Sila, seorang gadis karier dari dunia modern yang tajam lidah tapi berhati lembut, terbangun suatu pagi bukan di apartemennya, melainkan di sebuah istana mewah penuh hiasan emas dan para pelayan bersujud di depannya—eh, bukan karena hormat, tapi karena mereka kira dia sudah gila!
Ternyata, Sila telah transmigrasi ke tubuh seorang selir rendahan bernama Mei Lian, yang posisinya di istana begitu... tak dianggap, sampai-sampai namanya pun tidak pernah disebut dalam daftar selir resmi. Parahnya lagi, istana tempat ia tinggal terletak di sudut belakang yang lebih mirip gudang istana daripada paviliun selir.
Namun, Sila bukan wanita yang mudah menyerah. Dengan modal logika zaman modern, kepintarannya, serta lidah tajamnya yang bisa menusuk tanpa harus bicara kasar, ia mulai menata ulang hidup Mei Lian dengan gaya “CEO ala selir buangan”.
Dari membuat masker lumpur untuk para selir berjerawat, membuka jasa konsultasi percintaan rahasia untuk para kasim.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Angin musim semi meniup lembut gorden-gorden sutra di Balairung Timur saat suara gong besar menggetarkan udara pagi.
“Duaarrr!”
Suara itu menandai kedatangan tamu kehormatan dari luar negeri. Para kasim segera berlarian, menyambut dengan upacara resmi.
Langit istana cerah, namun suasana terasa lebih hangat dari biasanya. Bukan karena matahari, melainkan karena sesuatu yang tak biasa: kerajaan-kerajaan tetangga datang bersama utusan penting.
Tak lama kemudian, rombongan dari Kerajaan Wuyin memasuki gerbang utama, dipimpin oleh Utusan Zhao Heng, seorang pria tinggi dengan sorban berhias batu giok dan jubah dari kain tenun halus.
“Utusan Zhao Heng dari Kerajaan Wuyin menyampaikan salam untuk Kaisar Liang Xu!” serunya sambil bersujud di hadapan sang Kaisar.
Kaisar Liang Xu yang duduk megah di atas singgasana mengangguk tenang. “Selamat datang di negeri kami. Semoga perjalanan kalian membawa kedamaian.”
Zhao Heng tersenyum dan berdiri, lalu menyerahkan kotak kayu berukir dengan ukiran burung Feng huang.
“Ini hadiah dari Raja kami. Dan… permohonan khusus.” ucap Zhao Heng
Para pejabat mulai berbisik-bisik, penasaran.
Kaisar mengangkat alis. “Permohonan seperti apa?”
Zhao Heng membuka kotaknya, memperlihatkan sebotol kecil saus berwarna keemasan dan gulungan sutra bertuliskan aksara asing.
“Saus ini berasal dari resep leluhur kami. Namun belakangan, terdengar kabar bahwa di istana ini ada seorang selir yang mampu menciptakan hidangan luar biasa. Kami ingin bertukar ilmu… dengan satu resep darinya.”
Kaisar sedikit menyipitkan mata.
“Siapa yang menyebarkan kabar itu?”
Zhao Heng tertawa, “Orang pasar. Bahkan pedagang teh di pelabuhan kami membicarakan sup hangat yang menyembuhkan Ibu Suri dan bubur pagi yang membuat para pejabat pulang lebih cepat dari rapat.”
Para menteri langsung melirik satu sama lain.
Sementara itu, di belakang tirai merah…
Mei Lin—yang datang karena dijanjikan ada kudapan manis—sudah meringis setengah mati.
“Aduh… itu kan cuma bubur labu biasa…”
Istana Geger karena Satu Resep
Kabar permintaan utusan asing menyebar dalam hitungan jam. Istana seperti terbakar oleh bisik-bisik dan rasa penasaran.
“Selir Mei Lin jadi rebutan negara luar?”
“Apa dia benar-benar hebat, atau hanya kebetulan?”
“Aku yakin dia pakai jampi!”
“Aku pernah lihat dia mengaduk bubur sambil menyanyi lagu anak ayam…”
Mei Lin mencoba menghindar, tapi di setiap lorong, ada saja selir yang menyapanya dengan manis… atau menyindir dengan senyum sinis.
“Selamat ya, Mei Lin… Kau pasti akan naik pangkat jadi Selir Kepala Dapur Dunia,” cibir Selir Hua sambil menggigit manisan seperti ingin membunuh rasa manisnya.
Mei Lin hanya tersenyum kecil. “Ah, saya belum bisa mengimbangi keahlian Anda dalam… membakar bubur.”
“APA?”
Di dalam ruang pribadi Kaisar, para penasihat berdiskusi tentang permintaan Zhao Heng.
“Jika kita beri satu resep, mungkin itu menjadi kekuatan dagang mereka,” kata salah satu menteri.
“Namun jika menolak, bisa dianggap sombong,” timpal yang lain.
Kaisar tak banyak bicara. Ia malah memandang jendela, ke arah taman belakang tempat biasanya… Mei Lin memberi makan ikan.
Setelah lama terdiam, ia berkata, “Akan kuadakan kompetisi di ulang tahun kekaisaran. Biarkan mereka menilai sendiri kehebatan dapur kita. Jika ingin belajar, harus tahu dulu rasa yang sesungguhnya.”
