NovelToon NovelToon
Untuk Aldo Dari Tania

Untuk Aldo Dari Tania

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Ketos / Diam-Diam Cinta / Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:369
Nilai: 5
Nama Author: Aisyah A

Berawal dari pertemuan singkat di sebuah mal dan memperebutkan tas berwarna pink membuat Aldo dan Tania akhirnya saling mengenal. Tania yang agresif dan Aldo yang cenderung pendiam membuat sifat yang bertolak belakang. Bagaikan langit dan bumi, mereka saling melengkapi.

Aldo yang tidak suka didekati Tania, dan Tania yang terpaksa harus mendekati Aldo akhirnya timbul perasaan masing-masing. Tapi, apa jadinya dengan Jean yang menyukai Aldo dan Kevin yang menyukai Tania?

Akhirnya, Aldo dan Tania memilih untuk berpisah. Dan hal itu diikuti dengan masalah yang membuat mereka malah semakin merenggang. Tapi bukan Aldo namanya jika kekanak-kanakan, dia memperbaiki semua hubungan yang retak hingga akhirnya pulih kembali.

Tapi sayangnya Aldo dan Tania tidak bisa bersatu, lantaran trauma masing-masing. Jadi nyatanya kisah mereka hanya sekadar cerita, sekadar angin lalu yang menyejukkan hati.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pria Peduli

Sesuai janjinya dengan Tania semalam. Kali ini Amanda menjemput Tania bersama dengan Nabilla. Mobil sedan miliknya terparkir di pekarangan rumah Tania. Mereka turun dari mobil lalu memencet bel. Sesaat setelahnya Mila yang menyambut.

"Eh, Amanda, Nabilla. Mau jemput Tania, ya?" tanya Mila.

"Ah, Tante, nebaknya bisa pas gitu ya," ujar Nabilla.

"Iya udah, masuk dulu yuk."

"Kita tunggu di luar aja, Tan," ujar Amanda.

"Iya udah, tante panggil Tania dulu."

"Tante," panggil Amanda membuat Mila menoleh. "Tania udah bangun, 'kan?" tanya Amanda.

Baru saja Mila ingin menjawabnya. Tahu-tahu Tania sudah datang dengan pakaian seragam rapi. "Gue udah siap!"

Refleks Mila, Amanda, dan Nabilla menatap Tania dengan tatapan takjub.

"Nggak usah gitu juga lihatinnya. Gue tahu, ini adalah salah satu keajaiban," ujar Tania membuat Amanda berdecih.

Tania menatap Mila. "Tania berangkat, ya, Ma." Dia menyalimi tangan Mila.

"Kita juga berangkat Tante." Amanda dan Nabilla bergegas menyalimi Mila.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Hati-hati nyetirnya, Man," ujar Mila membuat Amanda mengangkat jempol sebelum masuk ke dalam mobil.

Mila masih penasaran, dia mengernyit bingung menatap kepergian mobil Amanda. "Tania kok udah siap aja, perasaan tadi baru bangun."

...******...

Ini adalah keajaiban, benar-benar keajaiban. Sejak kapan seorang Tania bisa bangun pagi? Pertanyaan itu terus berputar di kepala Amanda dan Nabilla sepanjang perjalanan ke sekolah. Sedari tadi Tania juga diam, biasanya gadis itu paling excited berkomentar pasal polusi ataupun pengendara yang menurutnya berkualitas buruk. Gadis itu lebih banyak menatap kosong keadaan luar dari balik jendela. Dan yang lebih sering gadis itu lakukan adalah ... menguap.

Amanda menoleh. "Tan, lo bangun jam berapa?"

Tania menoleh pada Amanda. "Jam 2 pagi."

"Apa?" kaget Amanda dan Nabilla bersamaan.

Tania mengangguk. "Iya, kenapa emangnya?"

"Lo salat tahajud, Tan?" tanya Nabilla.

Tania menggeleng. "Gue itu takut bangunnya siang, jadi semalam gue nggak bisa tidur karena wanti-wanti. Akhirnya di jam 2 gue bangun dan gue memutuskan untuk tidak tidur, dan menunggu pagi datang," jelas Tania membuat Amanda dan Nabilla saling tukar pandang.

"Lo sampai separno itu ya bangun siang?" tanya Amanda.

"Iya, parno banget." Tania mengangkat telunjuknya yang dibungkus hansaplast. "Gue udah janji sama luka ini, kalau gue akan jadi anak yang baik."

"Telunjuk lo kenapa?" tanya Nabilla.

"Kemarin gue jatuhin piring, dan telunjuk gue kesayat belingnya," ujar Tania membuat Amanda dan Nabilla menatap prihatin.

"Gue nggak percaya kalau lo bakal jadi cewek alim," ujar Amanda.

"Gue janji, dan akan gue buktikan. Setidaknya kalau sehari gue melakukan hal ceroboh gue bakal ...." Tania menggantungkan ucapannya membuat Amanda dan Nabilla kian penasaran, wajah mereka sangat antusias.

"Bakal apa?" tanya Nabilla mendesak.

Tania tersenyum simpul. "Gue bakal deketin kak Kevin dan minta bantuan sama dia."

"Yeee, itu mah enak lo-nya!"

