Sabrina rela meninggalkan status dan kekayaannya demi menikah dengan Zidan. Dia ikut suaminya tinggal di desa setelah keduanya berhenti bekerja di kantor perusahaan milik keluarga Sabrina.
Sabrina mengira hidup di desa akan menyenangkan, ternyata mertuanya sangat benci wanita yang berasal dari kota karena dahulu suaminya selingkuh dengan wanita kota. Belum lagi punya tetangga yang julid dan suka pamer, membuat Sabrina sering berseteru dengan mereka.
Tanpa Sabrina dan Zidan sadari ada rahasia dibalik pernikahan mereka. Rahasia apakah itu? Cus, kepoin ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Di depan rumah, seorang perempuan cantik berhijab syar’i berdiri dengan senyum manis. Tangannya menjinjing dus bolu brownies yang tertutup rapi. Wajahnya bersinar, seolah datang dari iklan sabun cuci muka.
Sabrina menyipitkan mata. Aura persaingan langsung membara. Apalagi saat perempuan itu menyapa dengan ceria.
“Assalamu’alaikum, Bu Maryam. Zidan,” sapa Humairah, manis banget.
Sabrina bersedekap. "Tuh, kan, manis banget! Sampai senyumnya bisa ngerusak kestabilan rumah tangga orang," batin istrinya Zidan.
“Humairah, sini masuk dulu!” ajak Bu Maryam ramah, seperti menyambut menantu idaman.
“Terima kasih, Mah. Aku cuma mau antar bolu brownies ini,” kata Humairah sopan sambil menyerahkan jinjingan.
“Wah, ini buatan kamu, ya?” Bu Maryam langsung berbinar. Dia tersenyum ketika menerima jinjingan itu dari Humairah.
Sabrina berdiri mematung. Sikap Bu Maryam kepada Humairah membuat wanita itu cemburu. "Ibu, kok, beda banget kalau ke aku ya? Ke Humairah kayak nyambut artis Korea."
“Masuklah! Kita makan bareng,” ajak Zidan.
Sabrina menoleh pelan. Tatapannya tajam kepada suaminya, penuh makna. Tentu saja itu membuat Zidan mendadak kaku dan berkeringat dingin.
Tatapan Sabrina penuh ancaman seakan mengatakan, "Akang berani berbuat macam-macam. Lihat nanti malam kalau tidur ... Akang tidak boleh memeluk aku!"
Zidan langsung menggenggam tangan istrinya dengan lembut. “Jangan cemburu dong, Neng Sayang! Dia itu cuma temen masa kecil. Mamanya Humairah itu adalah sepupunya Mamah,” bisik sang suami.
Untungnya, Humairah buru-buru pamit. “Saya pergi dulu, ya, Mah. Ada janji sama Ibu RT.”
Sabrina langsung menghela napas lega, seolah baru menang dalam lomba tarik tambang rumah tangga. Dalam hati dia bergumam, "Alhamdulillah, dia pergi. Wush ... wush, sana jauh-jauh dari suamiku!"
Sabrina baru tahu kalau suaminya, Zidan, ternyata penggemar berat bolu brownies kukus. Yang lebih mengejutkan lagi, Bu Maryam pun punya selera yang sama.
"Wah, ternyata Mamah dan Kang Zidan suka sama bolu brownies. Aku harus bisa bikin!"
Kesempatan datang saat Bu Maryam ke ladang dan Zidan ke toko. Sabrina pun sigap membuka YouTube.
“Oke, Chef. Ajarin aku. Demi cinta dan reputasi di mata ibu mertua,” gumam Sabrina sambil menatap layar ponsel penuh harap.
Sabrina mengikuti langkah demi langkah dengan penuh semangat. Gula, telur, cokelat leleh, diaduk dengan penuh cinta. Sampai akhirnya ....
“Loyang masuk ke ... oven?” Sabrina menatap kosong dapur Bu Maryam. “Lho? Ovennya mana?”
Wanita itu celingukan, membuka lemari dapur. Namun, tidak berhasil ditemukan dan akhirnya menelepon Zidan.
“Akang, kita punya oven, nggak?”
“Punya. Tapi bukan yang kayak di rumah kamu, dulu. Itu oven jadul, yang ditaruh di atas kompor,” jawab Zidan menjelaskan.
Setelah menemukan oven tua penuh sejarah itu, Sabrina pun lanjut. Dia taruh oven di atas kompor, menyalakan api, dan memasukkan loyang dengan hati-hati.
Beberapa menit kemudian, aroma cokelat semerbak memenuhi dapur. Wajah Sabrina sumringah. Dia kebingungan ketika akan mengeluarkan loyang karena tidak ada sarung tangan yang dipakai seperti pada video. Akhirnya dia menemukan sarung tangan milik Bu Maryam.
“Akhirnya jadi juga ... brownies cinta buatan Sabrina!” seru wanita itu riang, seperti menang undian umrah.
Akan tetapi, satu menit kemudian ... mata Sabrina menyipit dan keningnya mengkerut. Ketika dia membuka penutup oven.
“Lah, kok ... GOSONG!” Sabrina berteriak, mengeluarkan loyang dan menemukan permukaan brownies sudah agak hitam.
Sabrina memanggang kelamaan dan bukan mengukus seperti yang dilakukan Humairah. "Aduh, gagal total!"
Saat Bu Maryam pulang dari ladang, dapur tampak seperti habis dilanda badai: mangkuk bertumpuk, mixer belepotan cokelat, tepung di mana-mana.
