"Rahasia di Antara Kita" mengisahkan tentang seorang suami yang merasa bahagia dengan pernikahannya, namun kedatangan sahabat masa kecilnya yang masih memiliki ikatan emosional kuat membuat situasi menjadi rumit. Sahabat masa kecilnya itu mulai mendekatinya dengan cara yang tidak biasa, membuat suami tersebut merasa tidak nyaman. Sementara itu, istrinya yang selalu menuntut uang dan perhatian membuatnya merasa terjebak dalam pernikahannya. Bagaimana suami tersebut akan menghadapi situasi ini? Dan apa yang akan terjadi jika rahasia sahabat masa kecilnya dan perasaannya terungkap?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Arip, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Dengan gerakan cepat, aku merebut ponselku dari tangan Sarah, membuat wanita di hadapanku terkejut. Ia mengerutkan dahi dengan tatapan matanya yang terlihat bingung dan bibirnya yang terkatup. "Kenapa? Mas."
"Tidak apa-apa, aku harus siap-siap dulu karena ada meeting di kantor."
Masuk ke dalam kamar mandi, aku malah merenung dengan pikiran yang berputar-putar. "Bodoh, apa yang aku lakukan, akan membuat Sarah curiga." Sampai seketika aku terkejut dengan teriakan istriku yang memecahkan keheningan. "Airnya nyalakan, mas."
Segera mungkin aku menyalakan air keran, membuat suasana terasa ramai dengan suara percikan air yang menghantam dinding kamar mandi.
Keluar dari kamar mandi, sosok Sarah masih ada di balik pintu lemari. Ia sedang mempersiapkan bajuku. "Tumben banget, mandi bawa hp, ada apa?" Pertanyaan Sarah membuat aku diam, kuletakkan ponsel yang baru saja aku hapus pesannya sebagian.
"Oh, itu. Ingin saja." Singkat saja, tanpa banyak basa-basi, seperti Sarah yang selalu begitu padaku. "Ya, sudah. Ini bajunya, oh ya sarapan sudah aku siapkan."
Sarah meletakkan baju di atas kasur, di mana aku mulai memakainya satu persatu. Wanita itu masih sibuk dengan dasiku. "Sini." Tumben sekali Sarah memakaikan dasi untukku, biasanya dia selalu cuek. "Hari ini aku nggak sarapan di rumah, kamu sama anak-anak saja, soalnya telat nih." Mata Sarah membulat, penuh tanda tanya. Dengan tangannya yang masih memasang dasi di leherku, Sarah menghindar sedikit, aku tersenyum dan mengecup bibirnya, berpamitan untuk pergi ke kantor.
Melangkahkan kaki keluar dari rumah, melihat mobil hitam berlogo yang familiar masih terparkir di halaman rumah. Aku menekan tombol remote untuk membuka pintu mobil, lalu duduk dengan rasa nyaman di jok kulit yang empuk.
Rasanya aku begitu bersemangat di pagi hari ini, sampai-sampai berulang kali aku melihat pada cermin di mobil, wajahku bersinar dengan senyum lebar. Apa karena pesan dari Lidya, atau perhatiannya. Batinku mulai tergoda akan hal-hal yang menyangkut Lidya, wanita cantik dengan rambut panjang coklat keemasan, mata hijau yang tajam, dan senyum manis yang bisa membuatku terpesona. Berbeda dengan Sarah, istriku yang memiliki rambut hitam pendek dan mata coklat yang hangat, Lidya memiliki aura yang berbeda, lebih muda dan lebih dinamis.
Berhenti di depan rumah Lidya, aku melihat wanita itu berdiri melambaikan tangan kepadaku. Dan apa yang aku pikirkan, entah mengapa aku memutar jalan hanya untuk menjemput Lidya, padahal jarak rumah Lidya dan aku menuju kantor berbeda arah dan jalan, jika pun harus berangkat bersamaan rasanya tak mungkin... Dan entah kenapa hal ini bisa-bisanya aku lakukan saat ini.
Setelah menurunkan kaca mobil, aku melihat Lidya tersenyum bahagia dengan kedatanganku. Dia menunjukkan kotak makan yang berisi makanan lezat dan bertanya, "Boleh aku masuk?'' Aku langsung mengangguk setuju dan membukakan pintu untuknya.
Momen ini terasa sangat manis, Lidya duduk di sebelahku dan meletakkan makanan di pangkuannya.
Aku tidak sadar Lidya memakai rok mini yang ketat, membuat aku berusaha mengalihkan pandangan. Ketika aku melirik kembali, Lidya membuka kotak makan itu dan aroma masakan yang lezat tercium menyebar.
Perutku yang kosong membuat aku melirik jelas ke arah kotak makan. Lidya menyodorkan kotak itu, menyendoki makanan, dan menyuapiku. Aku terdiam sejenak, lalu Lidya menyuruhku, ''Buka mulutnya.'' Dia kembali mempelihatkan senyumannya. Hingga aku pasrah dalam suapannya. ''Gimana rasanya?'' Setiap kunyahan rasanya begitu enak, tak kusangka masakan Lidya masih sama seperti dulu, masakan yang diajarkan ibuku dulu padanya. Aku mengangguk kepala, sembari mengunyah makanan di mulutku.
Mengendarai mobil dengan Lidya di sebelahku, suapan manisnya seperti tarian lidah yang membangkitkan selera. Setiap gigitan makanan yang lezat membuatku merasa seperti di surga. Lidya tersenyum lebar, menunjukkan jempol tangannya, dan aku tidak bisa tidak tersenyum kembali. Perjalanan menuju kantor menjadi lebih menyenangkan dengan Lidya di sampingku, menyuapiku dengan makanan yang lezat.