Amanda dan Nabilla mendengus kesal. Kalau soal Tania memang belum ada sisi baiknya yang terlihat, selalu tertutupi oleh sikap cerobohnya. Tapi mereka yakin, suatu saat Tania pasti akan menghilangkan sifat cerobohnya. Tapi suatu saat, entah saat gadis itu berusia berapa.

...******...

Sejak pagi Aldo begitu cemas, wajah pria itu tampak lelah dan letih. Pekerjaannya hanya mengembuskan napas lalu membenamkan wajahnya. Dia tidak masuk ke ruang OSIS, memilih diam di kelas. Dan itu disebabkan sejak semalam dia menemukan Jean pingsan di kamar mandi dan sekarang gadis itu berada di rumah sakit sendirian. Jean yang sakit tetapi Aldo yang selalu mengeluh.

"Gue duduk sama lo, ya," ujar Nico menempati kursi yang semula diduduki Jean.

"Lo kenapa sih, Do? Udah kayak bapak-bapak nggak ada kerjaan," ujar Bima.

"Anak-anak OSIS nyariin gue, nggak?" tanya Aldo.

"Enggaklah, mereka itu udah tahu kalau seandainya lo kelihatan kayak mumi pasti ada hubungannya sama Jean," ujar Bima.

Bahkan bukan anak OSIS saja yang tahu, hampir penghuni sekolah mengetahui seberapa besar Aldo menyayangi Jean. Maka tak jarang dari mereka yang berharap kalau Aldo dan Jean memiliki hubungan yang lebih dari sekadar sahabat.

Aldo menghela napas dan mengusap wajahnya gusar.

"Emang semalam Jean kenapa?" tanya Nico.

"Semalam dia pingsan, dan sekarang dia dirawat di rumah sakit sendirian. Gue takut ada apa-apa sama dia."

"Emang bokap sama nyokapnya nggak pulang dulu gitu, sekedar jenguk atau apa?" tanya Bima.

"Itu dia, mereka bahkan nggak peduli sama keadaannya Jean kalau tuh cewek cuma pingsan," jelas Aldo.

"Berarti kalau Jean mati mereka baru panik dong," celetuk Bima yang langsung mendapat toyoran dari Nico.

"Lemes mulut lo, Bim," ujar Nico. Dia menatap Aldo. Sungguh terlihat prihatin keadaan Aldo saat ini, entah dia sudah sarapan atau belum. Tapi Nico jamin Aldo tidak akan memikirkan hal apa pun selain dia ingin berada bersama Jean dan menemani gadis itu. "Kalau gitu kenapa lo nggak izin aja?"

Aldo menatap Nico. "Lo tahu 'kan, Nic, kalau sore ini bakal ada rapat lagi?"

"Ya lo bisalah nggak hadir sekali. Nanti gue yang bilang sama ketos kalau gue yang bakal gantiin lo dan mengajukan diri sebagai wakil lo," ujar Nico.

"Gue nggak bisa ninggalin tanggung jawab gue," ujar Aldo.

"Katanya lo khawatir sama Jean?" tanya Bima.

"Iya, gue—"

Tok! Tok! Tok!

Ucapan Aldo terpotong karena tahu-tahu Kevin mengetuk pintu kelasnya yang membuat dia jadi pusat perhatian. Kevin menatap Aldo, meminta pria itu untuk keluar sebentar.

"Lo coba ngomong sama dia," ujar Nico sebelum Aldo beranjak pergi menghampiri Kevin.

Aldo hanya mengangguk, entah akan mengikuti ucapan Nico atau hanya sekadar bentuk formalitas. Pikirannya kacau balau, tidak bisa sinkron sama sekali.

"Ada apa, Kak?" tanya Aldo ketika sudah berhadapan dengan Kevin di luar kelas.

Kevin memberikan sebuah kertas pada Aldo. "Ini formulir buat visi misi dan tujuan lo jadi ketua OSIS. Nanti lo isi sama wakil lo. Oh iya, wakilnya bener Nicolas?"

Aldo mengernyit. Padahal Aldo belum mengatakan terkait Nico yang akan menjadi wakilnya.

"Tadi pagi dia ngomong sama gue, ngajuin diri jadi wakil lo," ujar Kevin membuat Aldo langsung paham dan mengangguk.

Aldo menerima formulir itu dan memperhatikannya secara saksama.

Kevin memegang bahu Aldo. "Gue tahu, pasti ada sesuatu sama Jean. Lo boleh izin nggak ikut rapat untuk kali ini, biar Nico yang gantiin lo."

"Serius?"

"Iya, setidaknya wakil lo punya IQ tinggi," ujar Kevin seraya melirik Nico dan Bima yang bertengkar entah masalah apa.

Aldo menarik seulas senyum. "Makasih, Kak."

"Iya. Ya udah, gue ke kelas, ya."

Aldo mengangguk dan mengikuti punggung tegap Kevin yang berjalan menuju kelasnya sendiri. Aldo menghela napas. Banyak orang-orang baik dan peduli padanya dan juga Jean. Harusnya dia bersyukur pada hal itu.

Sebelum Aldo balik badan dan masuk ke dalam kelas, dia melihat ke bawah. Pada seorang gadis yang berjalan di pinggir lapangan dengan langkah lunglai. Aldo menyipitkan matanya, merasa familier dengan gadis itu.

