NovelToon NovelToon
MERRIED WITH YOUNG BOY

MERRIED WITH YOUNG BOY

Status: sedang berlangsung
Genre:Dijodohkan Orang Tua / Nikahmuda / CEO / Berondong
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

"Kenapa harus aku yang menikah dengannya?”


Ava Estella tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah sedrastis ini. Setelah kehilangan kekasihnya—putra sulung keluarga Alder—ia hanya ingin berduka dengan tenang. Namun keluarga Alder terlanjur menaruh rasa sayang padanya; bagi mereka, Ava adalah calon menantu ideal yang tak boleh dilepaskan begitu saja.

Demi menjaga nama baik keluarga dan masa depan Ava, mereka mengambil keputusan sepihak: menjodohkannya dengan Arash, putra kedua yang terkenal keras kepala, sulit diatur, dan jauh dari kata lembut.

Arash, yang tak pernah suka diatur, menanggapi keputusan itu dengan dingin.
“Kalau begitu, akan kubuat dia meminta cerai sebelum satu bulan.”

Dua pribadi yang sama sekali berbeda kini dipaksa berada dalam satu ikatan.

Apakah pernikahan ini akan membawa mereka pada jalan yang diharapkan keluarga Alder?
Atau justru membuka luka, rahasia, dan perasaan yang tak pernah mereka duga sebelumnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 33 MALAM DENGAN ESTHER

“Esther… sebenarnya kau mau membawaku ke mana?” tanya Ava setelah cukup lama mereka terjebak dalam perjalanan malam yang dihiasi lampu-lampu kota.

“Ke tempat bowling,” jawab Esther cepat, matanya fokus pada lampu merah yang berubah kedip.

“Hah? Bowling?” Ava menoleh dengan wajah terkejut. “Kenapa tiba-tiba?”

“Aku penasaran, Kak. Seberat apa bola bowling itu.” Esther mengangkat bahu seolah itu alasan paling logis di dunia, lalu melajukan mobil ketika lampu berubah hijau. “Lagipula… apa salahnya bermain dengan kakak ipar sendiri?”

Ava terdiam. Bukan karena menolak, tapi karena tubuhnya benar-benar lelah. Seharian bekerja, mentalnya terkuras, dan sekarang ia harus mengikuti energi tak habis-habis Esther yang seperti baterai baru diganti.

Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah mal besar. Lampu neon berwarna terang memantul di permukaan kaca gedung, tampak mencolok di tengah malam yang pekat. Esther langsung melepas sabuk pengamannya dan menoleh dengan semangat. Mau tak mau, Ava melakukan hal yang sama.

Begitu pintu mobil dibuka, angin malam menyambut mereka. Dingin, tajam, menusuk melalui celah pakaian—membuat Ava menarik sedikit mantel tipisnya sebelum mengikuti Esther.

“Ayo, Kak,” seru Esther sambil menggenggam tangan Ava dan menariknya masuk.

Begitu pintu mal terbuka, riuh pengunjung menyelimuti mereka. Suara langkah kaki, percakapan tumpang tindih, dentingan gelas dari restoran, dan musik mall yang sayup-sayup mengalun. Esther naik ke eskalator dengan antusias sambil terus berceloteh. Ava tersenyum kecil, meski jelas ia ke tempat itu bukan dengan kemauan penuh.

Setelah melewati sederet toko, aroma makanan, dan lampu-lampu warna-warni, mereka akhirnya tiba di area bowling—ruangan yang lebih sunyi dibanding lantai bawah. Cahaya lampu di sana sedikit redup, dengan lantai mengilap memantulkan warna neon dari garis-garis lapangan.

Esther langsung berlari kecil ke arah rak bola bowling. “Kak! Tolong rekam aku!” katanya sambil menyerahkan ponselnya.

Ava mengangkat ponsel dan mulai merekam. Esther memilih bola yang tampaknya terlalu berat untuk ukuran tubuhnya yang mungil. Dengan dramatis, ia mencoba mengangkatnya—dan dalam hitungan detik, wajahnya menegang, napasnya tertahan, sebelum akhirnya ia menjerit kecil dan buru-buru melempar bola itu. Bola tersebut meluncur, melambat, lalu lewat begitu saja di sisi tiang-tiang tanpa menyentuh satu pun.

