NovelToon NovelToon
Gerbang Tanah Basah: Garwo Padmi Dan Bisikan Malam Terlarang

Gerbang Tanah Basah: Garwo Padmi Dan Bisikan Malam Terlarang

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Poligami / Janda / Harem / Ibu Mertua Kejam / Tumbal
Popularitas:9.7k
Nilai: 5
Nama Author: Hayisa Aaroon

Di Era Kolonial, keinginan memiliki keturunan bagi keluarga ningrat bukan lagi sekadar harapan—melainkan tuntutan yang mencekik.
~
Ketika doa-doa tak kunjung dijawab dan pandangan sekitar berubah jadi tekanan tak kasat mata, Raden Ayu Sumi Prawiratama mengambil jalan yang tak seharusnya dibuka: sebuah perjanjian gelap yang menuntut lebih dari sekadar kesuburan.
~

Sementara itu, Martin Van der Spoel, kembali ke sendang setelah bertahun-tahun dibayangi mimpi-mimpi mengerikan, mencoba menggali rahasia keluarga dan dosa-dosa masa lalu yang menunggu untuk dipertanggungjawabkan.

~

Takdir mempertemukan Sumi dan Martin di tengah pergolakan batin masing-masing. Dua jiwa dari dunia berbeda yang tanpa sadar terikat oleh kutukan kuno yang sama.

~

Visual tokoh dan tempat bisa dilihat di ig/fb @hayisaaaroon. Dilarang menjiplak, mengambil sebagian scene ataupun membuatnya dalam bentuk tulisan lain ataupun video tanpa izin penulis. Jika melihat novel ini di

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

10. Raden Ayu Retnosari

Soedarsono menoleh ke arah sudut lain ruangan, di mana Martin kini berbicara dengan beberapa pejabat kolonial. 

Meski pemuda Belanda itu tampak fokus pada percakapan, Soedarsono menangkap bagaimana matanya terus mencuri pandang ke arah Sumi.

"Orang Belanda," ujar Soedarsono pelan, "selalu memiliki agenda tersembunyi, Diajeng. Terutama para pemuda yang baru pulang dari pendidikan di Eropa. Mereka kembali dengan ide-ide baru dan ambisi besar."

"Tapi dia menawarkan kerja sama yang menguntungkan," bantah Sumi halus.

"Kerja sama?" Soedarsono tersenyum sinis. "Orang Belanda tidak pernah benar-benar bekerja sama dengan pribumi, Diajeng. Mereka mengeksploitasi. Menawarkan bantuan, lalu mengambil keuntungan berlipat."

Ia menatap Martin lebih lama. "Dan cara pemuda itu memandangmu ... tidak pantas untuk seorang pria terhormat."

"Itu hanya perasaan Kangmas saja," Sumi mencoba mengelak, meski wajahnya bersemu.

"Aku mengenal tatapan itu, Diajeng," balas Soedarsono tegas. "Itu bukan tatapan rekan bisnis. Itu tatapan pria yang tertarik pada perempuan yang bukan miliknya."

Soedarsono meletakkan gelasnya di meja terdekat. "Jika Diajeng ingin usaha baru, Kangmas akan mencarikan tanah yang lain."

Ia menatap istrinya dengan sungguh-sungguh. "Tapi Kangmas minta padamu, jangan berhubungan dengan Martin Van der Spoel lagi."

Ada ketegasan dalam suaranya yang jarang Sumi dengar. Ini bukan permintaan—ini perintah. Meski dalam budaya Jawa mereka, hal itu disampaikan dengan halus dan penuh hormat, tetap saja maknanya jelas.

Sumi mengangguk patuh. "Sendiko, Kangmas." 

(Baik, Kangmas.)

Namun, meski bibirnya mengucapkan kepatuhan, matanya tak kuasa melirik ke arah Martin. Tatapan mereka bertemu dari seberang ruangan—mata biru Martin menatap lurus ke mata gelap Sumi, seolah ruangan penuh orang di antara mereka lenyap begitu saja.

Jantung Sumi tiba-tiba berdebar kencang. Ada sesuatu yang familiar dengan pemuda itu, sesuatu yang dalam dan misterius yang tidak ia mengerti. 