Merasa diperhatikan dari jauh membuat Tania segera balik badan, tidak ada siapa-siapa. Namun, ketika dia mendongak ke atas dan menemukan Aldo sedang menatapnya membuat dia menunjuk pria itu lalu mengarahkan telunjuknya pada leher sebagai artian: Lo akan mati, awas aja!

Tapi hal itu tidak membuat Aldo terusik, pria itu justru menyunggingkan senyum lalu menggelengkan kepala.

"Dasar cewek gila."

...******...

Sendirian di rumah sakit tentulah tidak menyenangkan. Apalagi saat seharusnya membutuhkan perhatian lebih, justru perhatian itu tidak kunjung datang. Bahkan, Jean sendiri tidak yakin kalau orang tuanya masih hidup.

Jean jenuh di dalam kamar, dan dia memutuskan untuk menuju kantin untuk mencari makanan sekaligus keramaian. Dia tertatih berjalan keluar kamarnya seraya membawa selang infus. Dia melihat kanan dan kiri, sepi, nyaris tidak berpenghuni.

Dia mencoba berjalan. Tapi baru beberapa langkah dia nyaris tersungkur kalau saja tidak ada tangan yang menopang tubuhnya.

"Hati-hati."

Jean bersyukur karena ada yang menolongnya. Dia mendongak. Dia pikir yang menolongnya adalah salah satu petugas rumah sakit, ternyata seorang ibu-ibu dengan raut wajah teduh. Ibu itu membantu Jean berdiri tegak.

Lama sekali Jean tidak merasakan sentuhan sehangat ini. Harusnya dia mendapatkan ini dari orang tuanya langsung, bukan malah orang baik yang tidak dia kenal.

Jean tersenyum. "Makasih, Tante."

"Iya, sama-sama. Kamu mau ke mana?" tanya ibu itu yang ternyata adalah ibu Tania—Mila.

"Mau ke kantin, sama mau cari angin."

"Lho, kok sendirian? Nggak ada yang jagain?" tanya Mila.

Jean menggeleng lemah membuat Mila merasa bersalah akan pertanyaannya. Dia yakin sekali kalau orang tua gadis itu sangat sibuk bekerja.

"Mau tante antar ke sana? Kebetulan tante juga mau makan siang."

Jean mengangguk seraya tersenyum manis. Mila membantunya berjalan perlahan-lahan. Jean merasa senang sekaligus terharu. Harusnya Jean menuruti ucapan sang papa kalau jangan percaya pada orang yang baru dikenal. Tapi itu tidak berlaku untuk Mila, karena menurut Jean, Mila adalah sosok yang baik. Sudah bisa ditebak dari sentuhan tangannya yang hangat.

...******...

Kantin rumah sakit ramai. Di antara banyaknya makanan pilihan, Jean memilih bubur. Dia tidak makan sendiri, ada Mila di depannya yang juga sedang makan. Kejenuhan Jean seketika sirna begitu saja saat dia menginjak pintu kantin.

"Kalau boleh tahu kamu sakit apa?" tanya Mila.

"Sebetulnya imun aku lemah Tante, jadi sering sakit. Semalam pingsan gara-gara siangnya nggak makan dan banyak aktivitas," jelas Jean.

"Oh, makanya sering-sering olahraga. Makannya yang teratur, banyakin sayur sama buah biar sehat," ujar Mila.

Jean tersenyum. "Iya, Tante. Tante sendiri ke sini jenguk orang?"

"Enggak, tante cuman cek kesehatan."

Jean mengangguk-angguk paham.

"Ngomong-ngomong orang tua kamu sibuk, ya?"

"Iya, Tante. Mereka selalu sibuk, yang biasanya jagain aku dan ingetin aku ini itu ya teman dekat aku."

"Aduh, tante jadi nggak enak nanya itu."

"Nggak apa-apa, Tante."

"Nama kamu siapa?"

"Jean."

"Nama tante Mila."

Jean tersenyum.

"Anak tante itu jarang sakit, selelah apa pun dia, berapa lama dia nggak makan. Dia nggak pernah sakit."

"Oh iya?"

Mila mengangguk kuat. "Iya, tante aja bingung, sekuat itu imun dia. Dan katanya, kunci kesehatan itu kebahagiaan. Jadi dia ya gitu, suka nyari kebahagiaannya sendiri. Walaupun buat orang pusing karena dia ceroboh," ujar Mila.

Jean tersenyum mendengarnya. Sikap anak Mila berbanding terbalik dengan dirinya. Mungkin Jean bisa minta tips kepada anak Mila bagaimana caranya agar selalu bahagia dan jarang sakit. Dan mungkin, berteman dengan anak Mila menyenangkan. Mungkin.

"Makan yang banyak," ujar Mila.

Mengobrol dengan Mila begitu mengasyikkan. Seperti mengobrol bersama anak muda. Apalagi mengobrol dengan anaknya.

Jean jadi tidak sabar mengenal anak Mila.

...******...

Tania memutuskan untuk tidak ke kantin. Dia memutuskan tidur di dalam kelas agar staminanya kembali pulih. Tapi lama-lama keadaan kelas jadi sepi karena semua teman-temannya keluar ke kantin. Tania mendongak, mengucek mata, dan mengusap wajah kasar. Menoleh ke sekelilingnya untuk memastikan dia seorang diri di dalam kelas.

