Karmina Dan Ketua OSIS

Karmina Dan Ketua OSIS

Perundungan

"Heh, Jadul! Cepet bersihin sepatu gue!" perintah Gracia pada Karmina. Gadis berkulit putih dengan rambut panjang terurai sepunggung itu tampak angkuh, duduk di sebuah bangku sambil mengayun-ayunkan kakinya.

Karmina, gadis miskin berambut pendek yang kerap memakai seragam bekas nan lusuh, terpaksa menuruti Gracia. Ia berjongkok, lalu membersihkan sepatu mahal perempuan di hadapannya menggunakan tangan kosong.

"Eh, yang bener dong bersihinnya! Masa cuma gitu doang?" bentak Fransisca, perempuan berwajah oriental dan bermata sipit itu menoyor kepala Karmina hingga mengenai kaki Gracia.

Merasa yang dilakukannya sudah benar, Karmina menoleh pada Fransisca. "Gue udah bersihin pake tangan. Kalau pengin bersih, sediain air sama lap dong biar kinclong," sanggahnya.

Gracia menendang wajah Karmina hingga terjengkang, kemudian berjongkok dan memegang kedua pipi gadis berambut pendek itu. Matanya menatap nyalang pada wajah malang Karmina yang begitu memelas.

"Apa maksudnya lo nyuruh-nyuruh temen gue sediain air sama lap? Inget, ya! Lo itu cuma anak babu! Sampai kapan pun lo nggak pantes nyuruh-nyuruh kita buat ngelakuin kemauan lo," cerocos Gracia memelototi Karmina, lalu melepaskan wajah temannya itu dengan kasar.

"Kayaknya kita harus ngasih pelajaran yang lebih berat buat si jadul biar nggak seenaknya nyuruh-nyuruh," usul Evelyn, gadis berparas cantik dengan hidung bangir dan bola mata berwarna hazel. Rambutnya yang berwarna kemerahan sering diikat kuncir kuda.

"Ide bagus!" timpal Fransisca, lalu menarik kerah baju Karmina sambil berdiri sejajar dengannya.

Karmina yang bertubuh lebih mungil dari ketiga siswi usil itu, pasrah saja diperlakukan secara semena-mena oleh Gracia dan kawan-kawannya. Ketidakberdayaan Karmina tentu saja, membuat Gracia merasa leluasa memanipulasi pandangan siswa lain. Setiap kali berpapasan dengan guru ataupun murid, Gracia sering merangkul Karmina layaknya sahabat karib.

Setibanya di sebuah kelas kosong, Karmina didorong oleh Gracia sampai tersungkur. Putri bungsu dari seorang pengusaha batu bara itu kemudian menepuk-nepuk lengan, seolah merasa jijik telah merangkul anak dari pembantunya.

Fransisca mengeluarkan ponselnya, sambil melirik pada Evelyn. Keduanya saling pandang dan tersenyum, mengisyaratkan sesuatu yang menyenangkan hati mereka akan segera dilakukan oleh Gracia.

"Cepet minta maaf sambil menggonggong!" ujar Gracia melipat kedua tangannya, sambil menatap sisnis pada Karmina.

Karmina yang sedang berusaha untuk berdiri, mengernyitkan kening. "Apa?!"

"Nggak usah banyak tanya! Cepet lakuin aja!" perintah Fransisca yang cengengesan, menyalakan menu perekam video di ponselnya.

"Cepat lakuin atau lo kita kurung di gudang belakang sekolah sampai nggak pulang-pulang," desak Evelyn memelototi Karmina.

Tentu saja, Karmina enggan mempertaruhkan harga dirinya. Alih-alih menuruti kemauan ketiga gadis menyebalkan itu, Karmina berusaha menerabas keluar dari kelas. Namun, sayangnya, langkahnya dijegal oleh Gracia yang mulai berang.

"Lo nggak boleh pergi sebelum ngelakuin perintah dari kita!" sergah Gracia, menarik tangan Karmina, lalu menampar pipi gadis berambut pendek itu tanpa segan-segan.

Mata Karmina berkaca-kaca, merasakan perih akibat tamparan Gracia di pipinya. Ia diseret masuk ke kelas oleh anak dari majikan ibunya dengan kasar. Adapun Evelyn, menutup pintu sambil memastikan tak ada seorang pun yang menyaksikan aksi keji mereka terhadap siswi paling lemah di sekolah itu.

"Cepet lakuin yang gue suruh tadi!" bentak Gracia dengan suara tinggi.

"Nggak!" bantah Karmina memandang tajam pada Gracia.

Gracia yang semakin geram, mendorong Karmina hingga tersungkur. Fransisca tertawa-tawa melihat gadis berambut pendek itu kepayahan untuk berdiri lagi.

"Turutin kemauan gue atau nyokap lo dipecat secara nggak hormat dari rumah gue," ancam Gracia dengan kedua alis saling bertaut.

Dengan gemetar, Karmina berjongkok. Kepalanya tertunduk malu. Kedua tangannya bertumpu ke lantai seperti seekor hewan jalanan yang meminta makan. Ia meminta maaf dan menggonggong dengan suara yang sangat pelan, sampai-sampai membuat mereka semakin kesal.

"Oh, ayolah! Yang lebih seru lagi dong!" seru Fransisca, merasa tidak puas.

"Lo bisa nggak, sih, lebih becus lagi turutin kemauan kita?" bentak Evelyn dengan bersungut-sungut.

