Airilia hidup dalam keterbatasan bersama ibunya, Sumi, yang bekerja sebagai buruh cuci. Ayahnya meninggal sejak ia berusia satu minggu. Ia memiliki kakak bernama Aluna, seorang mahasiswa di Banjar.
Suatu hari, Airilia terkejut mengetahui ibunya menderita kanker darah. Bingung mencari uang untuk biaya pengobatan, ia pergi ke Banjar menemui Aluna. Namun, bukannya membantu, Aluna justru mengungkap rahasia mengejutkan—Airilia bukan adik kandungnya.
"Kamu anak dari perempuan yang merebut ayahku!" ujar Aluna dingin.
Ia menuntut Airilia membiayai pengobatan Sumi sebagai balas budi, meninggalkan Airilia dalam keterpurukan dan kebingungan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irla26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34. Andira Kabur
Sudah tiga hari Hasan dan Badariah tidak menjenguk Airilia karena mereka sibuk membuat aneka macam kue. Meski baru tiga hari berjualan, kue buatan Badariah sudah banyak disukai warga sekitar, terutama anak-anak.
"Dek, hari ini kamu saja yang menjenguk Airilia, biar aku yang mengantarkan kue ke warung," ujar Hasan sambil merapikan beberapa kotak kue.
Badariah tersenyum kecil dan mengangguk. Meskipun keuntungan yang mereka peroleh masih kecil, ia tetap bersyukur. Yang terpenting, mereka bisa memenuhi kebutuhan tanpa harus menggunakan tabungan milik Airilia.
Setibanya di rumah sakit, Badariah segera menghampiri seorang perawat.
"Permisi, saya bibi dari Airilia. Apa boleh saya menjenguknya?" tanyanya sopan.
"Tunggu sebentar, saya akan membawakan Airilia ke sini," jawab perawat itu.
Beberapa menit kemudian, dokter Zara keluar bersama Airilia. Badariah merasa lega bisa melihat keponakannya, meskipun kondisi Airilia belum banyak berubah.
"Dok, bagaimana perkembangan Airilia?" tanyanya sambil membelai rambut gadis kecil itu.
"Alhamdulillah, Airilia mau menjalani terapi dan kondisinya perlahan membaik. Tapi, sampai sekarang dia masih belum mau banyak bicara dengan saya," jawab dokter Zara.
"Mungkin dia hanya butuh waktu," ujar Badariah mencoba berpikir positif.
Dokter Zara mengangguk kecil. Namun, sebelum sempat melanjutkan percakapan, ponselnya bergetar. Ia melihat pesan yang masuk, lalu buru-buru meminta izin.
"Maaf, saya harus pergi sebentar. Ada hal penting yang harus saya urus."
Badariah mengangguk, lalu menatap Airilia di sampingnya.
"Lia, bagaimana kabarmu? Maaf ya, paman tidak bisa ikut menjenguk karena harus mengantarkan kue. Oh iya, bibi bawakan donat buat kamu."
Badariah membuka kotak berisi donat dengan berbagai rasa—cokelat, kacang, keju, dan stroberi.
"Terima kasih," ucap Airilia pelan.
Mata Badariah langsung berkaca-kaca. Ini pertama kalinya Airilia meresponsnya dengan kata-kata sejak kejadian itu. Dengan penuh haru, ia langsung memeluk gadis kecil itu.
Sambil menikmati donatnya, Badariah mulai menceritakan kisah Abu Nawas. Hampir satu jam mereka menghabiskan waktu bersama. Namun, karena waktu menjenguk sudah habis, Badariah pun harus pamit pulang.
Sesampainya di rumah, Badariah melihat suaminya sedang mencuci piring dan membersihkan meja makan.
"Mas, biar aku saja yang mencuci piringnya," ujarnya sambil berusaha mengambil piring kotor, namun Hasan segera mencegahnya.
"Nggak usah, sebentar lagi juga selesai. Kamu baru pulang, bagaimana kabar Airilia?"
"Alhamdulillah, ada kemajuan," jawab Badariah dengan senyum lega.
"Syukurlah, aku senang mendengarnya. Oh iya, ini uang hasil penjualan kemarin," ujar Hasan sambil meletakkan beberapa lembar uang di atas meja.
"Sudah dihitung?"
"Sudah. Totalnya sekitar tiga ratus ribu rupiah."
Badariah mengangguk, lalu memasukkan uang itu ke dalam dompetnya.
