Akademi Debocyle adalah akademi yang paling luas, bahkan luasnya hampir menyamai kota metropolitan. Akademi asrama yang sangat mewah bagaikan surga.
Tahun ini, berita-berita pembunuhan bertebaran dimana-mana. Korban-korban berjatuhan dan ketakutan di masyarakat pun menyebar dan membuat chaos di setiap sudut.
Dan di tahun ini, akademi Debocyle tempatnya anak berbakat kekuatan super disatukan, untuk pertama kalinya terjadi pembunuhan sadis.
Peringatan : Novel ini mengandung adegan kekerasan dan kebrutalan. Kebijakan pembaca diharapkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Garl4doR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 : Mereka Dimana-mana
Zaela mengangkat tubuhnya dari reruntuhan pilar dengan susah payah. Darah mengalir dari pelipisnya, tetapi matanya masih menyala dengan tekad yang tak tergoyahkan. Ia menggerakkan tangannya, dan udara di sekelilingnya bergetar hebat. Ratusan pecahan kristal berkilauan mulai berkumpul, berputar di udara seperti bintang jatuh yang melawan gravitasi.
Goliath melangkah perlahan ke arahnya, tubuhnya tetap tegak meski penuh luka menganga. Setiap gerakannya masih tenang, seakan segala kerusakan yang diterimanya hanyalah gangguan kecil.
Zaela menggerakkan tangannya dengan tajam. "Semua siswa eksekutif, keluar dari sini! Sekarang!" suaranya menggema di seluruh aula.
Beberapa eksekutif yang masih bisa bergerak saling bertukar pandang sejenak, ragu-ragu. Tetapi ketika Goliath menoleh sedikit ke arah mereka, ekspresi mereka berubah menjadi ketakutan. Tanpa menunggu lebih lama, mereka berlari keluar dari aula, sebagian menyeret teman-teman mereka yang terluka.
Yang mengejutkan—Goliath tidak menghentikan mereka.
Zaela menyadari itu. "Kau sengaja membiarkan mereka pergi?" suaranya tajam.
Goliath mengangkat bahu. "Mereka tidak penting," katanya, datar. "Hanya kau yang menarik perhatianku."
Zaela mengepalkan tangannya, dan seketika berlian-berlian di sekelilingnya meledak dalam cahaya terang. Mereka menyatu, membungkus tubuhnya dalam armor kristal yang kokoh namun tetap fleksibel. Permukaannya berkilauan seperti permata yang dipoles sempurna, tetapi di balik keindahannya, ada kekuatan yang mematikan.
Di tangan kanannya, kristal-kristal itu berkumpul menjadi sebuah pedang besar, berkilauan seperti bintang jatuh yang baru ditempa. Di tangan kirinya, sebuah perisai berbentuk segi enam terbentuk, lebih padat dari baja.
"Aku tidak akan membiarkanmu terus berbicara omong kosong," kata Zaela.
Goliath hanya tersenyum tipis. "Coba saja."
Zaela menginjak lantai dengan keras, dan dalam sekejap, ia melesat maju dengan kecepatan luar biasa. Pedangnya menebas udara, menciptakan kilauan perak yang menyilaukan.
Goliath mengangkat lengannya untuk menangkis—
CRACK!
Pedang kristal itu menghantam lengan Goliath dengan kekuatan besar, menembus dagingnya dan hampir memutuskan tangannya sepenuhnya. Otot dan urat besar di dalamnya terlihat jelas, berdenyut dengan cara yang hampir tidak wajar.
Zaela melanjutkan serangannya, berputar dan menebas dari sisi lain—dan kali ini, pedangnya menghantam leher Goliath.
SRET!
Leher itu hampir putus. Kepala Goliath tergantung ke samping, hanya tertahan oleh sedikit daging dan otot yang tersisa. Zaela mundur, napasnya memburu, matanya tak lepas dari tubuh Goliath yang seharusnya sudah tumbang.
Namun, keheningan yang menyusul justru lebih menyeramkan.
Goliath berdiri di sana.
Tidak ambruk, tidak jatuh.
Tangannya yang hampir putus bergerak perlahan… lalu ia menempelkan kembali dagingnya sendiri, seperti menempelkan potongan puzzle yang hilang. Otot-otot itu menyambung kembali meskipun luka tetap menganga, darah masih mengalir.
Kemudian, dengan gerakan yang bahkan lebih mengerikan, ia mengangkat tangannya dan… menekan kepalanya sendiri ke tempatnya kembali.