Bukan hanya fisiknya yang menarik, tapi seolah ada benang tak terlihat yang menariknya mendekat.

Sumi mengerjap, memutus kontak mata mereka. Apa yang terjadi padanya? Ia bukan gadis muda yang mudah terpesona. 

Ia Raden Ayu Sumi Prawiratama, istri utama dari keluarga terpandang, perempuan yang selalu menjaga sikap dan kehormatan.

Lamunannya terhenti saat suara tegas Kanjeng Ibu terdengar. Ibu mertuanya telah kembali dan kini berdiri di hadapan mereka dengan wajah berseri-seri—raut wajah yang sangat jarang terlihat dari perempuan tua yang biasanya kaku itu.

"Darsono," panggilnya pada putranya. "Retnosari juga hadir di acara ini dengan ibu serta romonya. Aku akan mengenalkannya padamu."

Sumi merasakan darahnya seolah membeku. Retnosari—perempuan yang tadi siang disebut oleh mertuanya sebagai calon pengganti dirinya. 

Dan kini ibu mertuanya terang-terangan ingin mempertemukan mereka di acara formal seperti ini.

"Ibu, ini bukan waktu yang tepat," tolak Soedarsono halus.

"Kapan lagi waktu yang tepat?" balas Kanjeng Ibu. "Dia seorang janda muda dari keluarga cukup terpandang. Romonya masih sepupu jauh dengan Romomu. Sangat cocok menjadi Raden Ayu di Dalem Prawirataman."

Sumi hanya bisa menundukkan pandangan, hatinya hancur berkeping-keping. Ibu mertuanya benar-benar berniat menggantikannya—dan melakukannya di depan mata, tanpa rasa malu atau sungkan.

"Sumi, kau bisa berkeliling sebentar," ujar Kanjeng Ibu dengan nada memerintah yang disamarkan dalam kesopanan. "Ada beberapa nyonya yang mungkin ingin berbincang denganmu di ruang tengah. Tadi Ibu dengar mereka memuji perhiasanmu, mereka ingin tahu di mana kau memesannya."

Ini pengusiran halus. Sumi tahu itu. Ia diharapkan menjauh sementara suaminya diperkenalkan pada calon istri barunya.

Soedarsono tampak akan membantah, tapi tatapan tajam ibunya menghentikannya. Sebagai anak Jawa yang dibesarkan dengan nilai-nilai penghormatan pada orangtua, ia terjebak dalam dilema budaya—antara kesetiaan pada istri dan bakti pada ibu.

"Saya permisi dulu, Kangmas, Ibu," ucap Sumi dengan suara yang ia usahakan tetap tenang dan bermartabat. Dengan gerakan anggun, ia membungkuk hormat pada mertua dan suaminya, lalu berjalan menjauh.

Langkahnya membawanya ke beranda samping rumah Karesidenan, tempat yang lebih sepi dan sejuk. Di sana, tersembunyi dari pandangan tamu lain, Sumi akhirnya membiarkan air matanya jatuh.

Lima belas tahun kesetiaan, lima belas tahun cinta, dan ini balasannya? Dipermalukan di depan umum, digantikan oleh perempuan lain hanya karena ia tidak bisa memberikan keturunan?

"Tidak," bisiknya pada diri sendiri sambil menyeka air matanya dengan cepat. "Aku tidak akan menyerah semudah itu. Lagipula Kangmas benar-benar mencintaiku."

Sekarang, Kedung Wulan bukan lagi sekadar harapan—tapi jalan satu-satunya. Ritual itu harus dilanjutkan, dengan atau tanpa persetujuan suaminya, dengan atau tanpa bantuan Martin Van der spoel.

Malam ini, setelah jamuan usai, ia akan kembali menemui Ki Jayengrana untuk menelan telur bulus kedua. 

Sementara itu, Martin sejak tadi sengaja memposisikan diri di dekat sekelompok beberapa perempuan ningrat Jawa dan Indo elit yang sedang membicarakan Sumi. Para perempuan itu berkumpul tak jauh dari meja minuman. 

Martin hanya menanggapi sekadarnya percakapan para rekan bisnis ayahnya yang sibuk membahas komoditas yang sedang laku di pasar Eropa untuk ditanam di tanah Hindia.

