Istriku menganut childfree sehingga dia tidak mau jika kami punya anak. Namun tubuhnya tidak cocok dengan kb jenis apapun sehingga akulah yang harus berkorban.
Tidak apa, karena begitu mencintainya aku rela menjalani vasektomi. Tapi setelah pengorbananku yang begitu besar, ternyata dia selingkuh sampai hamil. Lalu dia meninggalkanku dalam keterpurukan. Lantas, wanita mana lagi yang harus aku percaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fitTri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Pernikahan
🌸
🌸
Malam mulai turun, dan kesunyian mendominasi. Hal itu sudah biasa, dan dalam kurun waktu lebih dari enam bulan dirinya telah hidup melajang. Hanya kesendirian berteman sepi tanpa celoteh siapapun.
Tapi kali ini berbeda. Bahkan seharian rasanya lain saja. Entah, karena mulai terbiasa dengan kehadiran orang lain atau bagaimana Alendra tidak mengerti.
Malam ini bahkan dia hanya memilih duduk saja di teras, padahal biasanya sudah masuk kamar begitu suara adzan isya berkumandang. Atau setidaknya menghabiskan waktu di ruang kerja untuk memeriksa beberapa hal yang dibawanya dari kantor.
Lagi-lagi ingatannya tertuju kepada Asyla. Entah bagaimana keadaan wanita itu karena sejak dirinya tiba tak satupun berita yang sampai padanya. Bahkan kerabat tak ada yang datang untuk memberi tau.
“Kabarnya Asyla mau menikah, Mas.” Namun sebuah pesan yang diikuti gambar yang berasal dari pak Pardi masuk ke ponselnya. “Ini anak saya yang kirim barusan.”
Mata Alendra terbelalak lebar. Di gambar itu terlihat beberapa orang di depan sebuah rumah yang tidak terlalu besar sedang berkumpul.
“Katanya dengan orang paling kaya di sana.” Pesan dari pak Pardi masuk lagi.
“Tadi sore istri saya dimintai bantu-bantu sama mertuanya, makanya tau.” Kembali muncul beberapa foto di mana keadaan di rumah itu cukup ramai.
“Mas diundang?” tanya pak Pardi saat Alendra menelponnya.
“Bapak ini yang benar kalau bicara! Masa Asyla menikah tidak memberi kabar?” suaranya mulai meninggi.
“Serius?”
“Ya. Kemarin masih bekerja di sini, tapi dia nggak bilang apa-apa. Lalu bagaimana dia bisa menikah!”
“Katanya dadakan, Mas.”
“Kok bisa?”
“Nggak tau, Mas.”
“Kok bisa nggak tau? Coba cari tau! Kalau dia menikah, lalu bagaimana pekerjaannya di sini?”
Pria di seberang sana terdiam.
“Ini nggak boleh terjadi. Maksudnya, bagaimana dia bisa menikah tanpa memberitahu saya lebih dulu? Seharusnya ada basa-basi, kan? Setidaknya izin dulu gitu lho.”
“Ya, mungkin karena memang dadakan, Mas.”
“Tapi bisa ‘kan kalau dia bilang dulu? Masa tau-tau berhenti tanpa bilang apa-apa?”
Pak Pardi terdiam lagi.
“Rumahnya dekat tempat tinggal Bapak?” tanya Alendra lagi setelah hening beberapa detik.
“Ya, di sekitar sana. Hanya terhalang beberapa rumah.”
“Ya sudah kalau begitu.” Pria itu bangkit. “Saya mau lihat ke sana. Kok dia bisa seenaknya begitu? Kemarin-kemarin sampai berlutut sambil mohon-mohon sama saya biar bisa tetep kerja. Tapi kenapa sekarang nikah saja tanpa memberi tau?”
“Mas mau ke rumah Asyla?”
“Ya. Apa maksudnya coba? Dia itu nggak ada sopan-sopannya sama saya.” Lalu panggilan pun diakhiri.
***
Maysaroh masuk ke dalam kamar Asyla untuk memeriksa keadaan. Menantunya itu sudah mengenakan pakaian terbaiknya, berupa kebaya yang dikirim juragan Somad tadi sore begitu diberitahukan jika perempuan itu sudah bersedia.