“Ck! Ternyata tidak semudah yang aku bayangkan,” gerutunya kesal.

Ava berusaha menahan tawa. Tubuhnya sedikit bergetar, kedua bahunya naik turun.

“Kak Ava menertawakanku?” protes Esther, mempersempit matanya sebelum merebut ponsel dari tangan Ava dan mematikan rekaman itu. “Sekarang giliran Kak Ava!”

Ava menghela napas, melangkah mendekat, dan mengambil bola dengan tenang. Gerakannya santai, tidak berlebihan. Ia mengayunkan tangannya dan melempar bola tersebut. Bola meluncur lurus dengan kecepatan stabil dan—duk!—menjatuhkan hampir semua pion, menyisakan satu.

Ava memutar tubuhnya. “Bagaimana?” katanya dengan senyum bangga, masih tak percaya ia bisa melakukannya.

Esther membeku. Mulutnya terbuka sedikit. “Itu pasti karena Kak Ava sering bermain dengan Kak Martin,” gumamnya polos.

“Tidak,” Ava menggeleng. “Ini pertama kali aku mencobanya. Lagipula aku dan Martin sama-sama sibuk, kami jarang sekali pergi bermain.”

Esther terdiam beberapa detik, matanya berubah penasaran. Ia melangkah mendekat. “Kalau begitu… bagaimana dengan Kak Arash?”

Ava menelan ludah. Nama itu saja sudah cukup membuat pikirannya berputar. “Arash? Hmm… sama saja. Kami sama-sama sibuk. Bahkan…” Ia berhenti.

“Bahkan apa?” desak Esther.

“.. Bahkan kami hampir tidak sempat berkunjung ke rumahmu,” jawab Ava sambil tersenyum kecil—senyum yang ringan namun menyembunyikan banyak hal yang tidak mungkin ia ceritakan.

“Kau benar, Kak.” ujar Esther sambil mengayunkan bola kecil yang ia pegang, nada suaranya ringan seperti biasa. “Papa bilang Kak Arash sekarang sungguh-sungguh sekali dengan pekerjaannya. Mungkin karena sudah menikah denganmu, dan dia mulai memikirkan tanggung jawabnya.” Esther terkekeh pelan, seakan itu hal romantis.

Ava hanya tersenyum samar. Bukan… mungkin karena dia tidak mau menjadi bayangan Martin lagi.

Pikiran itu muncul begitu saja, seperti bisikan yang membawa Ava kembali pada momen ketika Arash marah karena dibandingkan dengan Martin. Tatapan mata pria itu—tajam, terluka, penuh ego yang terusik—masih jelas terukir dalam ingatannya. Ia mengalihkan pandangan, tak ingin tenggelam lebih jauh dalam perasaan yang ia sendiri belum mengerti.

“Esther,” panggil Ava lembut, mencoba melepaskan diri dari belitan pikirannya. “Kau mau main yang lain?”

Wajah Esther langsung berubah cerah. “Mau!”

Ava tersenyum kecil melihat semangat itu, kemudian menggenggam tangan adik iparnya dan menariknya keluar dari arena bowling. Ruangan itu perlahan menghilang di belakang mereka—deru mesin, cahaya neon, dan lantai mengilap tergantikan dengan hiruk-pikuk mall yang ramai.

Lampu-lampu putih berkilau dari toko-toko sekitar, memantul pada lantai marmer. Aroma popcorn bercampur dengan wangi roti manis dari café terdekat. Suara anak-anak yang tertawa, orang dewasa yang berbicara, musik dari speaker mal—semuanya menciptakan suasana hangat yang perlahan melonggarkan beban di bahu Ava.

Esther hampir melompat-lompat. “Kak! Itu mau?” Ia menunjuk permainan menembak target. “Atau yang itu?” Tunjuk lainnya. “Atau kita coba kuda putar raksasa?”

Ava tertawa kecil—tawa yang sejak pagi rasanya sulit keluar dari mulutnya. “Pilih saja mana yang kau mau. Malam ini kau yang memimpin.”

Esther bersorak pelan, lalu berlari kecil menuju permainan pertama. Ava mengikutinya sambil menghela napas, bukan karena lelah… tapi karena perasaannya sedikit lebih ringan. Seolah permainan-permainan itu menyingkirkan bayangan restoran siang tadi, bayangan senyum Arash pada wanita lain, dan bayangan tatapannya yang tak pernah sempat ia tangkap.