"Kayaknya gue harus cari asupan," ujar Tania.

Akhirnya setelah 10 menit lamanya dia tidur, dia memilih keluar kelas.

...******...

Aldo, Nico, dan Bima baru saja memutuskan untuk keluar kelas setelah selesai mencatat susulan.

"Jadi gimana, nih? Ke kantin dulu atau ruang OSIS dulu?" tanya Bima.

"Gue ke ruang OSIS dulu deh, kalian duluan aja," ujar Aldo.

"Sehari lo nggak masuk ruang OSIS sekarat kali ya, Do," cibir Bima.

"Gue—"

Bragh!

"Awh!"

Suara itu menghentikan ucapan Aldo. Mereka bertiga langsung menoleh ke bawah, pada sumber suara ringisan. Ternyata sebuah pot kecil yang menggantung di atas sana jatuh tanpa sepengetahuan siapa pun.

Tania meringis kesakitan memegang keningnya. Sebuah benda jatuh di atas kepalanya membuat rasa kantuknya hilang seketika.

"Awh! Siapa yang lempar pot?" tanya Tania kesal tanpa mempedulikan tatapan sekitar.

Gadis itu langsung mendongak dan menemukan tiga orang pria berdiri di atas sana.

"Mampus, itu cewek agresif," ujar Bima.

"Lo bertiga 'kan yang lempar itu?" tanya Tania.

"Gue nggak mau ikut campur urusan ini." Bima angkat tangan.

Tidak ada balasan dari tiga orang di atas sana membuat Tania segera melangkah kesal naik ke atas lantai dua.

Bima sudah memasang wajah takut, takut bakal ditampol lagi. Nico menunjukkan ekspresi bingung sedangkan Aldo menunjukkan ekspresi ketenangan.

Saat mereka melihat Tania berjalan mendekat. Bima refleks menyembunyikan wajahnya di belakang tubuh Aldo.

"Kalian!" Tania menunjuk tiga orang di depannya.

Aldo menatap telunjuk yang terbungkus hansaplast.

"Kalian 'kan yang lemparin pot ke kepala gue? Kalian tahu nggak sih sakitnya kening gue kayak gimana?" tanya Tania.

Ketika Bima dan Aldo memilih diam karena sudah tahu apa yang akan terjadi jika menjawabnya, lain halnya dengan Nico yang berani angkat suara.

"Bu-bukan."

"Bohong!" elak Tania. "Kalian pikir gue bodoh? Terus yang lempar itu hantu?"

Nico meneguk ludah. Ikut bersembunyi di belakang tubuh Aldo ketika Tania mulai menatap nyalang.

Sekarang giliran Tania menatap Aldo tajam. "Lo balas dendam sama gue?" Tania menunjuk dirinya.

Aldo mengerutkan kening.

"Nggak usah ngelak, deh. Gue tahu lo nggak suka sama gue karena gue yang berhasil dapetin tas pink itu!"

Ucapan Tania mampu membuat mata Bima dan Nico membola. "Lo beli tas cewek?" tanya Nico.

"Warna pink?" timpal Bima.

Aldo berdecak sebal. "Dengar ya, pot itu jatuh sendiri. Bukan karena gue dan teman-teman gue. Paham?" jelas Aldo.

"Bohong!" elak Tania.

Aldo tidak habis pikir. Ada kali ya spesies manusia versi Tania. Dia mendengus kesal. "Terserah lo percaya atau nggak!" ujar Aldo seraya berjalan pergi.

Tania menatap terkejut. "Woy, lo mau ke mana?" teriak Tania mengikuti arah punggung Aldo yang berjalan menjauh.

Sebelum gadis itu pergi menyusul langkah Aldo, dia terlebih dahulu memberikan tatapan tajam pada Bima dan Nico sebagai peringatan.

Nico bergidik ngeri saat Tania melangkah pergi. "Gila, serem, ya."

"Lebih serem dari hantu dan lebih agresif dari macan," timpal Bima.

...******...

Aldo tidak akan meladeni teriakan Tania yang menjadi pusat perhatian. Pria itu memilih menuruni undakan anak tangga seraya menulikan indra pendengaran.

"Eh! Aldo!"

"Aldo, tunggu! Lo harus tanggung jawab!"

Tania terus mengejar derap langkah panjang Aldo walaupun dia sedikit kesusahan dan pria itu terus mengabaikan.

"Aldo! Ish!"

Tania berhasil menangkap lengan Aldo dan membuat pria itu balik badan juga menatapnya jengkel.

"Nggak usah modus lo!" ujar Aldo melirik tangan Tania yang menggenggam lengannya. Sontak, Tania segera melepas genggaman itu.

"Lo harus tanggung jawab!"

Aldo menghela napas. "Tanggung jawab apa? Gue nggak berbuat apa pun."

Tania menunjuk keningnya yang merah. "Gara-gara lo jatuhin pot dan kena kening gue!"

"Udah gue bilang, itu bukan karena gue!"

"Lo itu sebagai cowok harus bertanggung jawab! Ini semua itu gara-gara lo, seandainya lo—"

Ucapan Tania terpotong saat dia merasakan sesuatu mengelus keningnya. Ternyata Aldo lebih memilih melakukan hal ini supaya Tania tidak terus bercerocos tidak jelas.