Segalanya sudah siap bahkan para tetangga yang baru saja diberitahu pun telah datang. Meski mereka terkejut karena acara ini sangatlah tiba-tiba. Kasak-kusuk terjadi diantara mereka, dan banyak juga yang menyayangkan. Tetapi sebagian besar paham karena memang tau permasalahan awalnya.
“Jangan cemberut gitu dong, kamu ‘kan mau menikah.” Maysaroh berujar.
“Percaya sama Ambu, ini jalan yang terbaik buat kamu.”
“Mungkin maksudnya buat Ambu. Kebun akan kembali dan uang pengganti akan diberikan juragan Somad.”
Sang mertua menatapnya sambil menarik napas. “Iya, memang. Bukankah itu bagus?” Dia mendekat kemudian mengusap pundak Asyla. “Tapi kamu juga dapat keuntungan. Setelah ini kamu akan hidup enak dan kita tidak akan lagi mengalami kesulitan. Apalagi Tirta yang hidupnya akan terjamin.”
Setetes buliran bening jatuh di pangkuan.
“Jadi, Ambu merasa bahwa selama ini kami adalah beban?” Asyla mengangkat kepala. “Kami begitu menyulitkan Ambu sehingga mau menyerahkan saya sama juragan Somad? Padahal selama ini saya sudah berusaha untuk melakukan semuanya.” Kedua mertua dan menantu itu saling berpandangan.
“Saya mau kerja apa saja demi menyambung hidup. Saya yang mengurus rumah sepulang dari ladang orang karena tau, menjaga Tirta seharian di rumah itu sangat melelahkan. Saya berusaha berbakti seperti halnya anak kepada orang tuanya dan menganggap Ambu sebagai ibu saya sendiri.”
“Sudahlah … jangan ungkit itu terus.”
“Saya nggak mau mengungkit. Tapi usaha saya yang nggak dihargai membuat saya melakukannya.”
“Lalu mau kamu apa? Kamu sendiri tang setuju untuk menerima lamaran juragan Somad dan lihat sekarang, kalian akan menikah. Lalu salah Ambu di mana?”
“Saya mau karena terpaksa. Kalau Ambu nggak memisahkan saya dengan Tirta nggak mungkin saya mau melakukannya.”
“Alasan. Lama-lama kamu akan menikmatinya juga.” Maysaroh segera pergi, tak ingin lagi berdebat. Dia hanya memikirkan bahwa sebentar lagi harta miliknya akan kembali, ditambah beberapa hal yang akan didapatnya setelah akad selesai. Janji juragan Somad memang sangat menggiurkan sehingga dirinya lupa dengan wasiat putranya untuk menjaga Asyla dan Tirta.
***
Rombongan pengantin pria telah tiba. Mereka tampak kompak dengan mengenakan pakaian seragam dengan warna senada, seolah keluarga itu benar-benar mendukung kepala keluarga mereka untuk menikah lagi.
Ketiga istri yang telah dinikahi sebelumnya bahkan mengapit juragan Somad. Meski ada wajah sendu yang kentara, namun sambutan hangat Maysaroh dan keluarganya bisa menutupi hal tersebut.
Pria itu? Tentu saja dia sumringah. Akhirnya, keinginan untuk mempersunting janda mendiang pegawai yang telah diincarnya sejak setahun belakangan sebentar lagi akan segera terwujud.
Sudah terbayang bagaimana nantinya dia setelah mendapatkan Asyla. Dia merasa hidupnya begitu sempurna. Kekayaan, kedudukan, dan hidup sebagai orang terpandang di kampung dengan segala keistimewaannya membuat siapapun tak berani membantah. Dia bisa mendapatkan segalanya.
Ah, indah sekali, bukan? Semua orang pasti merasa iri, karena mendapatkan Asyla akan menambah kebanggaannya. Selain mampu beristri empat dengan wanita-wanita cantik, dia juga bisa menunjukkan bahwa apapun yang diinginkan dapat terwujud dengan mudah. Apalagi sepeninggal Jaka, banyak laki-laki yang datang untuk melamar sang janda tetapi semuanya ditolak karena alasan belum bisa melupakan suaminya. Tapi dirinya, bisa mamatahkan itu semua.
