Apa yang kita lihat, belum tentu itulah yang sebenarnya terjadi. Semua keceriaan Aurora hanya untuk menutupi lukanya. Dia dipaksa tumbuh menjadi gadis kuat. Bahkan ketika ayahnya menjual dirinya pada seorang pria untuk melunasi hutang-hutang keluarga pun, Aurora hanya bisa tersenyum.
Dia tersenyum untuk menutupi luka yang semakin menganga. Memangnya, apa yang bisa Aurora lakukan selain menerima semuanya?
"Jika kamu terluka, maka akulah yang akan menjadi obat untuk lukamu." —Skala Bramasta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Setelah kejadian yang cukup chaos tadi, Skala sudah kembali tenang. Namun, ini sudah terhitung 3 hari lamanya pria itu belum sadar. Aurora berusaha tidak sedih meskipun hatinya sakit saat melihat suaminya terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Selama 3 hari pula, Aurora menginap di ruang rawat Skala. Namun, di luar ada tiga orang penjaga utusan Benjamin. Bukan dari rumah Skala, melainkan benar-benar anak buah Benjamin.
Hanya Aurora yang menginap di sana, sedangkan yang lain hanya sesekali menjenguk untuk melihat perkembangan Skala.
Aurora menempelkan telinganya di dada Skala, matanya menatap sendu sang suami. "Kamu tidak kasihan melihatku seperti ini?" Dia cemberut. Tangannya menggambar pola abstrak di dada bidang pria itu.
"Tubuh kamu kurus, pasti roti sobek nya sudah hilang."
"Nanti kalau kamu sudah bangun, aku akan masak makanan untuk kamu. Ya?"
"Skala..." Aurora merengek. "Ayo bangun..."
Dia terus mengajak Skala bicara meskipun tidak mendapat sahutan sama sekali.
"Aku janji, setelah ini aku akan jadi istri yang baik untuk kamu. Syaratnya, kamu harus bangun dan sehat lagi. Bagaimana?"
Tidak ada jawaban. Aurora berdecak kesal, dia menegakkan tubuhnya lalu menyambar susu kotak rasa stroberi yang ada di nakas. "Katamu aku harus minum susu supaya cepat besar, kan? Lihat, aku meminumnya sekarang. Satu minggu ini, aku sudah habis empat dus."
Aurora meminum susu tersebut sambil terus menatap Skala. "Kalau kamu tidak bangun hari ini, aku tidak mau lagi minum susu!" Dia pura-pura merajuk.
Gadis itu diam menatap Skala dengan penuh harap, bibirnya sibuk menyedot susu stroberi tersebut. Hingga tepat susunya habis, Skala menunjukkan pergerakan. Sontak saja Aurora memencet tombol untuk memanggil dokter.
Dia mendekatkan wajahnya saat melihat Skala hendak membuka mata.
"Skala?" bisiknya hingga membuat Skala tersenyum tipis. Perlahan pria itu membuka matanya. Mata bulat Aurora langsung menjadi salah satu objek yang dia lihat.
Aurora tersenyum lebar dengan mata berkaca-kaca. Dia mencium kedua pipi, kening, hidung, dan terakhir bibir suaminya dengan lembut.
"Susu stroberi?" bisik Skala saat mencium aroma dari bibir Aurora.
Aurora mengangguk, lalu dia memeluk tubuh suaminya, tidak erat, karena dia takut Skala kesakitan.
"Terimakasih sudah bangun," bisiknya.
Skala tidak menjawab, tangannya terulur mengelus rambut Aurora dengan lembut. Bertepatan dengan itu, Dokter dan salah satu suster masuk ke ruang rawat Skala. Mereka tersenyum melihat Skala dan Aurora yang sedang melepas rindu.
"Permisi, Nona. Izinkan saya memeriksa Tuan Skala," ucap sang dokter. Sedangkan suster segera memeriksa infus dan lain-lain.
Aurora melepas pelukannya dan sedikit menjauh. Dia berusaha tidak menangis meskipun matanya sudah berkaca-kaca. Ingin rasanya memeluk Skala dan menumpahkan tangisnya, tapi Aurora tetap menahannya.
"Syukurlah, keadaan Tuan Skala sudah membaik. Untuk sementara, Tuan Skala harus tetap dirawat inap dan istirahat yang cukup agar cepat pulih," jelas dokter.
Aurora mengangguk paham. "Terimakasih, Dokter," ucapnya.
Dokter mengangguk pelan. Lalu ia izin pamit bersama suster. Detik itu juga Aurora mendekati suaminya.
"Kamu lapar, kan? Sementara makan makanan dari rumah sakit dulu, ya? Makan siang nanti, aku akan memasak untukmu," ujar Aurora sambil mengelus punggung tangan Skala.
Skala menggeleng. Ketika hendak bicara, telunjuk mungil Aurora sudah menempel di bibirnya.
"Tidak boleh menolak. Aku sudah berjanji padamu," ujarnya. Dia duduk di samping ranjang Skala dan menatap pria itu dengan lugu.
"Sebenarnya apa yang kamu mimpikan sampai tidak bangun selama tiga hari? Apakah ada bidadari secantik diriku?" Bibir Aurora mencebik. "Awas saja sampai memimpikan wanita lain. Tidak boleh!"
Skala terkekeh kecil. Tangannya terulur mengelus puncak kepala Aurora. Tubuhnya terasa lemas sekali, namun, ketika mendengar ocehan istrinya, hatinya berbunga-bunga dan tubuhnya terasa bugar.
"Maaf," ucap Skala.
Aurora menggeleng. "Tidak aku maafkan sebelum kamu sembuh total. Jadi, kamu harus cepat sembuh supaya dapat maaf dariku, hm?"
