Info novel ada di ig syifa_sifana
Kelanjutan dari novel Terpaksa Menikahi Mantan
Niat kembali ke tanah air untuk melanjutkan kuliah, namun malah menguakkan sebuah rahasia besar.
Pertemuan yang tak disengaja membuat mereka saling memusuhi karena sebuah kejadian yang memalukan. Bersumpah tak ingin mengenal malah terjerat sebuah ikatan.
Inilah lika liku sepasang kekasih yang mejilat air ludahnya sendiri.
Bila cinta sudah berbicara, seberapa hebat dan sombongnya kamu maka akan tunduk pada orang yang kamu cintai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Syifa Sifana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali ke rumah sakit
Ucapan Siska masih membekas dalam pikiran Melisa. Sepanjang perjalan pulang ke rumah, hati dan pikirannya masih tidak tenang. Rasa galau sudah mulai melandanya. Amel hanya melirik sekilas wajah Melisa dan sudah menebak apa yang sedang dipikirkannya, karena saat Melisa dan Siska sedang berbicara, tidak sepatah katapun ia lewatkan untuk mendengar semuanya.
Begitu sampai di rumah, Amel mengajak Kiano dan Mera untuk ngobrol sesuatu hal yang dianggapnya penting. Kiano dan Mera sempat bingung dengan tindakan Amel yang terkesan aneh menurut mereka.
“Kak Kia, kenapa ngajak kita ngobrol?” tanya Mera bingung.
Amel menutup rapat pintu kamarnya, kemudian mulai mengatur nafas dan menceritakan semua hal yang telah ia dengar di restoran tadi. Kiano dan Mera mulai sendu dan seakan mereka juga ikut merasakan apa yang dirasakan kedua orangtuanya.
“Terus gimana menurut kalian? Apa kita bikin mommy sama papa balikan lagi atau sebaiknya cerai?” tanya Amel menatap mereka serius.
“Kalau aku sih, aku ingin mereka balikan. Lagian aku ogah banget Velly sama mamanya menang,” jawab Mera spontan dengan melipatkan tangannya di dada.
Amel menatap Kiano yang terlihat sedang memikirkan hal yang jauh lebih serius. “Kalau menurut Kakak, sebaiknya mereka pisah aja. Karena bagaimanapun itu, hubungan mereka tidak akan semanis dulu. Secara oma sama opa lebih memihak pada mama, dan percuma untuk mommy kembali lagi, ujung-ujungnya bakalan tersakiti juga,” jelas Kiano bijak.
Amel meletakkan tangannya di dagu seraya mencerna semua yang dikatakan Kiano. “Tapi mereka saling mencintai, masa iya kita harus misahin mereka.”
“Iya memang. Tapi daripada sakit hati untuk kedua kalinya, kan sebaiknya mereka pisah saja,” ujar Kiano kembali memberi pengertian.
“Tapi aku gak setuju. Kalau mereka cerai, yang ada Velly sama mamanya menang. Aku gak mau mereka hidup senang sedangkan kita hidup susah,” sahut Mera bersikukuh.
“Sebaiknya kita tanyakan dulu sama mommy. Mommy maunya yang seperti apa. Kita sebagai anaknya hanya bisa menurutinya saja,” timpa Kiano mencari jalan tengah.
“Ya sudah, nanti biar aku aja yang bicara,” sahut Amel. Kiano dan Mera menganggukkan kepala.
...****************...
“Hummy ....” Kekuatan cinta Raka masih sangat dalam, hingga dalam tidur saja masih memanggil-manggil namanya.
Semua orang masih setia menunggu Raka sadar kembali. Wajah Velly dan Marisa mulai suram saat mendengar nama yang dipanggil Raka. Yang seharusnya menjadi nama Marisa, tapi Raka malah memanggil Melisa. Sangat membuat Velly merasa jengkel dan ingin segera mengakhiri semuanya.
Perlahan Raka mulai menggerakkan tangannya, lalu membuka mata. Pandangannya menatap ke segala arah membuat raut wajahnya sedih saat tidak mendapati sosok wajah yang sangat ia rindui.
“Kamu kenapa? Kesakitan ya?” tanya Talita khawatir.
“Tolong tinggalkan aku sendiri!” pinta Raka membuang wajahnya.
“Tapi ...”
“Sudahlah, sebaiknya kita keluar dulu,” ucap Gunawan memegang pundak Talita.
Begitu mereka melangkah keluar, air mata Raka langsung tumpah. Banyangan kesedihan terus menghantui dirinya. Ia selalu mengutuki dirinya. Meskipun ia sudah jatuh sakit seperti ini, tak membuat istri dan anak-anaknya bersimpati padanya. Sungguh sangat disayangkan, arti kehidupan bagi Raka hanyalah sia-sia. Percuma masih hidup tapi tidak dengan orang yang dicintai, karena pada akhirnya semuanya nihil.