"Karet masih menjanjikan, Tuan Van der Spoel," ujar seorang pengusaha perkebunan Belanda bertubuh gemuk. "Tapi teh dan kopi sedang naik permintaannya. Apa ayah Anda sudah mempertimbangkan diversifikasi tanaman di perkebunan Sumberejo?"

Martin mengangguk sopan, gelas sampanye di tangannya tinggal setengah. "Ayah saya memang sedang mempertimbangkannya. Tapi perlu investasi besar untuk mengubah lahan tebu menjadi perkebunan teh."

Matanya dan telinganya, bagaimanapun, lebih tertarik pada percakapan para perempuan di belakangnya. 

Mereka berbicara dalam bahasa Melayu pasar yang bercampur dengan istilah Jawa, cukup keras untuk didengar oleh siapa pun yang berada di dekat mereka.

"Kau lihat Raden Mas Soedarsono?" tanya salah seorang dari mereka. "Ibunya tampaknya serius kali ini. Kabarnya ia akan menceraikan Raden Ayu Sumi secepatnya."

"Setelah lima belas tahun." balas yang lain. "Sudah sepatutnya. Apa gunanya istri cantik kalau tidak bisa memberi keturunan?"

Seorang perempuan paruh baya tertawa sinis. "Sayang sekali ... tapi apa boleh buat? Keluarga seperti Prawiratama membutuhkan penerus."

"Kudengar istrinya yang muda—Pariyem itu—sedang mengandung," sambung wanita lain. "Bayangkan! Selir dari kalangan rendahan malah yang berhasil hamil. Sungguh memalukan bagi Raden Ayu."

"Pasti ada yang tidak beres dengan rahimnya," komentar seorang lagi dengan nada merendahkan. "Mungkin karena dulu menolak banyak lamaran dan lebih memilih keluarga Prawiratama, jadi orang-orang mendoakan buruk."

Mereka tertawa penuh kesenangan di atas penderitaan perempuan lain, tidak menyadari bahwa Martin mendengarkan setiap kata dengan saksama. 

Ia menyesap sampanyenya perlahan, berusaha tetap tampak acuh tak acuh, meski informasi yang baru didapatnya sangat berharga.

Kini ia mengerti mengapa Sumi begitu tertarik pada Kedung Wulan. Bukan karena kolam ikan atau bisnis, tapi karena legenda kesuburan yang melekat pada sendang itu. 

Lima belas tahun pernikahan tanpa anak, ditambah tekanan sosial yang kejam seperti yang ia dengar ini, pasti cukup untuk mendorong siapa pun ke titik keputusasaan.

Martin mengalihkan pandangannya ke sudut lain ruangan, di mana ia melihat Raden Mas Soedarsono kini berdiri berhadapan dengan seorang perempuan Jawa muda. 

Perempuan itu mengenakan kebaya merah tua dengan selendang sulaman emas, tubuhnya berisi dan posturnya tegap. Cukup cantik, meski menurut Martin, tidak ada bandingannya dengan kecantikan anggun Sumi.

Soedarsono tampak terlibat dalam percakapan yang cukup serius dengan perempuan itu—yang pasti adalah Retnosari yang disebut-sebut tadi. 

Ada kilatan tertarik dalam mata priyayi itu, meski ia berusaha menyembunyikannya dengan sikap formal. 

Berbeda dengan keanggunan terkendali Sumi, Retnosari memiliki aura menggoda yang lebih terbuka—cara ia tersenyuM, cara ia menatap, bahkan cara ia merapikan selendangnya, semua ditujukan untuk menonjolkan daya tariknya terhadap lawan jenis.

Tanpa sengaja, Martin melihat Sumi berdiri di ambang pintu yang mengarah ke beranda, memandangi suami dan calon penggantinya dengan tatapan terluka. 

Meski jarak mereka cukup jauh, Martin bisa melihat kerapuhan di balik sikap tegar perempuan bangsawan itu. 

Untuk beberapa saat, Sumi tetap di sana, menatap dengan mata yang semakin berkaca-kaca, sebelum akhirnya berbalik dan menghilang ke luar.

Martin meletakkan gelasnya di atas nampan pelayan yang lewat. Ia pamit sekadarnya pada kelompok pebisnis Belanda, lalu dengan santai tapi penuh perhitungan, berjalan memutar ruangan menuju pintu yang dilalui Sumi tadi.