Tania menatap cengo. Kenapa tiba-tiba dia jadi deg-degan ketika keningnya diusap Aldo?

"Udah, 'kan?" Aldo menurunkan tangannya. "Ini bukan karena gue, jadi lo nggak usah modus gini supaya gue bisa kayak gini ke lo. Paham?"

Tania mengedipkan matanya dua kali. Menatap punggung Aldo yang kian menjauh. Seketika dia mulai sadar akan apa yang terjadi.

"Dasar cowok gila!"

Tanpa Aldo dan Tania ketahui ternyata ada Bima dan Nico yang berdiri tak jauh dari mereka. Mereka sama-sama membuka mulut karena terkejut dengan apa yang dilakukan seorang Aldo.

"Waduh, gimana kalau Jean tahu?" ujar Bima.

Nico angkat tangan. "Gue nggak ikutan juga."

...******...

Tania kesal setengah mati. Dia berjalan menuju kantin untuk menyusul teman-temannya. Sepanjang perjalanan dia terus menggerutu hingga saat tiba di samping Amanda dia segera meminum jus milik Nabilla.

"Itu punya gue!" pekik Nabilla.

Tania meletakkannya kembali secara kasar.

Amanda melirik Tania. Lebih tepatnya kening gadis itu. "Kenapa kening lo?"

Tania mendengus kesal. Menatap dua temannya bergantian. "Kalian tahu, nggak? Gue 'kan keluar kelas, habis itu ada cowok yang lemparin gue pot," jelas Tania sangat excited.

Sontak, Amanda dan Nabilla tertawa renyah. Tania mengerutkan kening, kenapa coba mereka tertawa.

"Serius lo?" tanya Amanda.

"Lo pikir raut gue yang cantik jelita ini bohong?" tanya Tania menunjuk area wajahnya.

"Terus, lo beresin nggak pot yang jatuh itu?" tanya Nabilla.

Tania berpaling kesal. "Enggaklah, orang bukan karena gue."

Amanda dan Nabilla masih tertawa renyah. Mungkin mereka akan lebih bahagia jika melihat langsung bagaimana Tania kejatuhan pot tanaman. Sungguh hal yang mengesankan.

"Kayaknya lihat ekspresi langsung lucu, ya, Bil?" tanya Amanda.

"Iyalah, humor banget," timpal Nabilla.

Tania mendengus kesal. Bukannya membantunya meredakan amarah, kedua temannya ini justru semakin membuatnya marah. "Udah deh, kenapa kalian ketawa nggak jelas gitu?"

"Karena garis merah di jidat lo ini cocok kayak pendeta India, lho," ujar Amanda disusul gelak tawa dari Nabilla.

Tania mengentakkan kakinya kesal. "Ish! Nyebelin!"

Mereka akhirnya menghentikan tawa saat dirasa Tania sudah cukup menderita.

"Ngomong-ngomong, siapa yang jatuhin pot itu?" tanya Amanda.

Tania menoleh pada Amanda. Dan tepatnya, dia menemukan orang yang telah menjatuhkan pot padanya dan dengan beraninya mengusap kening mulusnya.

"Itu!"

Amanda dan Nabilla segera mengikuti arah telunjuk Tania. Seketika mata Amanda dan Nabilla membola karena itu adalah Aldo, Bima, dan Nico. Salah satu di antara mereka adalah orang yang paling disegani.

"Serius?" tanya Nabilla. Dia menoleh tidak percaya pada Tania.

"Iya, yang di tengah itu," ujar Tania.

"Lo tahu nggak sih itu siapa?" tanya Nabilla.

"Orang yang jatuhin gue pot," ujar Tania.

Nabilla menepuk jidatnya dan berdecak sebal. "Dia itu Aldo dan teman-temannya. Dan lo tahu? Dia itu yang bakal jadi ketua OSIS selanjutnya gantiin kak Kevin," jelas Nabilla excited.

Tania diam sejenak. OSIS? Seketika dia seperti terlempar pada dimensi waktu. Dia ingat kemarin membaca nama Aldo yang tertera pada sebuah formulir dan Kevin memberikan tumpukan kertas pada Aldo. Mungkin apa yang dikatakan Nabilla benar adanya, hanya saja sebelumnya Tania tidak terlalu peduli.

"OSIS?" ulang Tania.

Amanda berdecak sebal. "Iya. Lo nggak tahu?"

Tania menggeleng dengan mata kosong lalu menatap Aldo dengan mata tajam. Pria itu sedang membeli minuman bersama teman-temannya. "Gue nggak yakin kalau dia bakal jadi ketua OSIS."

Nabilla menyuap makanannya. "Gue sih yakin, secara dia itu kebanggaan guru. Dan siapa yang nggak suka sama Aldo? Cowok baik, pintar, cool, idaman, 'kan?"

"Pret!" cibir Tania.

Amanda menghela napas dan mendorong piring kosongnya. "Terserah lo aja, Tan."

Tania menatap kedua temannya. "Kalian mau ke mana?"

"Ke kelas, udah mau bel," jawab Amanda.

"Lho, 'kan gue belum makan," protes Tania.

"Siapa suruh tidur," cibir Amanda. "Ayo, Bil."

Tania menatap kedua temannya yang berjalan menjauh. Memang ya, tidak ada yang bisa membuat hatinya menjadi lebih baik selain Kevin.