“Sabrina ... ini dapur apa kapal pecah?” jerit Bu Maryam sambil menahan napas.
"Maaf, Mah. Aku hanya ingin membuat bolu kesukaan Mamah dan Kang Zidan," ungkap Sabrina dengan mata berkaca-kaca.
Zidan yang baru pulang, tertegun. Dia mencium aroma gosong dari arah dapur. Begitu sampai, laki-laki itu melihat bolu berwarna hitam di atas meja. Dia tahu itu hasil karya Sabrina.
“Ini ... buat aku?” tanyanya sambil menunjuk brownies.
Sabrina mengangguk malu-malu. “Iya ... maaf, bolunya gosong.”
Tanpa ragu, Zidan mengambil sepotong dan langsung menggigitnya. Bunyi kres terdengar jelas.
“Hmm ... enak! Rasanya beda, ada rasa cinta dan perjuangan,” katanya sambil mengangkat dua jempol. Tidak lupa senyum menawan Zidan tampilkan.
Sabrina salah tingkah dan tersenyum senang. Walau dapur berantakan dan brownies-nya lebih mirip arang manis, setidaknya cinta mereka tetap hangat. Gosong, tapi manis.
***
Setiap Jumat sore, masjid kampung selalu ramai. Pengajian ibu-ibu jadi agenda wajib, lengkap dengan suara rebana, shalawat, dan ... gosip ringan khas emak-emak.
Sabrina berjalan di samping Bu Maryam. Kerudungnya rapi, wajahnya gugup tapi berusaha santai. Di dalam masjid, barisan ibu-ibu sudah memenuhi ruangan. Dan tentu saja, Humairah ada di sana. Duduk anggun di depan, memegang mic, siap memimpin shalawat.
Sabrina menatapnya. Senyum tipis dia lemparkan saat Humairah menyapa.
“Assalamu’alaikum, Bu Maryam, Teh Sabrina,” sapa Humairah ramah.
“Wa’alaikumussalam,” jawab mereka hampir bersamaan.
Begitu shalawat dimulai, suara Humairah mengalun lembut. Merdu. Terlalu merdu, menurut Sabrina.
“Ya ampun, ini cewek, sudah pandai bikin kue, suaranya juga bikin telinga orang meleleh.”
Tiba-tiba, Ceu Edoh—si ratu celetukan kampung—berkomentar lantang. “Ceu Maryam, suruh menantunya yang mimpin shalawat, dong! Dulu Zidan aktif banget di masjid. Masa istrinya cuma duduk manis?”
Beberapa ibu-ibu terkikik. Tentu saja itu membuat Bu Maryam geram, tetapi tidak boleh berbuat barbar di masjid.
“Eh, Ceu Edoh!” potong Ceu Romlah cepat, nada bicaranya miring. “Enggak tahu, ya? Istrinya Zidan itu, ngaji aja belum bisa. Bacaan sholat masih diajarin, tuh.”
“Hah?! Yang bener?” Ceu Edoh dan Ceu Entin kompak, mata mereka membesar.
“Iya, aku denger sendiri. Kalo Magrib suka kedengaran Zidan ngajarin,” sahut Ceu Romlah sambil melirik ke arah Sabrina dengan tatapan seolah berkata: “Kasihan banget, ya?”
Sabrina terdiam. Bibirnya kaku, pipinya panas. Namun, dia tidak bisa membantah—karena semuanya benar.
Bu Maryam menatap lurus ke depan. Rahangnya mengeras. Dalam hati dia mendidih. Bukan hanya karena Sabrina jadi bahan gosip, tapi karena tetangganya seperti sedang menjatuhkan martabat Zidan.
“Yang salah bukan anakku ... tapi orang tua yang enggak ngajarin anaknya ngaji dari kecil!” desis Bu Maryam dalam hati.
Bu Maryam tetap diam, menahan amarah dengan elegan. Karena kalau sampai buka suara ... bisa bubar pengajian sore itu.
Sepulang dari pengajian, Sabrina berjalan gontai. Tatapan sinis Ceu Romlah dan senyum-senyum nyinyir Ceu Edoh masih terbayang di kepala. Rasanya seperti habis ikut ajang pencarian bakat—tapi gagal di babak penyisihan.
“Ngapain kalian nyengir terus seperti itu? Enggak takut gigi kalian kering dan berakhir rontok berguguran sampai habis!” Bu Maryam kini masuk ke mode berubah dan siap untuk mengeluarkan jurus ibu mertua level dewa.
Para ibu-ibu itu langsung mingkem. Mereka tahu kalau sampai Bu Maryam marah maka bersiaplah kena mental.
Begitu sampai rumah, Sabrina langsung menuju kamar. Ia membuka lemari, mengeluarkan mushaf kecil. Lalu, dia membuka selembar kertas contekan cara melafazkan huruf Hijaiyah.
“Bismillah. Gak bisa seperti Humairah, tapi minimal bisa baca Al Qur'an dengan benar,” gumam Sabrina penuh tekad.
Bu Maryam mendengar suara Sabrina yang terbata-bata membaca huruf-huruf Hijaiyah. Dia tidak merasa terganggu, justru merasa senang karena Sabrina mau belajar.
“Dia memang wanita banyak kekurangan dan bukan menantu impian. Tapi, harus aku akui dia punya tekad yang kuat. Semoga saja Zidan tidak pernah mengikuti jejak bapaknya,” batin Bu Maryam.
***
bukan musuh keluarga Sabrina
jangan suudhon dl mamiiii