"Sampai di depan kantor, kami mulai turun bersamaan. ''Oh ya, nanti malam kita pergi ke cafe. Sudah lama kita nggak hangout bareng.'' Baru saja masuk, Lidya sudah mengajakkku makan malam.
''Gimana, Ren?' tanya Lidya kembali. Aku tak bisa menolak tatapan matanya yang manis, hanya mengiyakan begitu saja. Aku terpesona dengan senyumnya yang lembut. ''Oke.''
Lidya sangat membantu di kantor, terutama saat meeting dengan klien. Ia berhasil membuat klien tertarik untuk berinvestasi di perusahaan.
Kamu hebat, Lidya. Aku tak menyangka. Lidya tersenyum dengan pujianku, ia menundukkan wajah, membuat aku memegang dagunya. Perlahan ku angkat dagu lembut miliknya. Pipi Lidya memerah, membuatku semakin terpikat. Tiba kami saling bertatapan, wajah kami terasa semakin dekat. Hingga suara ponsel terdengar keras. ''Ah. Maaf.''Aku sedikit menjauh dari hadapan Lidya, mengambil ponsel dari saku celana, melihat pada layar, siapa yang menelepon.
Aku terkejut melihat nama Sarah di layar ponselku. Sarah jarang meneleponku di jam kerja. Aku tidak ingin menjawab panggilan itu karena aku tahu apa yang akan terjadi. Lidya memegang bahuku dengan lembut dan bertanya, ''Istri kamu?'' Aku hanya mengangguk. ''Loh kenapa tidak kamu angkat?''
Aku tersenyum kecil dan tidak menjawab. Aku sengaja tidak menjawab panggilan itu dan malah membalas pesannya. Setelah itu, aku mentransfer uang ke rekening Sarah. Pesan dari Sarah muncul lagi, (Mas, kamu pulang kan malam ini?)
Aku membalas singkat, (Tidak. Kamu tak usah menunggu.)
Sarah membalas lagi, (Baiklah. Hati-hati kerjanya.) Setelah uang dikirim, Sarah mengirim beberapa emoji mesra.
Lidya tiba-tiba bertanya, ''Sepertinya rencana kita akan batal ya?''
Aku mengerutkan dahi dan menjawab, 'Kata siapa!' Lidya melihatku dengan penuh harapan. ''Jadi, acara malam ini nggak batal dong?'' Aku menganggukkan kepala, dan Lidya begitu happy. Lidya merangkul lengan tanganku, dan kami berjalan bersamaan, dikelilingi oleh banyak mata yang memandang kami heran.
Kami berjalan menuju cafe yang telah Lidya pilih. Cafe itu memiliki suasana yang sangat nyaman dan santai, dengan musik jazz yang lembut dan pencahayaan yang hangat. Lidya memegang tanganku dan kami duduk di meja yang telah dipesan. Kami memesan makanan dan minuman, dan Lidya mulai bercerita tentang hari-harinya.
Wajah Sarah masih menghantui pikiranku, dan aku mulai membandingkannya dengan Lidya. Rasa sesal mulai memenuhi hatiku, ''Kenapa dulu aku tidak menikah saja dengan Lidya, mungkin aku bahagia.'' Entah kenapa batin mulai merasa seperti itu, entah karena aku nyaman dengan perhatian Lidya.
Saat Lidya sedang bercerita, aku tidak bisa tidak memikirkan tentang perbedaan antara dia dan Sarah. Lidya memiliki kepribadian yang ceria dan positif, sedangkan Sarah lebih suka menuntut dan meminta. Aku mulai merasa bahwa aku telah membuat kesalahan besar dengan menikahi Sarah.
Aku terkejut dengan sentuhan Lidya, menyadarkan dalam sebuah kenyataan seperti kilas balik yang tiba-tiba. Memandangi wajahnya dengan mata yang sedikit terkejut, Lidya seketika menatapku dengan mata yang penuh rasa perhatian, seperti bunga yang mekar di pagi hari.
''Kamu baik-baik sajakan?'' tanyanya lagi, dengan suara yang lembut dan penuh kepedulian, seperti musik yang mengalun di telinga.
Aku tersenyum lembut dan mengangguk, mencoba menyembunyikan kekacauan dalam pikiranku, seperti awan yang menutupi matahari. ''Ya, aku baik-baik saja,'' kataku, sambil memegang tangan Lidya dengan lebih erat, seperti kapal yang berlabuh di pelabuhan yang aman.
Lidya memandangiku dengan mata yang penuh keraguan, tapi dia tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya memegang tanganku dengan lebih erat, dan kami duduk diam sejenak, menikmati kehangatan dan kenyamanan di antara kami, seperti dua orang yang sedang menikmati matahari terbenam di pantai.
Kemudian, Lidya berbicara dengan suara yang lembut, ''Aku merasa bahwa kamu sedang menyembunyikan sesuatu dari aku."
Merasa terkejut dengan kata-kata Lidya, tidak tahu harus menjawab. Aku mencoba untuk tetap tenang dan tidak menunjukkan perasaan yang sebenarnya.
''Tidak, aku tidak menyembunyikan apa-apa,'' kataku, mencoba untuk meyakinkan Lidya.
Sorot mata Lidya seakann tidak percaya. Dia memandangiku dengan mata yang penuh keraguan.
''Aku tahu kamu sedang menyembunyikan sesuatu,'' kata Lidya lagi, dengan suara yang lebih tegas. ''Aku bisa melihatnya dari mata kamu.''
Ada rasa tidak nyaman menyelimuti hati, keraguan untuk menjawab seolah tertutup, oleh perasaanku saat ini.
Namun Lidya mendesakku, hingga akhirnya.