"Ih, nyebelin!"

...******...

Sedari tadi Bima dan Nico tidak ada henti-hentinya menanyai Aldo pasal dia yang telah mengusap kening Tania. Dari kantin sampai sekarang mereka ke ruang OSIS, tak henti-hentinya mereka bertanya pada Aldo bak rel kereta.

"Do, lo tadi ngelakuin hal yang enggak gue kira. Gue pikir lo cuman ngelakuin itu sama Jean, ternyata?" Bima meminta penjelasan pada Aldo.

"Dan lo tahu, Do? Cewek kalau udah dikayak gituin pasti baper. Lo ngusap keningnya dia, pasti dia baper sama lo. Lo mau tanggung jawab perasaan dia?" timpal Nico.

"Ngusap kening siapa?" tanya Kevin menyeletuk.

Bima dan Nico sontak menatap Kevin karena pria itu tahu-tahu menyeruak dalam pembicaraan.

"Enggak, jangan ladenin mereka," ujar Aldo.

Kevin mengangguk-angguk paham. "Gue udah izinin lo sama pembina, jadi lo bisa langsung cabut saat pulang nanti," ujar Kevin.

Aldo tersenyum. "Thanks, Kak."

"Iya udah kalian masuk ke kelas sana. Udah bel," pinta Kevin.

Aldo, Bima, dan Nico segera keluar dari ruang OSIS dan berjalan menuju kelas mereka. Dan selama perjalanan itu pula kepala Aldo mendadak pusing karena Bima dan Nico terus bertanya pasal yang tadi.

"Lo belum jawab, itu yang lo lakuin secara insting atau apa?" tanya Bima.

Aldo mendengus kesal. "Udah lupain aja!" tekan Aldo.

"Ya enggak—"

"Lupakan atau nanti malam kalian berdua nggak boleh nginep di rumah gue!" ancam Aldo membuat Bima dan Nico seketika langsung kicep.

Aldo beranjak naik ke atas tangga sedangkan Bima dan Nico bertukar pandang.

"Nyebelin ya dia," ujar Bima.

"Enggak, lo yang nyebelin," ujar Nico.

Bima mendengus kesal.

...******...

Tania memilih izin ke ruang UKS saat pelajaran kembali dimulai. Karena sewaktu istirahat dia tidak makan, maka sekarang dia tidak memiliki energi di dalam tubuhnya. Sedari tadi dia terus memegangi perutnya yang terus keroncongan.

"Aduh cacing, bisa diem nggak sih?" tanya Tania.

Gadis itu mengembuskan napas kasar lalu membuka pintu UKS. Saat membukanya seseorang balik badan membuat Tania terkejut.

"Kak Kevin?" lirih Tania berjalan mendekat.

"Kenapa? Ada yang luka lagi?" tanya Kevin seraya terkekeh geli.

Alih-alih menjawab, Tania justru bertanya. "Kak Kevin ngapain?"

"Gue tadi habis minta vitamin," jawab Kevin.

Tania duduk di atas kasur brankar membuat Kevin memperhatikan wajah gadis itu lekat. Bibir Tania pucat, wajahnya lesu, dan sepetinya tidak ada stamina di dalam tubuhnya.

"Lo kenapa?" tanya Kevin.

Tania memegang perutnya. "Laper," ringis Tania.

Kevin terkekeh geli seraya menggelengkan kepala. Dia mengambil roti di sebuah etalase kecil.

"Kok Kakak ketawa, sih?" tanya Tania kesal.

"Siapa yang nggak bakal kesel dan ketawa lihat tingkah lo, coba?" ujar Kevin. "Gue pikir lo sakit, ternyata laper." Kevin membuka bungkus roti lalu memberikannya pada Tania.

Tania menatap roti tersebut.

"Ini aman, nggak ada racun," ujar Kevin seolah paham maksud dari tatapan Tania.

Tania menerimanya lalu menggigit kecil. Kevin mengambil kursi lalu duduk di depan Tania.

"Lo belum makan?"

Tania menggeleng. "Belum."

"Kenapa?"

Tania menelan rotinya. "Semalam gue bangun jam 2 pagi biar nggak telat lagi datang ke sekolah."

"Apa?" Siapa yang tidak kaget mendengar pernyataan seperti itu? Siapa pun itu pasti akan kaget dan tidak menyangka, salah satunya Kevin. "Bangun sepagi itu?" tanya Kevin.

Tania mengangguk. "Iya."

Kevin menggelengkan kepala. "Tania, Tania. Lo ada-ada aja, ya."

Tania menelan rotinya lalu meminum aqua gelas yang diberikan Kevin.

"Terus lo waktu istirahat tidur dan nggak makan?" tebak Kevin.

Tania mengacungkan jempol.

Kevin tidak habis pikir dengan tingkah tetangganya yang satu ini. Dia bangkit berdiri. "Iya udah, gue ke kelas dulu."

"Lho, kok cepetan?"

"Kalau lama-lama nanti ada setan."

Tania menatap cengo. Dia menatap punggung Kevin yang menghilang dari balik pintu. Dia masih memikirkan kalimat terakhir dari ucapan Kevin tadi.

"Setan?"

