ke pintu kamar hotel.
Afrain menariknya lagi sampai pakaian Halwa bagian belakang robek
Halwa mendorong tubuh Afrain dan segera membuka kunci kamar.
Ia segera melarikan diri keluar dari hotel. Ia tidak peduli dengan pandangan orang, ia hanya ingin pergi sejauh mungkin.
Halwa segera masuk ke dalam mobilnya dan melajukannya.
Di dalam mobil, ia menangis sesenggukan sambil memukul-mukul dadanya.
Ia merasa dikhianati dan dihina, baik oleh Athar semalam, maupun oleh Afrain barusan.
Ia menyesali keputusannya datang menemui Afrain.
Hujan deras tiba-tiba mengguyur kota, membuat jarak pandang Halwa terganggu, tetapi ia melajukan mobilnya tanpa peduli.
Air matanya bercampur dengan air hujan di kaca mobil. Ia merasa sangat rapuh, dan yang ia butuhkan hanyalah pelukan Athar, meskipun pria itu sering menyakitinya.
Mobil Halwa berhenti tepat di depan gedung pencakar langit perusahaan suaminya, Emirhan Group.
Jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Lobi kantor sudah sepi, namun lampu di lantai atas masih menyala.
Saat Halwa keluar dari mobil, ia melihat Athar keluar dari pintu utama, ditemani beberapa stafnya. Athar tampak lelah, tetapi dominan seperti biasa.
"Athar..." panggil Halwa, suaranya parau.
Athar menoleh dan terkejut melihat istrinya berdiri di tengah guyuran hujan lebat.
Seragamnya yang basah kuyup, rambutnya lepek, dan wajahnya pucat.
"Halwa? Kamu kenapa?" Athar langsung berlari ke arah Halwa.
Begitu Athar sampai di dekatnya, Halwa langsung memeluk tubuh suaminya erat-erat, menumpahkan semua tangisannya yang tertahan.
Ia menangis sesenggukan di dada Athar, mencengkeram jas mahalnya.
"Athar... Athar..." Hanya itu yang bisa ia ucapkan.
Tiba-tiba, tubuh Halwa terasa lemas, cengkeramannya mengendur, dan ia ambruk tak sadarkan diri dalam pelukan suaminya.
Athar langsung panik dan membopong tubuh istrinya yang tidak sadarkan diri.
"Halwa! Halwa, bangun!"
Athar baru menyadari jika pakaian istrinya bagian belakang sobek.
Ia memerintahkan stafnya untuk memanggil Yunus dan menyiapkan mobil tercepat.
Athar sendiri langsung membawa Halwa masuk ke mobil dan melajukannya menuju rumah sakit terdekat.
"Tuan! Biar saya saja yang menyetir!" seru Yunus.
Saat Athar berhenti sejenak untuk membiarkan Yunus mengambil alih kemudi, Yunus menundukkan kepalanya dalam-dalam.
"Tuan, saya minta maaf. Ini semua kelalaian saya. Saya tidak tahu Nyonya pergi," ujar Yunus penuh penyesalan.
"Diam! Dan cepat ke rumah sakit sekarang!" bentak Athar, suaranya mengandung kekhawatiran yang mendalam.
Ia memeluk erat tubuh Halwa yang basah di kursi belakang.
Di tengah hujan dan kegelapan, Athar hanya bisa berdoa agar Halwa baik-baik saja.
Sesampainya di rumah sakit, dengan panik Athar membopong Halwa dan membawanya masuk.
Petugas medis segera mengambil alih dan membawa Halwa ke ruang UGD.
Athar berdiri di depan ruang UGD, mondar-mandir tanpa henti.
Jasnya basah kuyup, tetapi ia sama sekali tidak peduli.
Wajahnya tegang, penyesalan dan kekhawatiran terlihat jelas di matanya.
Yunus berdiri diam di sampingnya, menjaga jarak, merasakan aura mengerikan dari tuannya.
"Ini semua salahku. Aku membiarkan dia sendirian," gumam Athar, mencengkeram rambutnya frustrasi.
Tak berselang lama, dokter keluar dari ruang UGD.
"Bagaimana istri saya, Dokter?" tanya Athar, langsung menghampiri dokter.
"Nyonya Halwa mengalami kelelahan ekstrem, syok, dan sedikit demam karena terpapar hujan terlalu lama. Kondisinya stabil, Tuan. Namun, untuk memastikan pemulihan optimal dan menstabilkan suaminya, saya sarankan agar Nyonya dirawat inap semalam," jelas dokter itu dengan tenang.
Athar menganggukkan kepalanya. "Lakukan yang terbaik, Dokter. Siapkan kamar VVIP terbaik."
Dokter segera memerintahkan perawat untuk memindahkan Halwa ke ruang perawatan VVIP.
Setelah dipindahkan dan Halwa sudah terbaring nyaman di ranjang, infus sudah terpasang di tangannya.
Perlahan, Halwa membuka matanya. Pandangannya kosong, dan ia mulai meracau.
"Athar... Athar..." Halwa terus memanggil suaminya, suaranya lemah dan parau.
Athar segera duduk di samping ranjang, meraih tangan Halwa dan menggenggamnya erat.
"Aku di sini, Sayang. Aku di sini. Kamu baik-baik saja."
Air mata kembali mengalir di pelupuk mata Halwa, namun ia terlihat sedikit lebih tenang setelah menemukan suaminya.
"Jangan tinggalkan aku lagi," bisik Halwa, suaranya nyaris tak terdengar.
"Tidak akan, Hal. Aku janji. Tidak akan pernah," janji Athar, mencium tangan istrinya.
Ia menatap Yunus yang berdiri di ambang pintu dan memberi isyarat agar Yunus menghubungi orang-orangnya untuk menjaga keamanan di sekitar ruangan.