"Mas, besok aku mau ke pasar beli bahan buat kue."
"Biar aku saja yang ke pasar, kamu tunggu di rumah."
"Kenapa?"
"Aku takut kamu tersesat. Nanti tuliskan saja bahan-bahan yang ingin dibeli."
Badariah tersenyum kecil dan mengangguk. Ia pun segera mengambil kertas dan pensil.
---
Tiga hari berlalu sejak kejadian itu, Andira belum juga pulang ke rumah. Ia memilih menginap di apartemen pribadinya—tempat yang bahkan tidak diketahui oleh Rakha. Selama itu pula, ia berkali-kali melihat panggilan dan pesan dari Rehan dan Dinda yang menanyakan kabarnya serta memintanya pulang. Namun, satu hal yang membuatnya perih, suaminya sendiri, Rakha, tidak pernah sekalipun bertanya ataupun meminta maaf.
Sambil menatap layar ponsel, Andira termenung. Namun, lamunannya buyar ketika ponselnya tiba-tiba berdering. Ia melihat nama ayahnya, Dion, muncul di layar.
Mau tak mau, ia pun mengangkat panggilan itu.
"Halo, ada apa, Yah?" tanyanya pelan.
"Kamu di mana?" suara Dion terdengar tegas.
"Aku... sedang sibuk, Yah."
Terdengar helaan napas berat dari seberang telepon.
"Cepat selesaikan urusanmu dan temui Ayah di kantor. Ada yang ingin Ayah bicarakan. Jangan lama!"
Belum sempat Andira menjawab, panggilan sudah terputus.
"Ayah benar, aku harus menyelesaikan urusanku," batin Andira. Ia pun bergegas pergi menggunakan mobilnya.
Perjalanan hampir tiga jam terasa begitu panjang. Akhirnya, ia sampai di pemakaman umum di kampung halaman Sento. Sudah lama ia ingin berziarah, namun sejak menikah lagi, ia tak pernah punya keberanian untuk datang.
"Mas, aku kangen... Maafkan aku, aku belum sempat datang ke sini," batinnya lirih sambil menaburkan bunga di atas makam Sento.
"Mas, apa aku salah jika belum bisa menerima kepergianmu? Aku juga rindu pada putri kita. Aku akan ke rumah Mbak Sumi untuk menemuinya."
Air mata mulai mengalir di pipinya. Ketika hendak pergi, matanya tak sengaja melirik makam di sebelah makam Sento.
Nama yang terukir di batu nisan itu membuatnya terkejut. Ia buru-buru menghapus air matanya, takut salah lihat.
Namun, meskipun sudah berkali-kali mengusap matanya, nama itu tetap sama.
"Ini... nggak mungkin..." suaranya bergetar.
Makam itu bertuliskan nama Sumi.
Andira berdiri kaku.
"Aku harus ke rumah Mbak Sumi. Ini pasti hanya kesalahpahaman!"
Dengan panik, ia segera berlari menuju mobilnya dan melaju menuju rumah Sumi. Namun, setibanya di sana, hatinya semakin mencelos.
Rumah itu tampak kosong. Pintu terkunci, halaman dipenuhi rumput liar, dan suasana begitu sunyi.
Tiba-tiba, suara seseorang menyapanya.
"Permisi, cari siapa?"
Andira berbalik dan mendapati seorang wanita yang dikenalnya—Asih.
"Mbak Asih!" serunya dengan suara serak.
"Mbak Andira?"
"Iya, ini aku. Mbak, di mana Mbak Sumi? Kenapa rumahnya terkunci?"
Asih mengajak Andira masuk ke rumahnya dan menyuguhkan teh hangat.
"Minum dulu, Mbak. Saya akan ceritakan semuanya."
Andira mengangguk dan meminum tehnya.
"Mbak Sumi sudah meninggal dunia," ujar Asih lirih.
Andira terdiam. Air matanya langsung jatuh.
"Kapan...?"
"Sekitar sebulan yang lalu."
"Lalu, di mana Aluna dan Airilia sekarang?"
"Aluna sudah menikah. Mungkin ikut suaminya. Tapi Airilia... saya tidak tahu di mana dia sekarang."
Tangis Andira semakin pecah.
"Bagaimana aku bisa menemukan putriku? Aku bahkan tak punya satu pun fotonya..."
Asih terdiam. Ia pun tak tahu harus menjawab apa.
---
Bersambung...