Ada cowok yang pikirannya masih di zaman batu, yang menganggap seks cuma sekedar kompetisi. Semakin banyak cewek yang ditiduri, maka semakin jantan dia.
Terus ada juga yang menganggap ini cuma sebagai salah satu ajang seleksi. Kalau goyangannya enak, maka mereka bakal jadian.
Ada lagi yang melihat ini cuma buat kesenangan, tanpa perlu ada keterikatan. Ya, melakukannya cuma karena suka. Sudah, begitu saja.
Dan ada juga cowok yang menganggap seks itu sesuatu yang sakral. Sesuatu yang cuma bisa mereka lakukan sama orang yang benar-benar mereka sayangi.
Nah, kalau gue sendiri?
Jujur, gue juga nggak mengerti. Gue bahkan nggak tahu apa arti seks buat gue.
Terus, sekarang gue ada di sini sama Carolline?
Gue baru kenal dia, jadi gue nggak ada niatan buat tidur sama dia. Tapi kalau soal bikin dia puas?
Itu cerita lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ancaman
...Phyton...
...✦•┈๑⋅⋯ ⋯⋅๑┈•✦...
"Dasar bocah brengsek!"
Gelas melayang nabrak dinding, pecah berhamburan di lantai apartemen. Gue reflek mundur sedikit, memperhatikan pecahan kaca yang berkilat di lantai. Badan gue masih gemeteran setelah semua yang terjadi tadi.
"Gue bakal hancurin dia, Phyton. Gue bakal abisin si bang sat itu."
Melvin jalan mondar-mandir, sementara gue diam di tempat, jaga jarak. Gue udah belajar buat gak dekat-dekat kalau dia lagi seperti gini. Hasilnya gak pernah bagus.
"Lo harus bersihin luka lo dulu," gue coba alihkan perhatian dia. Gue takut apa yang bakal dia lakuin ke Asta.
"Enggak. Enggak."
Senyuman miring muncul di wajahnya, dan itu bikin bulu kuduk gue meremang.
"Gue bakal laporin dia, Phyton. Dia yang mukul duluan, dan lihat nih muka gue sekarang? Ini masuk penganiayaan. Gue yakin ada saksi di kampus."
Dia ketawa, suara ketawanya memantul di seluruh ruangan. Bikin perut gue mual.
"Lo bisa bayangin malunya keluarga besar dia? Nama mereka terkenal. Gue bakal pastiin berita ini nyebar ke media."
Gue merasa mau muntah. Enggak. Dia gak bisa ngelakuin ini ke Asta.
Melvin masuk ke kamarnya sebentar, terus balik lagi sambil megang HP.
Melvin keluarkan HP, layarnya masih nyala dari tadi.
"Ayo, kita ke kantor polisi. Lo bakal jadi saksi gue."
Dia jalan ke pintu, tapi gue gak ikut. "Enggak."
Melvin berhenti. Sekarang dia memperhatikan gue, matanya menyipit, ekspresinya berubah.
"Apa?"
"Gue gak bakal ikut lo. Gue gak bakal jadi saksi lo."
"Phyton, gue gak nyuruh lo buat bohong. Lo cuma tinggal bilang yang benar, dia mukul gue duluan. Itu aja."
"Enggak. Lo juga gak bakal laporin dia."
Suara gue goyah, tapi pas tatapan penuh amarah Asta muncul di kepala gue, tatapan kecewa pas gue ninggalin dia, gue dapat keberanian buat terus ngomong. Asta cuma mau bantu gue, mungkin caranya salah karena kekerasan bukan jawaban, tapi dia tetep berusaha. Dia lawan Melvin buat gue.
"Lo barusan ngomong apa?"
Melvin maju, amarahnya kebaca jelas dari sorot matanya. Gue tau ini bakal berakhir buruk buat gue. Gue tau ini bakal nyakitin. Tapi satu hal yang pasti, gue bisa terima kalau gue yang harus nanggung sakitnya, tapi gue gak bakal biarin Asta kena akibat dari semua ini.
"Lo gak bakal laporin dia, Melvin."
"Oh ya?" Nada suaranya berubah, sekarang dingin, penuh ancaman. "Dan lo pikir bisa ngelarang gue?"
Rasa 5akut mencengkeram dada gue, tapi gue tahan. Gue gak bisa mundur sekarang.
"Kalau lo laporin dia," gue tarik napas, merasakan detak jantung gue di telinga, lalu akhirnya keluarkan kata-kata itu, "gue bakal laporin lo juga."
Jelas.
Tegas.
Tanpa ragu.