“Silahkan mempelai untuk maju.” Seorang pria yang diketahui sebagai penghulu mulai berbicara.
Juragan Somad segera duduk di hadapannya dengan pandangan yang mengedar ke seluruh ruangan mencari keberadaan calon istrinya.
“Nak Syla?” Lalu pria di seberang mengisyaratkan kepada seorang kerabat untuk membawa Asyla keluar dari kamarnya.
Wanita itu berjalan pelan digandeng dua orang kerabat Maysaroh yang tampak menguatkan karena mereka mengetahui keadaannya. Tetapi pandangan Somad tetap fokus pada calon istrinya itu yang meski wajahnya sendu, dia tetap begitu cantik.
Kebaya berwarna putih gading melekat di tubuhnya. Lekukan yang jarang terlihat kini tampak dalam balutan pakaian pengantin tersebut sehingga membuatnya terlihat mempesona. Meski dia menggunakan make up sederhana hasil polesan perias dari desa tetangga, tetapi tidak mengurangi keanggunannya.
Asyla cantik, tubuhnya yang masih bagus meski sudah melahirkan seorang anak lelaki itu malah membuat si calon mempelai pria merasa tidak sabar. Maka, ditariknya wanita itu ketika jarak mereka sudah dekat agar segera duduk dan mereka melangsungkan akad pernikahan.
“Sudah siap?” tanya penghulu pada keduanya.
Juragan Somad tentu saja mengangguk sementara Asyla menundukkan kepala. Segala rasa berkecamuk di dada dan dia ingin sekali pergi dari tempat itu.
Di dalam pikirannya dia menyusun rencana bagaimana selanjutnya setelah ini. Apa yang akan dilakukan dan bagaimana dia menghadapi semua orang. Terutama keluarga juragan Somad termasuk ketiga istrinya yang terdahulu.
Dia tau bahwa ini tidak akan mudah. Asyla juga yakin bahwa kesediaan anggota untuk hadir hanyalah sebuah pencitraan. Terutama istri-istrinya. Memangnya ada wanita yang rela dimadu secara terang-terangan? Rasanya tidak mungkin. Apalagi dengan orang yang masih se kampung.
Dia bahkan ingat saat pernikahan ketika pria itu, di saat akad akan berlangsung, istri keduanya mengamuk karena tidak terima. Meski pada akhirnya semua orang diam juga karena tidak bisa berbuat apa-apa. Dan Asyla yakin hidup mereka tidaklah mudah setelah itu.
Mungkin harus sering mengalah untuk menghadapi keegoisan juragan Somad, lalu bertarung untuk mempertahankan posisi di keluarga tersebut.
Dia memejamkan mata. Segala doa dirapalkan untuk memohon belas kasih dari Tuhan agar semuanya tidak benar-benar terjadi.
“Baik kalau semuanya sudah siap. Bisa kita mulai?” ucap penghulu setelah memberikan beberapa tausiah pernikahan. Dan karena Asyla merupakan yatim piatu, maka perwalian dia ambil alih seperti pada pernikahan sebelumnya.
“Saudara Somad Raharja, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan Asyla Ningrum Binti Suparta dengan mas kawin 25 gram perhiasan emas dibayar tunai.”
Tangan yang berjabat itu bergerak, dan juragan Somad hampir saja mengucapkan ijab ketika suara salam terdengar begitu nyaring dalam keheningan.
Ini perempuan main nyelonong masuk tempat tinggal orang aja, bok permisi kek🤦♀️
Listy ini mangkin lama mangkin ngelunjak kayaknya
Ale bukan hanya ga rela kalo Syla disuruh-suruh tapi yang pasti dia ga rela Syla dilirik laki² lain.
Kekecewaan Ale akibat pengkhianatan sedikit demi sedikit mulai terkikis dengan kehadiran, Syla dan Tirta.