Lama-lama memikirkan ucapan Kevin membuat dia pusing sendiri. Ah, lagi pula untuk apa juga dipikirkan. Menuh-menuhi isi kepala saja. Lebih baik sekarang dia keluar dari ruang UKS dan menuju kelasnya untuk melanjutkan pelajaran matematika.

...******...

Aktivitas makan di siang hari sudah selesai. Mila dan Jean sama-sama mendorong mangkuk bubur mereka yang sudah kosong lalu meneguk air secara bersamaan.

"Makasih Tante udah nemenin aku makan," ujar Jean.

Mila tersenyum manis. "Sama-sama, cantik."

"Oh iya, aku boleh minta nomor Tante nggak?" tanya Jean. "Yah, tapi hape aku ada di kamar," ujar Jean kecewa.

"Kamu bisa catet nomor kamu di sini," ujar Mila menyodorkan ponselnya.

Jean tersenyum senang. Dia segera mengambil ponsel Mila dan mengetik nomornya di sana. Setelah selesai dia segera memberikannya kepada Mila. "Udah aku miscall ke nomor aku. Makasih ya, Tante."

"Iya, sama-sama. Ayo, tante antar kamu ke kamar. Eh tapi, tante bayar dulu." Mila merogoh tasnya untuk mencari dompet dan segera membayar makanan mereka. Setelah itu dia mengajak Jean.

Jean tersenyum senang. Dia lantas berdiri bersama Mila. Wanita paruh baya itu membantunya berjalan menuju kamarnya. Jean sangat senang bertemu dengan Mila, hatinya menghangat seperti butiran embun.

...******...

"Kalian berapa minggu sekali sih latihan cheers?" tanya Tania kesal. Bagaimana tidak, saat dia memutuskan untuk pulang bersama Amanda dan Nabilla, kedua gadis itu justru harus latihan cheers.

Amanda meritsleting tasnya. "Sebetulnya seminggu dua kali sih, Senin sama Jumat. Tapi gue sama Nabilla inisiatif mau latihan tiap hari," ujar Amanda.

"Yoi, lagian lebih enak di sekolah lho, Tan, daripada di rumah. Kalau di rumah paling 'kan nonton film, tidur, bantuin orang tua. Tapi kalau lo ikut kegiatan di sekolah sampai sore, kegiatannya jauh lebih mengasyikkan," jelas Nabilla.

Tania mendengus kesal, meratapi nasibnya yang begitu malang. "Terus, gue pulang sama siapa?" tanya Tania menatap kedua temannya yang sudah berdiri.

"Minta dianterin aja sama kak Kevin, biasanya juga gitu. Udah ah, ayo, Bil," ujar Amanda.

"Dah, Taniaaa." Nabilla melambaikan satu tangannya sedangkan tangan yang lainnya digandeng Amanda untuk segera pergi.

Tania lagi-lagi mendengus. Sungguh malang nian nasibnya. Dia beranjak berdiri dengan gerakan lemas. Perlahan melangkah keluar kelasnya, melihat kanan kirinya yang sepi. Tania memutuskan berjalan melewati ruang OSIS, barangkali saja dia bisa bertemu Kevin dan pria itu mau berbaik hati padanya untuk mengantarnya pulang.

...******...

Aldo tidak sepenuhnya memenuhi perintah Kevin. Buktinya dia memaksa ingin ke ruang OSIS terlebih dahulu dengan alasan ingin memberikan formulir itu secara langsung. Padahal Nico juga bisa melakukan itu sendiri. Tapi, namanya juga Aldo.

"Lo ngapain sih ikut kita? Lo langsung aja sana ke rumah sakit," ujar Bima saat mereka berjalan ke ruang OSIS.

Aldo menghela napas. "Gue cuman mau lihat aja."

"Lihat apaan? Lihat doang mah enggak penting," ujar Bima.

"Eh tapi, itu penting lho, Bim. Aldo 'kan calon ketua OSIS, jadi dia berhak dong selalu mantau kegiatan," ujar Nico.

Bima mengurut dada. "Terserah kalian aja deh, mentang-mentang kandidat," cibir Bima.

Nico beralih berjalan di sisi Bima dan merangkul pundak pria tubuh gempal itu. "Tenang aja, Bim. Kalau gue sama Aldo terpilih sebagai ketua dan wakil, lo bakal gue angkat langsung sebagai sekretaris," ujar Nico mengiming-imingi.

"Bukannya itu buat kandidat yang enggak kepilih ya nanti?" tanya Bima mengerutkan kening.

"Ya ... lo jadi sekretaris atau bendahara kedua lah," ujar Nico.

Bima menurunkan tangan Nico dari pundaknya. "Kampret!"

Mereka sudah sampai di ruang OSIS. Dan ketika Aldo hendak memutar handle pintu, pintu itu terlebih dahulu terbuka menampakkan sosok Kevin bertubuh jangkung. Kevin bingung menatap ketiganya, terlebih kepada Aldo.

"Lho, bukannya lo langsung ke rumah sakit?" heran Kevin.

"Nih." Aldo menyodorkan formulir. "Gue mau kasih ini langsung sama lo, Kak."

"Ya ampun, Do, kayak nanti nggak bisa dikasih aja. Bukannya Nico juga bisa, ya?" Kevin melirik Nico.

"Lo kayak nggak tahu Aldo aja, Kak. Terlalu cinta sama tanggung jawab dia," ujar Nico.

