Evelyn, melihat kekasihnya, Jack, tengah bercumbu dengan wanita lain, saat ia ingin menunjukkan gaun pengantin yang ia pakai. Namun, Evelyn mengabaikannya, karena ia begitu mencintai kekasihnya. Tapi, bukan berarti tidak muncul keraguan di hatinya.
Sampai, hari itu tiba, saat mereka berdiri di altar pernikahan dan siap mengucapkan janji suci, tiba-tiba tempat mereka di serang oleh orang yang dulu pernah menjadi target mereka. Dia adalah Jacob.
Dia datang untuk balas dendam atas apa yang sudah Jack lakukan padanya. Namun, Jacob justru mencari sosok berinisial L.V, sosok yang sudah mengalahkan nya beberapa tahun yang lalu.
Dan, di sinilah Evelyn menyadari, jika Jack tidak pernah mencintainya dan muncul dendam di hatinya.
Bijaklah dalam berkomentar.
Happy Reading 💜
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutzaquarius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Jacob masih terpaku di tempat, menatap sosok wanita di balik meja kasir yang selama ini memenuhi pikirannya, sosok yang ingin ia lupakan, tapi tidak pernah benar-benar bisa.
"Evelyn!"
Mereka saling menatap. Tidak ada kata yang terucap, tapi tatapan mereka menyampaikan terlalu banyak hal, antara rindu, marah, luka, dan sesuatu yang tidak sempat mereka selesaikan.
Erick yang berdiri di belakang mereka nyaris tidak bisa menahan senyumnya.
"Akhirnya… kalian bertemu juga," batinnya girang.
Melihat Jacob perlahan melangkah mendekat, Erick menahan napas, menatap penuh harap.
"Ayo, Jake, peluk dia. Sudah cukup kalian saling menyiksa diri sendiri. Cepat peluk dia!"
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Begitu jarak mereka tinggal beberapa langkah, tiba-tiba ...
KLIK!
Keduanya serempak menodongkan pistol.
"Eh?" Erick refleks mundur selangkah. Para pelanggan di Cafe menjerit ketakutan dan berhamburan keluar, sementara pemilik kafe berlari ke belakang, bersembunyi ke tempat yang aman. Dalam sekejap, suasana di dalam cafe, berubah menegangkan.
Jacob dan Evelyn berdiri saling berhadapan, mata mereka saling mengunci satu sama lain.
"Aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu di sini, Evelyn." Jacob tersenyum tipis, tapi suaranya dingin. "Ah, maaf, maksudku ... Lythra Veyne."
Evelyn mengangkat alis, sudut bibirnya naik membentuk seringai tipis. "Untuk apa kau kemari?" tanyanya tajam.
Jacob berjalan satu langkah, mendekat. "Tentu saja untuk menyelesaikan urusan kita yang belum selesai."
Ucapannya membuat udara di ruangan makin berat. Beberapa teman Evelyn yang sejak tadi diam langsung berdiri, menodongkan senjata ke arah Jacob.
Jacob hanya melirik sekilas ke arah mereka dengan senyum miring di bibirnya. Lalu, tidak lama kemudian, dari luar Cafe terdengar langkah kaki cepat. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka, dan anak buah Jacob masuk, lengkap dengan senjata laras panjang yang terarah pada pihak Evelyn.
"Ck ... " Erick menepuk dahinya, dengan wajah menegang. "Kenapa jadi begini?" gumamnya frustrasi.
Semua pengamanan itu rupanya sudah disiapkan Dean diam-diam untuk mengantisipasi jika Evelyn bereaksi di luar dugaan. Karena, bagaimanapun juga, wanita itu bukan orang biasa.
Evelyn menatap sekeliling, melihat jumlah anak buah Jacob yang jauh lebih banyak dari timnya. Tapi, ekspresinya tetap tenang.
"Kau ingin membunuhku?" tanyanya dingin.
Jacob menatapnya lurus. "Kalau aku ingin membunuhmu, aku sudah melakukannya sejak pertemuan terakhir kita."
Suasana nyaris meledak, sampai Erick melangkah cepat di antara mereka. "Hey! Hey! Apa yang kalian lakukan, hah? Kalian sudah lama tidak bertemu, dan sekarang justru saling menodongkan senjata? Bukankah, seharusnya kita duduk dan bicara sambil minum kopi? Bukannya saling membunuh seperti ini."
Erick mendekat pelan, menurunkan pistol Evelyn dengan ujung jarinya, lalu melakukan hal yang sama pada senjata Jacob.
Evelyn menarik napas panjang. Tatapannya masih menusuk, tapi akhirnya ia menyimpan kembali pistolnya. Ia memberi isyarat pada teman-temannya dengan anggukan kecil agar menurunkan senjata.
Jacob menatap Evelyn lama sebelum akhirnya mengikuti langkah yang sama.
Erick menghembuskan napas lega. "Nah, begitu lebih baik."
"Kita bicara di sana," ucap Evelyn dingin, melangkah menuju meja di sudut ruangan tanpa menoleh.
Jacob menatap punggungnya sesaat, lalu berjalan menyusul. Tatapannya masih tajam, tapi ada sesuatu di matanya yang sulit dijelaskan. Campuran antara marah, rindu, dan rasa kehilangan yang belum sembuh.
Erick hanya bisa menatap keduanya, sambil menggeleng pelan.
"Semoga kalian tidak saling membunuh sebelum kopi kalian datang," gumamnya lirih, lalu ikut duduk tidak jauh dari mereka.
Tidak berapa lama, rekan kerja Evelyn datang menyajikan tiga cangkir Kopi.