Krek ...
“Aku ingin sendiri. Tolong keluar dari sini!” tegas Raka.
“Maaf kalau aku mengganggu.” Raka mendengar suara yang tidak asing di telinganya, seketika ia menoleh. “Hummy,” ucapnya tersenyum haru.
Melisa membalas senyumannya seiring dengan langkah kaki yang berjalan mundur. “Hummy, jangan pergi!” pinta Raka memohon.
“Bagaimana kabarmu?” tanya Melisa menghampirinya.
“Aku sangat merindukanmu.”
Senyuman masih saja mengembang di bibirnya. “Cepatlah sembuh! Semua orang tidak ingin melihatmu terbaring di sini.”
“Iya, aku akan sembuh jika kamu berada di sisiku.”
“Iya,” menganggukkan kepala.
Dari kaca pintu semua orang melihat ke dekatan Melisa dengan Raka. Gunawan merasa sangat senang, semangat anaknya ada pada Melisa, tidak sia-sia ia memohon agar Melisa bisa kembali datang ke rumah sakit demi anaknya. Jauh berbeda dengan Velly dan Marisa, mereka seakan gagal dan tidak dibutuhkan oleh Raka. Tapi apalah daya, mereka hanya bisa gigit jari.
“Gimana rasanya tersingkirkan?” bisik Mera tersenyum bahagia.
Telinga Velly langsung merah seketika. “Lo lihat aja, gua gak bakalan biarin wanita j****g seperti kalian rebut papa gua,” ucap Velly emosi. Ia masih saja sombong dengan segala kemampuannya. Tekadnya tidak akan pernah kendor sedikitpun, apapun yang terjadi ia harus bisa merebut Raka dari tangan mereka.
Mera tersenyum sinis. “Sorry ya, status mommy-ku itu sebagai istri pertama dan kamu tau sendiri siapa yang jadi wanita j****g,” bisik Mera sekilas lalu beranjak pergi.
“Mera,” Velly menggertakkan giginya seraya menggepal tangannya. Aura kemarahan sudah membara dalam tubuhnya, seakan ia ingin menjambak-jambak Mera dan mempermalukannya di depan umum. Tapi tidak, jika itu terjadi yang ada dia sendiri yang akan malu.
Melihat wajah Velly, Amel langsung menarik tangan Mera. “Apa yang kamu katakan sama Velly?” tanya Amel penasaran.
“Membalas apa yang dia katakan sama kita,” jawab Mera santai.
“Tapi kamu gak ngomong kasar, kan? Kakak takut kamu malah kena masalah lagi,” ujar Amel khawatir dengan tindakan Mera yang kebiasaan ceroboh.
“Enggak Kak Kia cantik dan suka suudzon. Semuanya aman kok.”
Talita dan Gunawan datang menghampiri Amel dan Mera. “Cucu Oma, makasih ya kalian sudah mau datang ke sini,” ucap Talita tulus.
“Iya, sama-sama,” jawab Mera sinis.
“Gak boleh seperti itu sama Oma!” tegur Amel mencubit lengan Mera.
“Apaan sih, Kak?”
“Maaf ya, Oma, Opa, Mera masih kecil, jadi kelakukannya masih harus dididik lagi,” ucap Amel merasa gak enak. Meskipun ia menyimpan rasa jengkel dengan mereka, tapi sebisa mungkin ia bersikap sopan dan memperlihatkan didikan ibunya tidak salah.
“Iya, tidak apa-apa kok. Oh ya, boleh Oma memeluk kalian?” pinta Talita sangat merindukan cucu-cucunya.
“Tentu,” jawab Amel tersenyum, lalu membukakan tangannya dan memeluk tubuh Talita.
“Ih, apa-apaan sih Kak Kia, lebay banget,” batin Mera kesal.
Dalam pelukan Amel, tak sengaja Talita menumpahkan air matanya kepiluannya. Air mata penyesalan atas dosa yang telah ia lakukan. Cucu yang seharusnya dapat ia lihat pertumbuhan mereka, malah bertemu ketika mereka sudah dewasa. Sakit, jelas. Tapi itulah skenario takdir yang sudah tersusun rapi.
Kiano mengernyitkan keningnya saat menatap wajah Amel, tapi Amel membalasnya dengan sedikit senyuman sebagai tanda ia baik-baiknya dan membiarkan Talita untuk memeluknya walau hanya sejenak.
“Anak ini, kesambet apa? Kenapa tumben-tumbennya dia mau meluk Oma?” batin Kiano masih bingung dengan sikap aneh yang ditunjukkan Amel yang tidak terlihat seperti biasanya.
Itu bersaudara.
panggilan itu, aku tidak bisa melupakannya sampai sekarang.
jika aku merindukannya aku sangat berdosa, tp apa yg harus aku lakukan? maafkan aku tuhan, i really miss him:')