Dalam menimba ilmu kanuragan Getot darjo memang sangat lamban. Ini dikarenakan ia mempunyai struktur tulang yang amburadul. hingga tak ada satupun ahli silat yang mau menjadi gurunya.
Belum lagi sifatnya yang suka bikin rusuh. maka hampir semua pesilat aliran putih menjauh dikala ia ingin menimba ilmu kanuragan.
Padahal ia adalah seorang anak pendekar yang harum namanya. tapi sepertinya pepatah yang berlaku baginya adalah buah jatuh sangat jauh dari pohonnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ihsan halomoan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harta Karun
Udhet menghentikan putarannya, merasa sesi latihan kali ini sudah memadai. Getot tampak berhasil menguasai ilmu meringankan tubuh dan menjaga keseimbangan.
Namun, Getot yang masih berada di atas bambu terkejut mendapati dirinya kembali dikelilingi api. Anehnya, ia sama sekali tidak merasakan panas.
"Kenapa harus begini terus?" gumam Getot, "Tapi aku tidak merasakan apa pun. Api ini juga tidak membakar kulit dan rambutku."
Ia melanjutkan dengan nada khawatir, "Tapi jelas-jelas membakar pakaianku! Kalau begini terus, aku bisa telanjang sepanjang hidup. Bagaimana ini?"
Tiba-tiba terdengar suara, "Grokkk grokk."
Getot menoleh ke arah Udhet, "Hah? Kau punya solusi, kawan?"
"Grokk," jawab Udhet singkat.
"Apa katamu? Ki Amuraka punya pakaian dari sisik naga?" tanya Getot memastikan.
Udhet mengangguk, "Grokk."
"Baiklah, di mana? Tunjukkan padaku pakaian itu," pinta Getot.
Sebelum mengikuti Udhet, Getot menyempatkan diri menuju mata air di kolam terdekat untuk memadamkan api di tubuhnya. Ia pun melepaskan pakaiannya yang sudah hangus.
Dalam keadaan telanjang, Getot mengikuti Udhet yang merayap entah ke mana. Setelah melewati beberapa lorong, Udhet berhenti di depan sebuah pintu baja yang besar.
"Waaaw, besar sekali pintu ini! Kenapa aku tidak pernah ke sini ya?" gumam Getot takjub.
Udhet mengeluarkan kunci dari dalam perutnya. Dengan lincah, ia melilitkan kunci itu di lidahnya dan menggunakannya untuk membuka pintu baja tersebut.
Setelah pintu terbuka, Getot terkejut bukan main.
"Waaww... ini harta karun... eh, karun!" serunya tak percaya.
Di dalam ruangan itu, berlimpah ruah perhiasan dan logam emas. Mata Getot terbelalak lebar, belum pernah ia melihat kekayaan sebanyak itu.
Di dinding ruangan, tergantung berbagai macam senjata. Di antaranya, tampak sehelai pakaian berwarna hitam yang berkilauan. Itulah baju zirah sisik naga yang mereka cari.
Namun, Getot sama sekali tidak memperhatikan pakaian itu. Pandangannya terpaku pada tumpukan logam emas dan perhiasan, matanya seolah ingin melompat keluar dari rongganya.
"Grokkk," Udhet bersuara, berusaha menyadarkan Getot. Namun, pemuda itu terlalu terpukau hingga suara Udhet seolah tak terdengar.
Slepeettt...
Tiba-tiba, lidah Udhet menampar tubuh Getot dengan keras, membuatnya terlempar membentur tembok.
"Waaaaa...!!" teriak Getot kesakitan.
Bugg....
"Archh... hei, apa-apaan kau, ulat laknat?!" gerutu Getot marah.
"Grokk grokk," balas Udhet.
"Ah, kau memang tidak suka melihat orang senang," sindir Getot.
"Grokkk," sahut Udhet lagi.
"Baik... baiklah, kita ke sini untuk mengambil zirah naga itu. Oke, oke..." kata Getot akhirnya mengalah.
Ia pun mengambil baju zirah berwarna hitam gemerlap itu dan segera memakainya.
"Waahh, baju ini keren sekali! Aku jadi terlihat seperti pendekar sakti," seru Getot kagum sambil memandangi dirinya sendiri.