Jacob dan Evelyn saling menatap, mata keduanya tajam seperti dua bilah pisau yang siap menebas. Udara di antara mereka terasa berat, dan menegangkan.
Erick hanya bisa duduk kaku di kursinya, melirik keduanya bergantian. Ia sudah menyiapkan ratusan kalimat pembuka, tapi semuanya lenyap di ujung lidahnya.
"Sepertinya, rencanaku gagal total," batinnya pasrah, menunduk lemas.
Evelyn meraih kopi dan menyesapnya perlahan, sebelum akhirnya membuka suara. "Jadi, untuk apa kau datang ke sini?" tanyanya dengan suara tenang, tapi tajam.
Jacob menegakkan tubuhnya. "Tentu saja karena pekerjaan. Aku datang untuk proyek."
"Proyek?" Evelyn tertawa keras, menatapnya lekat. "Apa kau pikir aku bodoh, hah? Orang sepertimu mempunyai proyek di sini? Menggelikan."
Jacob menarik napas dalam, melirik Erick yang hanya bisa tersenyum canggung sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Bahkan Evelyn saja tahu kalau membangun usaha di sini tidak menguntungkan," gerutunya dalam hati.
"Aku benar-benar ada proyek di sini," ujar Jacob, menatap Erick seolah minta dukungan.
Erick mengerjap cepat. "Apa?"
"Dokumennya," jawab Jacob.
"Eh, Itu ... ada di mobil," ujar Erick cepat.
"Kalau begitu cepat ambil! Tunjukkan pada wanita ini kalau kita datang karena urusan pekerjaan!" Nada Jacob meninggi, membuat beberapa bodyguard di sekitar menegakkan tubuh waspada.
"O–oh, baik!" Erick melambaikan tangan, memberi isyarat pada salah satu pengawal untuk mengambil dokumen di mobil. Ia tidak mungkin meninggalkan tempat itu, dengan dua orang yang tengah bersitegang karena risikonya terlalu besar.
Suasana kembali sunyi beberapa saat, hingga Jacob membuka suara. "Oh, ya ... ngomong-ngomong, aku sudah membunuh temanmu."
Evelyn yang hendak menyesap kopinya, langsung berhenti, dengan tubuh yang menegang. Namun, hanya beberapa detik saja, sebelum akhirnya ia kembali mengangkat cangkirnya dan menyesap pelan.
"Dia bukan temanku," ucapnya datar.
Jacob menaikkan satu alis. "Oh, baguslah. Jadi kau tidak akan balas dendam."
"Kenapa? Kau takut?"
Jacob tertawa keras. "Aku? Takut? Tidak pernah ada kata ‘takut’ di kamusku. Lagipula, kalau aku takut, aku sudah kabur begitu melihatmu. Tapi, aku tidak melakukannya, karena urusan kita belum selesai." Ia merogoh saku jasnya, mengeluarkan sebuah kartu ATM, dan meletakkannya di depan Evelyn.
Evelyn menatap benda itu sekilas, lalu menegakkan tubuhnya. "Kenapa kau mengembalikannya? Bukankah aku sudah menepati janjiku untuk mengembalikan milikmu?"
Jacob tersenyum getir. "Kau pikir, benda peninggalan keluargaku bisa diganti dengan uang? Tidak, Evelyn."
Evelyn memicingkan mata. "Lalu, apa yang kau inginkan?"
"Kau harus membayarnya."Jacob mencondongkan tubuhnya ke depan dan kembali berkata, "Ikut denganku."
"Heh ... Aku tidak mau," balasnya dengan suara tegas. "Aku tahu, aku sudah berbuat salah. Tapi, kita sudah impas." Evelyn memalingkan wajahnya. "Kau sudah mengambil milikku yang paling berharga."
"Kalau begitu, aku akan bertanggung jawab," jawab Jacob cepat.
Evelyn menatapnya, terkejut, namun segera mengalihkan pandangannya. "Tidak perlu."
Erick yang sedari tadi hanya menjadi penonton, akhirnya tersenyum samar.
"Dasar, ternyata kau memang punya maksud tertentu juga," batinnya.
Jacob masih menatap Evelyn tanpa berkedip. "Walaupun kau menolak, kau tetap harus ikut denganku," ujarnya.
"Atas dasar apa aku harus ikut denganmu, hah? Dasar menyebalkan!"
Jacob membuka mulut hendak menjawab, tapi tiba-tiba wajahnya berubah pucat. Ia menunduk, memegangi perutnya yang tiba-tiba bergejolak hebat.
Evelyn menatapnya heran. "Kau kenapa?"
Jacob berusaha menahan diri, tapi tubuhnya mulai gemetar. "Kalau begitu, kau hanya bisa memilih. Ikut denganku atau menikah dengan ku."
Kedua mata Evelyn membelalak sempurna. "Kau gila, ya? Aku tidak mau menikah dengan pria brengsek seperti mu."
Mendengar itu, Jacob berlari cepat ke arah wastafel, menutup mulutnya, dan memuntahkan isi perutnya.
"Jake!" Erick berdiri panik, langsung menyusul dan menepuk punggungnya kuat-kuat. "Astaga, Jake! Kenapa kau muntah lagi, hah?"
Jacob hanya terengah-engah, menahan nyeri di perutnya. Tangannya bergetar, wajahnya pucat pasi. Sementara, Evelyn terdiam kaku melihat kondisi pria itu.
"Apa dia sedang sakit?" batin Evelyn.
Eh kok pede ya mereka bakal anaknya kembar 😄