Udara malam menyambutnya saat ia melangkah ke beranda samping. Lampu-lampu taman yang temaram menerangi jalan setapak berkelok di antara tanaman hias yang ditata rapi. 

Martin mengedarkan pandangan, mencari sosok Sumi. Perempuan itu tidak terlihat di beranda. Ia pasti sudah berjalan lebih jauh ke dalam taman, seolah berusaha menghindari para tamu lain.

Martin mengikuti jalan setapak, melewati beberapa pot bunga besar dan semak-semak yang digunting rapi. 

Di sisi taman yang lebih gelap, di balik sebatang pohon flamboyan, akhirnya ia melihat Sumi. Perempuan itu berdiri memunggunginya, menatap kosong ke kegelapan pekat di ujung taman. 

Bahunya yang semula tegap kini sedikit bergetar, dan meski Martin tidak bisa melihat wajahnya, ia tahu perempuan itu sedang menangis dalam diam.

Martin merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sapu tangan putih bersih. Dengan langkah tenang, ia mendekat, lalu mengulurkan sapu tangan itu ke hadapan Sumi.

"Apa gunanya menangisi keadaan, Raden Ayu?" ucapnya pelan.

1
ian
tak tahu balas budi kamu yemm
ian
gimana rasa cemburu kang ???
puaaanaaaskan
Fetri Diani
sebagai istri nomor tiga yg selalu dinomor tiga kan.... lahh.. salahnya dimana jal yem? /Facepalm/ ada2 sj ndoro otor ini. /Joyful/
ian
pariyeeeeemmm kamu cari ulah sama emak2 netizen
ian
hadeuuh
Nina Puspitawati
kurangggggg....makin penasaran
Alea 21
Matur suwun up nya ndooroo..
Nina Puspitawati
face the world
Nina Puspitawati
semangat Sumi 😘
🍭ͪ ͩ💜⃞⃟𝓛 S҇ᗩᑎGGITᗩ🍒⃞⃟🦅
ndoro ayu sosok priyayi yg benar2 berdarah ningrat
ian
pedihnya sumi berasa sampai sini
Ratna Juwita Ningsih
aku sih dukung Sumi cerai... tapi aku takut dilaknat Allah...🤗
Jati Putro
Ndoro ayu Sumi nasib nya kurang mujur ,
suami nya banyak istri
mungkin yg mandul Raden Soedarso sendiri
Okta Anindita
semangat Raden Ayu..jangan mau turun derajat,,ihhh apaan dari garwo padmi kok jadi garwo ampil,pasti makan hati banget
Rani
koyoe sing mandul sing lanang.nanti kalau cerai kan biar ketahuan.Retno gak punya2 anak.dan ternyata Pariyem hamil boongan.ben malu sisan Ndoro Ibune.jebule anak e dewe sing mandul
Tati st🍒🍒🍒
kalau g cerai terus hamil anak martin nanti jadi petaka,kalau ketauan ...cerai jadi cibiran dan hinaan...tapi kalau aku lebih baik cerai sih😅
Tati st🍒🍒🍒
istrimu baru dideketin martin aja kamu udah g suka,apakabar sumi yg di madu dah pasti hatinya sakit,perih
🍵𝒚𝒂𝒚𝒖𝒌 𝒋ᷟ𝒖ⷽ𝒐ᷟ𝒔ⷽ𝒔๎🦈
mgkin martin kebahagian mu to ntah lah suka2 author nya mau gimna yaaa kann
🍵𝒚𝒂𝒚𝒖𝒌 𝒋ᷟ𝒖ⷽ𝒐ᷟ𝒔ⷽ𝒔๎🦈
idihhh istri mana yg mau di madu terang2an mending mundur lah org selir aja udh 2 trp nglah ini mau nambah lagi dann apa mau di turunin jd seli mndg kaur aja mndg sm martin aja klo gtu
🍵𝒚𝒂𝒚𝒖𝒌 𝒋ᷟ𝒖ⷽ𝒐ᷟ𝒔ⷽ𝒔๎🦈
nahh ndoro ini bikin dag dig dug deh bacanya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!