"Grokk grokk..." Udhet mengeluarkan suara yang terdengar seperti tawa.
"Hei, kenapa kau tertawa?" tanya Getot penasaran.
"Grokk grokk," jawab Udhet lagi, kali ini terdengar agak memuji.
Getot mendengus, "Hehehe, terima kasih banyak... baiklah. Hari ini aku akan beristirahat. Entah latihan menyiksa apa lagi yang menantiku besok."
Namun, perhatian Getot kembali tertarik pada tumpukan harta karun di dalam ruangan. Ia tertegun sejenak, melupakan niatnya untuk beristirahat.
Slepett...
Gabrugg
"Ughhh... ih! Kau, Udhet... Suatu saat aku akan membuatmu menjadi rempeyek...!!!" geram Getot kesal.
"Grokkk," balas Udhet santai.
"Ya ya... baiklah. Aku tidak boleh tergiur," kata Getot pada dirinya sendiri. "Sudahlah, daripada kunci itu kau telan di perutmu, mending berikan padaku saja."
"Grokkk," jawab Udhet menolak.
"Yah, benar kan? Nanti kalau kau buang air besar bagaimana? Hilang sudah kunci itu ditelan bumi. Nah, kau buang air besar kan, Udhet? Pasti kau buang air besar kan?" cecar Getot.
Slepett
Gabrug
"Arghhh... sakit tahu! Sleketeep... bercandamu menyebalkan...!!" keluh Getot sambil mengusap tubuhnya yang baru saja terkena tamparan lidah Udhet.
Tanpa mempedulikan Getot yang masih terjerembab di samping dinding, Udhet beringsut pergi dan hendak menutup pintu baja itu.
Sontak, Getot langsung bangkit berdiri.
"Hei! Kau mau mengunciku dari luar? Kau sudah gila ya?!" serunya panik.
Secepat kilat, Getot melesat keluar dari ruang harta karun itu sebelum pintu tertutup.
"Grokk grokk," suara Udhet terdengar mengejek.
"Udhet, kau memang laknat! Kau hanya menakutiku saja," omel Getot.
Udhet pun mengunci ruangan itu. Getot hanya bisa menelan ludahnya ketika melihat Udhet kembali menelan kunci itu ke dalam perutnya.
"Hmm... suatu saat aku harus bisa mendapatkan kunci itu," gumam Getot dalam hati dengan tekad membara.
Setelah menjalani latihan keras, Udhet memutuskan untuk memberikan Getot waktu istirahat selama seminggu. Ia mengizinkan Getot keluar dari gua, tentu saja dengan pengawalan dirinya karena masih khawatir Getot akan melarikan diri.
"Grokkk," ujar Udhet.
"Ya, Udhet, aku ingin menemui mereka dan mencoba menghilangkan ketakutanku pada binatang itu," jawab Getot.
"Grokk grokk," balas Udhet.
"Tidak... kali ini aku tidak membutuhkan bantuanmu. Biarlah aku beradaptasi dengan mereka," kata Getot dengan nada mantap.
Meskipun Udhet merasa heran dengan niat Getot, ia tetap membiarkannya pergi menuju lorong kelelawar. Namun, sebelumnya Getot pergi ke kamarnya untuk membungkus beberapa buah-buahan yang cukup banyak. Setelah itu, ia pun beranjak.
Lorong itu tampak sama seperti kemarin. Ratusan kelelawar bergelantungan di langit-langit gua, membuat bulu kuduk Getot meremang saat melihatnya.
"Hiih... menggelikan sekali binatang-binatang ini. Tapi mau bagaimana lagi, hanya mereka yang mungkin bisa membantu rencanaku," gumam Getot dalam hati, berusaha menyemangati diri.
Dengan menguatkan hatinya, ia membuka bungkusan buah itu. Lalu, ia mulai memanggil para kelelawar. Dalam sekejap, ratusan kelelawar itu beterbangan mendekati Getot. Ia merasakan kengerian menyelimutinya.
"Tidak... aku harus kuat. Aku bisa bahasa mereka. Aku akan berteman dengan mereka," tekad Getot dalam hati.
Ratusan kelelawar itu mengerubungi buah-buahan yang dibawa Getot. Meskipun merasa geli dan takut, Getot berusaha untuk tetap tegar dan membuka komunikasi dengan mereka.