Lehernya masih robek, luka besar masih menganga, tetapi ia tetap bergerak seakan itu tidak berarti apa-apa.
Zaela menegang. Ini… bukan manusia.
"Menarik," kata Goliath, suaranya sedikit serak tetapi masih tetap tenang. "Kau berhasil membuatku harus menyusun ulang tubuhku sendiri. Itu jarang terjadi."
Zaela tidak menjawab. Ia hanya mengangkat pedangnya lagi.
Goliath bergerak kali ini.
Dalam sekejap, ia menghilang.
Zaela merasakan angin di belakangnya, dan sebelum ia sempat bereaksi—
DUG!
Sebuah hantaman telak menghantam punggungnya. Meski armornya menahan sebagian besar dampaknya, ia tetap terhempas ke depan, menghancurkan meja dan kursi di sekitarnya.
Zaela terbatuk, tetapi tidak sempat beristirahat. Goliath sudah di atasnya, tangannya terangkat tinggi.
Zaela mengangkat perisainya—
DUARR!
Pukulan Goliath menghantam perisai kristalnya dengan kekuatan yang cukup untuk membuat seluruh aula bergetar. Retakan mulai terbentuk di permukaan kristal itu.
Zaela mengayunkan pedangnya ke atas, menebas ke arah dadanya.
SRET!
Potongan besar daging dan tulang tercerai dari tubuh Goliath, tetapi sekali lagi—ia hanya menempelkan tangannya ke luka itu, membiarkannya tetap terbuka namun berfungsi seperti biasa.
Zaela mulai merasa frustrasi. "Kau… bukan manusia," gumamnya.
Goliath hanya tersenyum, langkahnya tetap stabil. "Aku lebih dari itu," katanya. "Dan kau akan segera mengerti."
Zaela tahu ini tidak akan mudah.
Tapi satu hal yang pasti—ia tidak akan mundur.
Dengan sekuat tenaga, ia kembali menyerang, pedangnya berkilauan dengan cahaya yang lebih terang dari sebelumnya.
Dan kali ini, ia akan memastikan bahwa Goliath tidak akan bangkit lagi.
***
Douglas dan Ravi berlari di koridor gedung eksekutif, diikuti para siswa yang masih mampu bergerak. Napas mereka memburu, bukan hanya karena kelelahan, tapi juga karena kesadaran akan bahaya yang semakin besar.
Zaela memilih bertarung sendirian. Dan mereka… mereka harus mencari bantuan.
Langkah-langkah berat menggema di belakang mereka—bukan Goliath, tapi suara tabrakan dan ledakan yang terjadi dalam pertempuran di aula. Namun, tidak ada waktu untuk menoleh ke belakang. Mereka harus pergi.
Pintu keluar gedung eksekutif sudah terlihat di ujung lorong. Douglas meraih pegangan pintu dan mendorongnya dengan keras. Udara segar langsung menyergap mereka. Tetapi sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh—
Mereka tidak sendirian.
Ravi, yang berdiri di sampingnya, langsung menegang.
Puluhan pasang mata menatap mereka.
Di halaman luas depan gedung eksekutif, ratusan siswa berdiri diam dalam formasi tak teratur, namun atmosfer yang mereka bawa begitu menyesakkan. Wajah-wajah mereka kosong, tapi ada sesuatu di mata mereka—sesuatu yang asing.
Aura hitam.
Douglas bisa melihatnya dengan jelas. Cahaya keunguan yang berpendar samar di sekitar tubuh mereka, seperti kabut gelap yang mencekik udara di sekitar. Dan yang lebih buruk lagi, ia mengenali sebagian besar dari mereka.
Ini mustahil.
Douglas berusaha mengenali beberapa wajah di antara kerumunan itu. Dan saat matanya menyapu sosok-sosok yang berdiri di sana, tenggorokannya terasa kering.
“Ravi…” suaranya bergetar. “Mereka seharusnya tidak ada di sini.”
Mereka semua. Anak-anak nakal, pembuat onar, bahkan mereka yang seharusnya berada di penjara Akademi.
Salah satu dari mereka maju ke depan, seorang pria bertubuh kurus dengan rambut panjang acak-acakan dan tatapan kosong yang tidak alami. Senyumnya mengembang tipis.
“Lama tak berjumpa, Douglas.”
Douglas mengingatnya. "Royce."
Salah satu preman paling berbahaya di Akademi, yang setahun yang lalu dijebloskan ke penjara karena percobaan pembunuhan terhadap seorang siswa.