Para penasihat mengangguk.
Mei Lin di Pojok Istana
Sore hari, Mei Lin duduk sendiri di paviliun kecil dekat kolam lotus, mencubit pipinya sendiri.
“Kenapa aku? Dari semua hal yang bisa jadi kelebihan, kenapa harus masak? Kenapa bukan menulis puisi, atau menari seperti angin?” gumamnya.
Dari kejauhan, Pengawal Qin Mo yang kini menjadi pelatih bela dirinya berjalan membawa sepiring kue taro goreng.
“Masih ngelamun, Nona Bubur?”
Mei Lin melotot. “Jangan panggil aku itu!”
Qin Mo tertawa. “Hei, nona harus bangga. Jarang ada selir yang jadi pembicaraan sampai ke luar negeri hanya karena masakan. Itu… luar biasa.”
Mei Lin memandang langit senja.
“Aku hanya ingin hidup damai di istana… tapi malah dikejar negara tetangga karena resep bubur…”
Qin Mo duduk di sampingnya.
“Lalu anda mau apa? Sembunyi di dapur selamanya?”
Mei Lin menarik napas dalam.
“…Mungkin sudah waktunya bubur ini menyelamatkan lebih dari sekadar pagi hari Ibu Suri.”
Hari mulai gelap. Di kejauhan, istana bersiap menyambut ulang tahun kekaisaran yang akan menjadi panggung besar, bukan hanya bagi kerajaan, tapi juga bagi Mei Lin—selir tak dianggap yang kini harus membuktikan bahwa kuah bening dan nasi lembek bisa mengubah sejarah.
...----------------...
Hari itu, Istana Langit Timur bersinar lebih dari biasanya.
Ratusan lentera merah menghiasi setiap sudut. Bunga-bunga mekar seolah mengerti ini adalah hari besar, hari ulang tahun Kaisar Liang Xu penguasa Negeri yang termasyhur. Para pejabat berdandan rapi, rakyat berdatangan ke luar gerbang istana, dan utusan dari lima negeri sahabat tiba membawa persembahan dan senyum penuh strategi.
Namun di balik semua itu, satu hal yang paling ditunggu-tunggu adalah…
Kompetisi Antar Permaisuri dan Selir Terhormat: Panggung Dapur Diplomasi.
Ya, karena masakan Mei Lin telah menjadi topik panas, Kaisar memutuskan menggelar kompetisi antar kerajaan dalam bentuk pertunjukan seni dan kuliner. Tidak hanya selir dari istana Tian, tapi juga permaisuri dari kerajaan tetangga ikut ambil bagian. Bukan hanya sebagai hiburan, tapi juga sebagai ajang silaturahmi... dan tentu saja, unjuk kehebatan.
Kasim kepala mengumumkan:
“Kompetisi akan dibagi tiga babak: Seni, Kecerdasan, dan Kuliner. Pemenang akan mendapat hadiah khusus dari Kaisar, dan... satu permintaan pribadi yang boleh diajukan tanpa ditolak.”
Semua peserta terdiam. Hadiah terakhir itu jelas membuat udara menjadi lebih panas dari arang panggangan.
Di antara para peserta, Mei Lin berdiri dengan baju sederhana, tanpa hiasan emas mencolok, hanya selendang bunga plum yang ia ikat sendiri. Di sebelahnya, tiga wanita anggun berdiri.
Mereka adalah:
Permaisuri Ayin dari Negeri Qingzhou: anggun dan lembut, membawa kipas bermotif bunga magnolia.
Permaisuri Hanako dari Kerajaan Shinzai: mungil, sopan, dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.
Permaisuri Ying dari Kerajaan Barat Daya: tinggi, percaya diri, dan… sedikit cerewet.
Ketiganya memandang Mei Lin dengan senyum bersahabat.
“Jadi kamu si pembuat bubur legendaris?” tanya Ying sambil tertawa kecil.
Mei Lin mengangguk canggung. “Saya… hanya mengaduk.”
Ayin menepuk tangan Mei Lin, “Orang yang tahu cara mengaduk dengan hati… pasti bisa menyentuh banyak perut dan hati.”
Hanako mengangguk, “Aku suka kamu.”
Mei Lin: “Eh??”
Semua permaisuri menunjukkan kebolehan.
Ayin menari diiringi kecapi.
Hanako menyanyi dengan irama lembut.
Han membaca puisi tentang pahlawan wanita.
Saat giliran Mei Lin, ia maju dengan... dua buah sapu jerami dan satu boneka kain.
Semua penonton menahan napas.
Lalu… dimulailah pertunjukan “Legenda Dapur dan Penunggu Nasi Gosong”. Sebuah wayang singkat lucu, tentang peri dapur dan hantu nasi gosong yang saling kejar-kejaran karena salah masak.
Suara tertawa pecah. Bahkan Kaisar sampai menyembunyikan senyum di balik lengan bajunya.
“Siapa yang membuat naskah itu?” bisik Ibu Suri pada kasim.
“Selir Mei Lin, Yang Mulia.”
“Dia aneh… tapi menarik.”
Bersambung