"Apa kalian suka?" tanya Getot ramah.
Tiba-tiba, seekor kelelawar berkelebat dan hinggap di tangan Getot. Pemuda itu terkejut, namun ia berusaha sekuat mungkin untuk tetap tenang dan mengangkat tangannya perlahan.
"Hai, kelelawar kecil... apa kau suka buah yang kubawa?" sapa Getot lembut.
"🔊🔊," jawab kelelawar itu dengan suara ultrasonik.
"Yah, aku sengaja membawa buah ini sebagai rasa terima kasihku karena kemarin kalian telah membantuku berlatih..." ujar Getot tulus.
"🔊🔊🔊," balas kelelawar itu lagi.
"Oh, bisa. Aku bisa membawakan lebih banyak buah. Tapi besok ya, sekarang sudah habis," kata Getot sambil tersenyum.
"🔊🔊🔊," sahut kelelawar itu.
"Sama-sama. Aku juga mengucapkan terima kasih pada kalian. Besok aku akan kembali lagi," ucap Getot sebelum beranjak pergi, meninggalkan ratusan kelelawar yang sedang menikmati buah-buahan.
Keesokan harinya, Getot kembali ke lorong itu. Kali ini, ia membawa lebih banyak buah seperti yang ia janjikan. Begitu pula pada hari ketiga dan keempat, Getot setiap hari membawakan banyak buah untuk mereka. Hingga kini, Getot sudah tidak takut lagi pada kelelawar-kelelawar itu. Bahkan, beberapa kelelawar hinggap di tubuh Getot yang sedang duduk bersila sambil mengobrol dengan asyiknya.
Terkadang Getot tersenyum mendengar celotehan kelelawar. Terkadang ia memasang wajah serius mendengarkan cerita mereka. Bahkan, ia bisa terlihat murung ketika ada kelelawar yang meninggal. Ya, Getot sudah sangat akrab dengan para kelelawar itu. Hingga hari keenam, Getot pun mulai mengutarakan niat aslinya.
"Kalian tahu, aku bosan di sini. Aku ingin sekali keluar. Tapi aku tidak punya uang. Jadi, aku akan kelaparan jika keluar dari tempat ini. Tapi kalau di sini terus, aku juga bosan," curhat Getot.
"🔊🔊🔊," respons para kelelawar.
"Tidak... aku tidak punya harta sama sekali. Cuma buah-buahan dan baju yang kupakai ini saja hartaku," jawab Getot jujur.
Tiba-tiba, karena sudah akrab, salah satu kelelawar ikut bersuara. Ia memberitahu Getot bahwa di gua ini ada ruangan berisi harta karun.
"🔊🔊🔊," ujar kelelawar itu.
"Oh, kalau itu sih aku tahu. Tapi bukan aku yang punya. Udhet-lah yang memegang kuncinya. Sebenarnya, aku bukan orang yang rakus. Aku dapat sepuluh keping emas saja sudah membuatku senang," kata Getot.
"🔊🔊🔊," balas kelelawar itu lagi.
"Apa kau mau membantuku? Benarkah??" tanya Getot antusias.
"🔊🔊🔊," jawab kelelawar itu meyakinkan.
"Ya, aku hanya butuh sepuluh keping emas saja. Lalu aku akan keluar dari sini. Tapi nanti aku pasti akan kembali lagi," janji Getot.
"🔊🔊," sahut kelelawar itu.
"Wahh, jadi kau benar-benar ingin membantuku. Baiklah. Lalu, apa imbalan yang kalian inginkan nanti kalau aku sudah kembali?" tanya Getot penasaran.
"🔊🔊🔊," jawab kelelawar itu.
"Buah naga? Jadi kalian suka buah naga? Ohh, hahaha, itu mudah sekali! Aku akan membawa satu karung besar buat kalian," kata Getot sambil tertawa senang.
"🔊🔊," balas kelelawar itu.
"Baiklah, aku akan menunggu kalian di sini," ucap Getot penuh harap.
Lalu, beberapa kelelawar itu pun pergi meninggalkan Getot menuju ruangan harta karun. Mereka hafal betul seluk-beluk gua tersebut, hingga celah-celah terkecil sekalipun, termasuk celah di dinding untuk masuk ke ruangan harta karun.