Skala mengangguk sambil tersenyum.
"Oh iya! Aku belum mengabari yang lainnya." Aurora segera mengambil ponselnya untuk mengabari kedua orangtuanya dan mertuanya.
"Semua orang menunggu kamu bangun. Tapi, yang selalu menjaga kamu di sini adalah aku. Tidak apa-apa. Aku merasa bebas jika berdua denganmu." Aurora mengoceh sambil mencari kontak mommy nya.
"Kalau ada yang sakit, katakan padaku, ya?"
Skala mengangguk lagi. Bibirnya tak berhenti tersenyum. Aurora terlihat sangat menggemaskan di matanya. Namun, dia sedikit sedih karena melihat pipi istrinya sedikit tirus. Apakah Aurora tidak makan dengan teratur selama tiga hari ini?
Bertepatan Aurora selesai mengabari mommy nya, seorang perawat masuk untuk mengantarkan makanan dan obat untuk Skala. Aurora dengan senang hati menerimanya, dia juga meminta bantuan perawat itu agar menaikkan ranjang Skala agar pria itu bisa duduk.
"Terimakasih," ucapnya sebelum perawat tersebut keluar.
"Kelihatannya enak," ujar Aurora. Dia pikir makanan dari rumah sakit itu hanya ayam, bubur, sayur bening, tapi ternyata lumayan mewah.
Jelas saja mewah, ini adalah rumah sakit elit, terlebih Skala berada di ruang VVIP.
Dengan telaten dia menyuapi Skala. Sesekali dia mengajak Skala bicara agar pria itu merasa tenang. Ya meskipun Skala hanya menanggapi dengan singkat.
"Kalau mommy dan mommy mertua sudah datang, aku akan pulang untuk memasak makan siang kamu. Tidak apa-apa, kan? Tidak akan lama, mungkin aku butuh satu jam saja."
Skala menghela nafas. Sebenarnya dia masih ingin berduaan dengan istrinya, tapi, apa daya jika Aurora sudah membantah?
Padahal gadis itu sudah berjanji akan menurut dengan Skala ketika pria itu bangun. Tapi, apa ini?
"Jangan terlalu banyak memasak," ujar Skala.
Aurora mengangguk. "Iya, tidak akan."
Dari sekian banyaknya ocehan Aurora, tidak sedikitpun dia bertanya tentang kecelakan Skala. Dia sengaja melakukannya karena dia tidak ingin Skala memikirkan hal itu. Biarlah daddy nya yang akan membereskan semuanya. Aurora percaya dengan yang lainnya. Mereka pasti bisa menangkap pelaku yang membuat Skala kecelakaan.
Tak lama kemudian, Lythia dan Evanda masuk dengan heboh. Untung saja Aurora sudah selesai menyuapi Skala.
"Sayang, putraku. Ya Tuhan ... akhirnya kamu sadar." Evanda menangis sambil memeluk Skala.
Sedangkan Lythia sibuk dengan Aurora. Dia membawa cookies buatannya dan juga buah tangan serta rantang berisi makanan. Cookies yang dia bawa adalah versi sehat nya, tentunya untuk sang menantu.
"Kamu sudah sarapan? Mommy bawakan makanan kesukaan kamu." Mereka berdua duduk di sofa, membiarkan Evanda bersama putranya.
Karena tidak ingin melihat sang mommy sedih, akhirnya Aurora memakan makanan yang dibawa Lythia.
"Selain Skala, tubuhmu juga sedikit lebih kurus, kamu tidak boleh stress sampai seperti ini lagi. Mengerti?"
Aurora mengangguk dengan mulut mengunyah.
"Ah iya." Lythia menggeledah tasnya dan mengambil sebuah kotak berwarna putih.
"Mommy juga belikan vitamin untuk kamu, Sayang. Ini vitamin mahal dan berkualitas!" Dia mengambil salah satu kemasan dari kotak itu, dan meletakkannya di atas meja.
"Satu hari hanya satu bungkus saja."
Aurora mengangguk lagi saat mendengar penjelasan Lythia.
"Daddy dan kakak di mana?"
"Ah itu ... mereka sedang sibuk," jawab Lythia.
Aurora cemberut. "Sibuk? Tidak ada waktu untuk ke sini? Apa harus aku yang menyuruh mereka datang?" tanya Aurora.
Lythia terkekeh. "Mereka memang selalu sibuk, Sayang. Sudah, cepat habiskan makananmu."
Aurora mendengus pelan. Dia bingung apa yang dikerjakan oleh daddy dan kakak-kakaknya itu. Mungkin jika ada lomba manusia tersibuk di dunia, mereka pasti akan mendapat peringkat pertama.
"Apa mereka ada di rumah?"
Lythia mengangguk sambil membereskan rantang makanan, karena Aurora sudah selesai makan.
Aurora meminum airnya sebelum berucap. "Aku ingin pulang dan memasak makanan untuk Skala. Mommy bisa di sini sebentar?"
Lythia mengerutkan keningnya. "Sayang, Skala baru saja bangun, apa kamu tidak mau menemaninya di sini? Biar Mommy yang masak untuk suamimu."
"Tidak, Mom. Aku sudah berjanji jika Skala bangun, aku akan memasak makanan untuknya. Tidak lama, hanya sebentar." Aurora tersenyum meyakinkan.
Lythia menghela nafas. "Baiklah kalau begitu. Minta bantuan pada bibi jika kamu kesulitan. Mengerti?"
Aurora mengangguk paham. Dia beranjak dari duduknya dan menghampiri Skala untuk berpamitan.
bersambung...
lanjuuuut