NovelToon NovelToon
NIKAH KONTRAK, CINTA NYATA

NIKAH KONTRAK, CINTA NYATA

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: wiedha saldi sutrisno

ELINA seorang guru TK yang tengah terlilit hutang warisan dari kedua orangtuanya terus terlibat oleh orang tua dari murid didiknya ADRIAN LEONHART, pertolongan demi pertolongan terus ia dapatkan dari lelaki itu, hingga akhirnya ia tidak bisa menolak saat Adrian ingin menikah kontrak dengannya.

Akankah pernikahan tanpa cinta itu bisa berakhir bahagia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 8 : Malam yang Tak Pernah Sepi

Langit malam menjuntai kelam di atas kota. Lampu-lampu jalan menyala temaram, membentuk bayangan panjang yang melintang di trotoar. Elina berdiri di depan cermin kecil ruang rias klub malam itu, mengenakan gaun hitam sederhana yang memperlihatkan sedikit bahunya. Bukan pakaian yang membuatnya nyaman, tapi cukup sopan untuk tidak menyolok dibanding rekan-rekannya yang lain.

Ia menarik napas panjang, mematut dirinya sekali lagi. Bedak tipis menutupi letih yang menghitam di bawah matanya, dan senyum yang dipaksakan mencoba menutup luka yang tak bisa ia ubah. Hatinya masih di TK, pada gelak tawa Claire, pada mata polos anak-anak yang percaya dunia ini penuh pelangi. Tapi kenyataan menampar: tagihan tetap datang, kebutuhan tak bisa ditunda.

Elina melangkah keluar dari ruang ganti, menyusuri lorong menuju lantai utama yang sudah mulai dipenuhi tamu. Musik lembut mengalun dari speaker, dan suara gelas bersulang mengisi udara. Aroma alkohol dan parfum mahal bercampur, menampar ingatannya akan dunia yang sangat berbeda dari ruang kelas kecilnya.

Manajer klub, seorang wanita paruh baya dengan alis tertarik tegas, melambai padanya. "Elina, meja enam. Tamu baru, orang penting. Ramah saja, seperti biasanya."

Elina mengangguk patuh, membenahi senyum palsunya. Meja enam terletak di sudut yang agak teduh, dikelilingi tirai tipis dan lampu gantung bergaya klasik. Di sana duduk dua pria bersetelan mahal, usia mereka mungkin tak jauh dari Adrian. Tapi tidak ada kelembutan di mata mereka, hanya penilaian, hasrat, dan kekuasaan.

Ia menyapa dengan sopan, membungkuk sedikit. "Selamat malam, boleh saya temani sebentar?"

Salah satu pria tertawa kecil. "Tentu saja, cantik. Duduklah. Siapa nama Anda?"

"Elina," jawabnya, tetap menjaga nada bicara tetap hangat namun tak menggoda.

Malam berjalan pelan. Ia mengisi gelas-gelas kosong, mendengarkan lelucon kasar, dan sesekali tertawa meski hatinya kosong. Di balik senyumannya, ia menghitung waktu. Dua jam lagi, lalu ia bisa pulang. Lalu ia bisa melepaskan sepatu tinggi itu, membuka riasan yang menyesakkan, dan kembali menjadi dirinya sendiri, meskipun hanya untuk beberapa jam.

Dan ketika salah satu pria itu menyentuh lengannya sedikit terlalu lama, Elina menarik diri dengan sopan, pura-pura tak paham. Matanya menoleh ke jam dinding, detiknya terasa lambat seperti ingin menyiksanya.

Namun malam belum selesai. Di seberang ruangan, seorang pria dengan jas abu-abu berdiri memperhatikannya. Ia tidak tersenyum. Tidak seperti tamu lain, pria itu hanya menatap, seolah mengenalnya.

Elina merasa dadanya mengencang. Ada sesuatu yang tidak biasa malam ini. Atau... seseorang.

...****************...

Langkah pria itu terayun mantap, tak tergesa namun penuh keyakinan. Jas abu-abunya jatuh rapi mengikuti setiap gerak, seolah ia terbentuk dari dunia yang tertata dan tanpa cela. Matanya, tajam dan tenang, menembus cahaya remang-remang ruangan, memusat pada Elina yang masih berdiri di sisi meja enam.

Elina merasakan dadanya mengencang. Ada aura berbeda dari pria ini. Bukan sekadar pengunjung biasa yang mencari hiburan malam, ia datang membawa maksud. Namun bukan maksud yang mudah ditebak.

Pria itu berhenti hanya beberapa langkah darinya.

"Elina, bukan?" suaranya dalam dan berkarisma, tanpa senyum.

Elina menegakkan tubuh. "Iya. Maaf, kita pernah bertemu?"

Pria itu menatapnya lama sebelum menjawab. "Tidak secara langsung. Tapi aku tahu siapa kamu."

Ada ketegangan menggantung di antara mereka. Pria di meja enam mulai memperhatikan percakapan itu, tapi tak berkata apa-apa. Mungkin karena pria berjas abu-abu itu tampak terlalu berkuasa untuk diusik.

"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya Elina hati-hati. Senyumnya masih terjaga, namun kaku.