Melvin kerutkan alis, jelas banget dia bingung. Dia gak nyangka gue bakal ngomong seperti itu. Gue sendiri juga gak nyangka. Tapi pas gue beneran ngucapin kata-kata itu, rasanya ada sesuatu yang terbuka di dalam diri gue.
Ini pertama kalinya gue benaran mengakui kalau ada sesuatu yang salah di hubungan kami. Kalau ada sesuatu yang layak buat dilaporin.
"Lo barusan bilang apa?"
Dia bukan marah, bukan teriak, cuma memperhatikan gue.
"Lo dengar sendiri," jawab gue, nada suara gue lebih stabil dari yang gue kira. "Gue sumpah, Melvin, kalau lo laporin Asta, kalau lo nyoba ngelakuin sesuatu ke dia… gue bakal ke polisi. Dan lo gak bakal pernah lihat gue lagi."
Melvin diam, terus suaranya jadi lebih lembut.
"Phyton, gak ada yang perlu dilaporin, lo tau itu. Kita cuma berantem biasa, semua pasangan ngalamin ini. Gue kira kita udah ngerti satu sama lain."
"Lihat diri lo sendiri," gue tunjuk ke arahnya. "Lo bilang Asta nyerang lo? Lo sendiri udah sering ninggalin gue seperti ini. Lo sendiri tadi bilang itu penganiayaan, kan? Itu baru disebut kekerasan kalau yang kena lo?"
Gue tunjuk luka di bibir gue.
"Phyton…"
Melvin maju, tangannya menyentuh pipi gue dengan lembut.
"Malam ini berat. Asta emang nyerang gue, tapi lo benar, ini gak sepadan."
Dia senyum kecil.
"Maaf ya, gue bikin lo susah."
Gue gak punya tenaga buat lawan lagi. Jadi gue diam, bantu dia bersihin lukanya.
Habis itu, Melvin balik jadi seperti biasa. Dia bercanda, masakin makanan favorit gue, bahkan batalin siaran live-nya buat nemenin gue. Pas kita tidur, dia meluk gue dari belakang. Gue biarin. Gue capek, hati gue seperti abis dijadiin samsak.
Tapi ada satu hal yang baru gue sadar malam ini.
Tadi, pas gue ancam bakal ke polisi, gue kira dia bakal ngamuk. Gue siap-siap buat diteriakin, bahkan dipukul. Tapi dia malah nyerah begitu aja. Terus dia baik ke gue, dia manis, dia bikin gue merasa, Melvin nyerah bukan karena gue salah. Tapi karena dia tahu gue benar.
Karena emang ada sesuatu yang salah di hubungan ini. Karena dia sendiri yang ngejelasin hari ini apa itu kekerasan.
Gue lihat diri gue di cermin, muka babak belur, lebam di mana-mana. Itu bukan sesuatu yang terjadi di setiap hubungan, seperti yang dia selalu bilang. Itu gak normal. Dan itu salah.
Ada sesuatu di dalam dada gue yang rasanya retak, sakit banget. Karena di sini, dalam pelukan dia yang harusnya hangat dan nyaman, gue gak lagi merasa aman. Air mata mulai ngalir ke samping, diam-diam, gak bisa gue tahan.
Dan dalam kepala gue, hampir bisa gue lihat nyokap. Dia lagi di dapur, nyiapin kopi, senyum ke arah gue, tahun-tahun lalu, pas gue pertama kali bilang ke dia kalau gue suka sama cowok.
..."Mama benaran gak masalah?"
Nyokap naruh secangkir kopi di depan gue.
"Yang mama peduliin cuma satu, kamu nemuin seseorang yang sayang dan hargain kamu. Bukankah itu yang penting dalam cinta, Phyton? Mau cowok atau cewek, itu gak masalah. Selama dia bikin kamu bahagia, itu satu-satunya yang mama butuhin."
Gue jilat bibir, nahan sesenggukan yang mulai naik.
"Maaf, Ma. Phyton gak tahu gimana bisa sampai di titik ini. Dan Phyton juga gak tahu gimana cara keluar."
cobalah utk hidup normal phyton
𝚜𝚊𝚕𝚞𝚝 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊,𝚠𝚊𝚕𝚊𝚞𝚙𝚞𝚗 𝚖𝚊𝚕𝚟𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊 𝚝𝚊𝚙𝚒 𝚍𝚒𝚊 𝚝𝚍𝚔 𝚋𝚎𝚕𝚊𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊,𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 𝚖𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚗𝚐𝚎𝚍𝚞𝚔𝚞𝚗𝚐 𝚙𝚑𝚢𝚝𝚘𝚗