"Gue masih punya harga diri," gertak Karmina menatap sinis pada ketiga gadis menyebalkan itu satu per satu.

"Berisik lo! Orang miskin kayak lo nggak pantes ngomongin harga diri!" Evelyn bergegas menghampiri Karmina, kemudian mendorong perempuan bertubuh mungil itu. Saat tangannya hendak menampar Karmina, aksinya mendadak terhenti oleh suara dobrakan pintu.

Gracia, Evelyn, dan Fransisca terkesiap mendapati sang ketua OSIS yang terkenal berhati dingin, sudah berdiri di ambang pintu. Lelaki bernama Dewa itu, menatap tajam ketiga gadis menyebalkan sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana.

"Lagi ngapain kalian? Bukannya cepet pulang, malah kumpul-kumpul di sini," ucap Dewa memandangi ketiga perundung itu satu per satu, sambil melangkah memasuki ruangan kelas.

Gracia tergugu-gugu. Matanya beralih ke segala arah, berusaha menghindari tatapan tajam sang ketua OSIS.

Di sisi lain, Evelyn berlari mendekati Fransisca dan bersembunyi di balik tubuh temannya, seolah meminta perlindungan. Ketiga murid menyebalkan itu hanya tertunduk malu, menyadari telah dipergoki oleh Dewa yang sangat membenci perundungan antar siswa.

"K-Kita ... kita cuma bercanda doang kok," kata Fransisca, sambil sesekali menatap canggung pada Dewa.

"Bercanda, ya?" tanya Dewa menatap Fransisca yang masih gugup, lalu merebut ponsel dari tangan gadis berwajah oriental itu. Dilihatnya video yang baru direkam oleh Fransisca, lalu menunjukkannya pada ketiga gadis menyebalkan. "Terus, ini apa? Apa ini yang kalian sebut bercanda? Jawab!"

"Ng ... itu ... itu ...." Evelyn kebingungan menjelaskan perihal video di ponsel Fransisca.

Dewa segera menghapus video busuk itu, kemudian melemparkan ponsel pada Fransisca. "Kalian ini beneran udah hilang akal. Besok pagi, gue jadwalin kalian masuk ruang BK."

Terperangah Gracia mendengar keputusan Dewa. Dihampirinya lelaki berbadan tinggi tegap itu, kemudian memegangi lengannya. "Aduh, jangan dong, Ketos. Kita di sini beneran bercanda kok, suer!" pintanya dengan wajah memelas.

"Nggak ada kompromi lagi buat kalian. Gue udah lihat semuanya dari tadi. Pokoknya, besok kalian harus ketemu sama Bu Ratna," ujar Dewa menunjuk ketiga siswi itu satu per satu.

Merasa tak bisa membantah ucapan siswa paling kuat di sekolah itu, Gracia, Fransisca, dan Evelyn, bergegas meninggalkan kelas. Mereka benar-benar sudah ciut nyali jika berhadapan langsung dengan seseorang berintegritas tinggi seperti Dewa.

Sementara ketiga gadis menyebalkan itu pergi, Dewa membantu Karmina berdiri. "Lain kali, lo harus bisa ngelawan orang-orang kayak mereka, bukan iya iya aja," ujarnya.

Karmina yang merasa sudah membela diri, seketika merajuk, "Gue udah berusaha, kok. Apa lo nggak lihat cewek-cewek tadi badannya lebih gede dari gue? Mana mungkin gue bisa menang ngelawan mereka."

"Alah, alesan doang. Nabi Daud aja bisa ngalahin Raja Jalut yang badannya lebih gede, masa lo nggak bisa?" ketus Dewa mendelik pada Karmina. "Asal lo tau, ya. Gue jadi ketos tuh bukan buat membasmi kejatahan kayak pahlawan kesiangan, tapi ngasih kesempatan buat orang-orang lemah kayak lo biar bisa bangkit. Ngerti?"

Karmina mengangguk pelan. Meski merasa sedikit kesal dengan ucapan pedas Dewa, Karmina tetap bersikap rendah hati pada ketua OSIS yang lebih senang menyendiri itu.

"Makasih, ya, udah nolongin gue," lirih Karmina tertunduk, merasa sungkan.

"Nggak usah bilang makasih. Udah kewajiban gue buat nolongin siswa yang kesusahan," ucap Dewa, sambil mendelik pada Karmina.

Sejenak, Karmina menatap Dewa sambil termenung. Diperhatikannya wajah tegas dengan sorot mata tajam itu, hingga sekilas bayangan sebuah tragedi mengerikan muncul mengganggu benaknya. Saat Dewa hendak berbalik badan, Karmina memegang tangan lelaki itu.

Seketika, bayangan seorang pria bersimbah darah yang terkapar di jalanan, tiba-tiba muncul tatkala ia menutup mata. Dewa berlari menghampiri pria itu sambil menangis tersedu-sedu. Sorot matanya menyiratkan sebuah dendam yang begitu dalam.

Kilasan peristiwa di pelupuk mata Karmina berputar begitu cepat. Suara tembakan terdengar samar di telinganya, hingga memunculkan sosok Dewa yang lebih gagah dan berwibawa mengenakan setelan jas berwarna hitam.

Karmina segera membuka mata, menatap Dewa yang masih bergeming memperhatikannya. Belum sempat melepaskan genggamannya dari tangan Dewa, gadis itu tiba-tiba merasakan pening yang begitu dahsyat, sampai akhirnya tak sadarkan diri di pelukan sang ketua OSIS.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!