Kevin menghela napas dan menggaruk satu alisnya. Siapa coba yang tidak kenal dengan Aldo? Sosok laki-laki baik dengan sejuta gelar kehormatannya. Selain dia pintar, dia juga terkenal aktif dalam berorganisasi. Maka jangan pernah heran kalau banyak orang mengklaim Aldo sebagai manusia yang nyaris sempurna. Padahal Aldo sendiri merasa dirinya tidak ada apa-apanya dibanding dengan yang lebih tinggi darinya, contohnya Kevin.

Kevin memegang pundak Aldo. "Makasih karena lo udah mau nepatin tanggung jawab lo," ujar Kevin.

"Santai aja, Kak. Lagian juga itu tugas gue, gue harus ngejalaninnya dong," ujar Aldo.

Kevin tersenyum puas. "Bagus deh," ujar Kevin seraya menepuk-nepuk bahu Aldo. Tanpa sengaja mata Kevin menangkap Tania yang hendak berjalan melewati mereka. "Tania," panggil Kevin dengan mengerutkan kening.

Kalau Aldo sudah menoleh penasaran, maka dengan cepat Bima dan Nico menyembunyikan tubuhnya di belakang Kevin karena merasa takut. Setidaknya bersembunyi di balik tubuh Kevin lebih baik daripada bersembunyi di balik tubuh Aldo.

Kevin mengerutkan kening karena tiba-tiba Bima dan Nico berada di balik tubuhnya. "Kalian berdua kenapa?"

Saat Tania memelototkan mata tajam saat itulah Bima dan Nico menggeleng cepat.

"Enggak, enggak kenapa-napa," ujar Bima.

Kevin mengangguk. "Oh, Tania kenapa?"

Tania menatap cengo. "Kenapa apanya, Kak?"

"Kenapa lewat sini? Jalan pulang 'kan ada di bawah," ujar Kevin.

Ah Tania, segera cari alasan yang tepat sebelum akhirnya kepergok. "Ah, gue cuman lewat aja," ujar Tania.

Kevin mengangkat sebelah alis karena merasa ragu dengan alasan Tania. "Lo mau minta tolong gue buat nganterin lo pulang 'kan karena Amanda dan Nabilla latihan cheers tiap hari?" tebak Kevin.

Tania terkekeh geli. "Iya, Kak Kevin bisa anter gue pulang?" tanya Tania menampakkan puppy eyes-nya.

"Macan kok minta dianterin kancil," celetuk Bima langsung mendapat pelototan dari Tania.

"Apa lo bilang?!" Tania bergerak maju tapi Kevin menghalanginya.

"Tania," tegur Kevin.

Tania mendengus kesal lalu mundur satu langkah.

Aldo menghela napas. Lebih baik dia segera pulang daripada nantinya menyaksikan bagaimana sadisnya mulut Tania. "Gue pulang dulu, ya, Kak."

"Eh, Do," cegah Kevin. "Lo mau ke rumah sakit langsung?"

Aldo mengangguk. "Iya, kenapa emangnya?"

"Gue minta tolong sama lo. Tolong nganterin Tania pulang, ya. Kebetulan itu searah," ujar Kevin.

Sontak Tania segera melotot tajam. "Apa? Kenapa dia? Kenapa nggak Kakak aja?" protes Tania.

"Gue nggak bisa anterin lo pulang," ujar Kevin.

"Kenapa?"

"Karena bentar lagi rapat mulai," ujar Kevin.

"Terus, gue pulang sama dia?" Tania menunjuk Aldo.

Kevin mengangkat bahu. "Terserah, itu sih kalau lo nggak mau ribet-ribet ngeluarin ongkos dan jalan dari gang ke rumah lo," ujar Kevin.

"Gue nggak mau nebeng sama dia!" tekan Tania.

"Lo pikir gue mau ditebengin lo? Dasar agresif," ujar Aldo seraya melangkah pergi membuat Tania menatap tidak percaya.

"Kak," lirih Tania dengan tatapan memohon berharap Kevin yang mengantarkannya pulang.

Kevin menggaruk pelipisnya. "Sorry, gue nggak bisa kali ini, Tan."

Tania menghela napas pasrah.

"Kalau lo mau pulang sama dia mending lo kejar si Aldo," lanjut Kevin. "Gue masuk dulu ke ruangan. Ayo, Bim, Nic."

Tania menatap pasrah Kevin yang memasuki ruang OSIS. Sebelum Bima benar-benar masuk ke ruangan, terlebih dahulu dia mengumpati Tania.

"Mampus! Gue yakin lo akan berakhir dengan jalan kaki."

Tania mendengus. "Ih, awas aja lo! Gue tampol pake sepatu!"

Tania menatap pintu ruangan yang tertutup. Seharusnya dia langsung pulang saja ke rumah, naik angkot tidak apa. Ke sini sama saja dengan dia cari malu.

Tania menghela napas lalu melirik ke bawah. Aldo sudah berjalan di halaman sekolah dan siap masuk ke area parkiran. Tidak ada cara lain bagi Tania, demi bisa pulang sekolah tanpa mengeluarkan ongkos dan berjalan dari gang ke rumahnya adalah dengan menebeng mobil Aldo.

"Aldo, tunggu! Gue ikut!"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!