Dan dia tidak sendirian.
Ada banyak wajah yang seharusnya tidak ada di sini.
Mereka yang pernah ditangkap karena tindakan kriminal, mereka yang terlalu liar untuk dikendalikan…
Mereka semua ada di sini, berdiri dengan tatapan kosong dan senyum yang tidak seharusnya.
Ravi mencengkram rantainya dengan erat. “Ini… tidak normal.”
Royce tertawa kecil, suara yang hampir seperti gumaman menyeramkan. “Oh, tentu saja ini normal. Kami hanya… diberikan sedikit kebebasan.”
Douglas bisa merasakan keringat dingin menetes di pelipisnya. Ini buruk. Ini sangat buruk.
“Kalian…” suaranya serak. “Siapa yang membebaskan kalian?”
Royce hanya tersenyum lebih lebar.
“Kau sudah tahu… kau barusan bertemu dengannya.”
Dan seketika itu juga—mereka semua bergerak.
Gelombang siswa yang terinfeksi aura hitam itu melesat maju seperti tsunami yang siap menelan segalanya.
Douglas menggertakkan giginya.
Mereka harus bertahan. Tidak peduli apa pun yang terjadi.
***
Suasana di asrama masih kacau sejak berita tentang pembunuhan di Akademi menyebar. Beberapa siswa memilih mengunci diri di kamar, sementara yang lain berkumpul dalam kelompok kecil, membicarakan apa yang terjadi dengan bisikan penuh ketakutan.
Di salah satu kamar di lantai tiga, Reagan dan Miles duduk di dekat jendela, mengintip ke luar dengan waspada. Mereka bukan siswa eksekutif, bukan bagian dari tim tempur mana pun, hanya murid biasa yang terjebak dalam kekacauan ini.
“Debocyle benar-benar gila sekarang,” gumam Reagan, matanya menatap ke arah gedung eksekutif yang jauh di ujung Akademi. “Kau lihat itu?”
Miles mengangguk perlahan. Dari kejauhan, dia bisa melihat bayangan orang-orang yang bergerak di halaman. Tapi yang lebih mengerikan adalah sesuatu yang berpendar keunguan di sekitar mereka.
“Kenapa mereka berdiri seperti itu?” tanya Miles, suaranya bergetar. “Mereka… murid-murid juga, kan?”
Reagan tak menjawab. Ada firasat buruk yang menusuk tengkuknya. Sesuatu di dalam dirinya mengatakan bahwa apa pun yang terjadi di sana bukan hal yang bisa mereka pahami.
Sementara itu, di kamar sebelah, Hera sedang berusaha menenangkan seorang murid perempuan yang mulai menangis ketakutan.
“Aku ingin pulang… Aku ingin pulang…” gadis itu terus mengulang, menggenggam lututnya dengan gemetar.
Hera menelan ludah, berusaha menyembunyikan ketakutannya sendiri. “Kita cuma perlu tetap di dalam. Aku yakin para eksekutif sedang menangani ini.”
Tapi apakah itu benar?
Tiba-tiba—
BRAK!
Sebuah suara keras menggema dari lantai bawah. Seperti seseorang yang menabrakkan tubuhnya ke pintu utama.
Semua percakapan di dalam asrama langsung berhenti. Beberapa murid keluar dari kamar, bertukar pandang dengan ketakutan.
“Apakah itu… penjaga?” seseorang berbisik.
Kemudian suara itu datang lagi. BRAK! BRAK!
Kali ini lebih kuat.
Hera berlari ke arah balkon lantai dua, diikuti beberapa murid lainnya. Dari atas, mereka bisa melihat pintu utama asrama.
Dan di baliknya—
Seseorang sedang berusaha masuk.
Tidak hanya satu. Banyak.
Siluet hitam menekan pintu dengan kasar, mencakar, mendorong, menghantam dengan keras. Cahaya lampu di lorong depan asrama menerangi wajah-wajah yang menempel di kaca jendela…
Murid-murid dengan mata kosong dan aura hitam yang menyelimuti tubuh mereka.
Miles, yang baru saja turun ke lantai satu, mundur dengan wajah pucat. “Oh, sial… Sial…”
Mereka ada di sini.
Dan pintu asrama tidak akan bertahan lama.
misteri? keqnya masih org dalam kan. hmmm
mumgkin katanya aja kebetulan, aslinya memang sengaja /Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
ok next