"Aku tidak datang untuk dilayani. Aku ingin bicara, hanya sebentar," katanya. "Di tempat yang lebih tenang."

Elina ragu. Instingnya menolak. Tapi sesuatu dalam sorot mata pria itu membuatnya percaya bahwa ini bukan permintaan biasa. Ada informasi yang ia simpan, mungkin tentang sesuatu, atau seseorang, yang berkaitan dengan hidup Elina.

Ia menoleh ke manajer yang sedang memperhatikan dari jauh. Wanita itu mengangguk pelan, mengizinkan.

Elina mengangguk. "Baik. Silakan ikuti saya."

Ia berjalan lebih dulu, menuju koridor samping yang digunakan staf untuk istirahat sejenak. Di sana, tempatnya lebih sunyi. Hanya cahaya lampu neon redup yang menerangi dinding kusam.

"Siapa Anda sebenarnya?" tanya Elina langsung, menatap pria itu dengan sorot siaga.

Pria itu menyelipkan kedua tangannya ke saku jas. "Namaku Samuel. Aku... punya hubungan dengan seseorang yang kamu kenal. Adrian Leonhart."

Elina membeku. "Apa maksud Anda?"

Samuel menatapnya lekat-lekat. "Aku tidak datang untuk menyudutkanmu. Sebaliknya. Aku hanya ingin tahu, kenapa seorang wanita yang begitu dihormati oleh Claire, putri Adrian, harus bekerja di tempat seperti ini? Apa yang sebenarnya terjadi dalam hidupmu, Elina?"

Nafas Elina tercekat. Ia tidak tahu dari mana pria ini tahu semua itu, tapi yang lebih mengusiknya adalah nada suara Samuel. Bukan nada menghakimi, tapi seolah-olah... iba?

"Kalau Anda datang untuk menyelidiki, Anda salah tempat. Hidup saya bukan urusan siapa pun," katanya pelan namun tegas.

Samuel mengangguk pelan. "Saya mengerti. Tapi dunia Adrian tidak akan tinggal diam kalau tahu kamu di sini. Dan saya rasa kamu tahu itu."

Elina terdiam. Matanya menunduk. Samuel tak berkata lagi, hanya menatap sesaat sebelum pergi begitu saja, meninggalkannya dalam lorong yang kini terasa lebih sempit dan dingin.

Apa maksud semua ini? Siapa Samuel sebenarnya?

...****************...

Angin malam menusuk kulit, membawa aroma alkohol yang tertinggal di pakaian dan rambut Elina. Suara musik dari dalam klub masih menggema samar saat ia melangkah menjauh, melewati gang belakang tempat para staf biasa keluar tanpa menarik perhatian. High heels yang sempit terasa seperti jebakan, meninggalkan nyeri di tumit dan jari-jarinya yang lelah.

Tangannya merapatkan mantel tipis yang tak sanggup menghangatkan dada yang bergemuruh, bukan karena dingin, melainkan karena pergolakan batin yang tak bisa ditenangkan.

Dia berhasil... menyelesaikan malam keduanya. Tidak dipermalukan. Tidak disentuh lebih dari batas. Tapi...

Bayangan tangan pria tadi, yang menggenggam lengannya sambil menyeringai, masih tertinggal jelas. Rasanya seperti noda yang tak bisa dicuci, meski pria itu akhirnya mundur.

Hatinya campur aduk. Ada rasa lega telah mendapat tambahan uang. Ada rasa jijik pada diri sendiri karena harus berdiri di tempat yang membuatnya merasa kecil. Ada juga rasa bersalah, pada murid-murid dikelasnya dan bahkan pada dirinya sendiri.

Langkahnya melambat saat ia mencapai blok kecil tempat kosnya berdiri. Lampu di lorong gelap itu berkedip tak pasti, seolah tak sabar untuk mati. Dia menghela napas panjang, memutar kunci, dan membuka pintu kayu usang yang berderit pelan.

Ruangan kecil itu menyambutnya dengan kesunyian yang akrab. Tak ada aroma bunga. Tak ada suara anak-anak tertawa. Hanya dingin, kosong, dan sepasang sandal tipis yang ditinggalkan tergelak di dekat karpet lusuh.

Elina menjatuhkan tasnya, melepas sepatu, dan duduk di kursi tua. Kepalanya tertunduk.

Matanya memandangi telapak tangan kirinya, masih terasa bekas sentuhan kasar pria tadi. Ia meremasnya, seolah bisa menghapus rasa tidak nyaman itu. Tapi sia-sia.

Air mata mengalir tanpa suara.

"Aku hanya ingin melindungi hidupku...mengumpulkan uang untuk mengembalikan harga diri, Tapi kenapa rasanya seperti aku sedang kehilangan semuanya?"

Tak ada jawaban.

Hanya detak waktu yang pelan, dan dinding kamar yang terlalu sempit untuk menampung beban hatinya.

1
Mia Syara
Awal baca,sudah tertarik dengan alur cerita ini..Salam dari Malaysia
Wiedha: Terimakasih sudah mampir Kak Mia...diusahakan untuk up date setiap hari...🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!