Malam itu, Ava mengizinkan dirinya untuk bersenang-senang. Meski tubuhnya letih, ia tetap mencoba setiap permainan bersama Esther. Mereka tertawa, saling mengejek ringan, saling berteriak kecil saat kalah, dan berfoto bersama di mesin foto.

Untuk beberapa waktu, Ava merasa bebas dari segala pertanyaan yang belum terjawab, dari segala rasa yang belum ia pahami, dari segala kekosongan yang ia tinggali bersama Arash.

Dan Esther—dengan energi yang tak pernah habis—tanpa sadar menjadi alasan bagi Ava untuk bernapas sedikit lebih lega.

...----------------...

Malam merayap semakin larut ketika Ava dan Esther akhirnya memutuskan pulang. Lampu-lampu mall perlahan meredup, digantikan cahaya neon yang berpendar di sepanjang jalur keluar. Tawa Esther yang masih menggema di telinga Ava menjadi penutup dari hari yang melelahkan namun hangat.

Karena khawatir pada anak itu pulang sendirian, Ava mengantar Esther terlebih dulu ke rumah Alder. Setelah memastikan gadis itu masuk dengan selamat, barulah ia naik ke taksi untuk kembali ke rumah.

Udara malam terasa lembap ketika Ava turun di depan halaman. Angin tipis membawa aroma dedaunan basah dan wangi tanah yang dingin. Namun langkahnya berhenti. Pemandangan yang tersaji di hadapannya terasa seperti mengulang kejadian sore tadi—begitu identik, begitu menampar.

Arash berdiri di dekat mobil, bersandar santai pada body kendaraan hitam itu. Cahaya lampu taman memantul di garis rahangnya, sementara seorang wanita berambut pirang berdiri di depannya. Wanita yang sama. Senyum yang sama. Suasana yang sama.

Sesuatu di dada Ava perlahan merapat, seperti pintu yang menutup pelan-pelan namun juga keras di dalam batinnya.

Dengan langkah yang berat, ia mencoba menyusun wajahnya agar tetap netral lalu melangkah mendekati keduanya. Suara dedaunan yang terinjak di bawah sepatunya terdengar terlalu nyaring di keheningan halaman itu. Memecah ruang yang tadinya hanya berisi dua orang: Arash dan wanita pirang yang berdiri terlalu dekat dengannya.

Ava menelan ludah ketika Arash menoleh, ekspresi lelaki itu tidak menunjukkan keterkejutan, hanya perubahan kecil di garis matanya.

“Ava, mana Esther? Bi Ana bilang kau pergi dengannya,” tanya Arash, suaranya tenang seperti biasa, membuat semuanya terasa lebih tidak masuk akal bagi Ava.

“Esther sudah aku antar pulang,” jawab Ava. Suaranya terdengar datar bahkan di telinganya sendiri, tapi ia tetap mencoba tersenyum kecil.

“Baguslah.” Arash mengangguk singkat sebelum berpaling ke wanita di sampingnya. “Celine, ini Ava.”

Ucapan itu sederhana—hanya sebuah perkenalan. Namun cara Arash mengatakannya, dengan nada datar yang tidak mengandung keintiman apa pun, justru menambah rasa asing yang mengalir perlahan di dada Ava.

Wanita pirang itu segera maju setengah langkah. “Halo,” ujarnya sambil mengulurkan tangan. Senyumannya lebar dan ramah, namun bagi Ava, cahaya lampu yang jatuh di mata wanita itu membuat semuanya terlihat berlebihan, terlalu terang.

Ava menyambut tangannya dengan sopan. “Ava,” jawabnya lembut.

“Kau sangat cantik, pantas Arash menikahimu,” puji Celine. Kalimat itu terdengar ringan, tapi membuat Ava sempat menegang. Tangan yang sedang dijabatnya terasa menjadi dingin dalam sekejap. Refleks, Ava melirik Arash yang hanya berdiri tanpa ekspresi di dekatnya.

“Aku Celine, sekretaris baru Arash,” lanjut wanita itu.

“Oh…” Ava mengangguk pelan. Dari dekat, ia melihat bagaimana postur Celine lebih tinggi, rambut pirang itu berkilau, dan auranya memancarkan kepercayaan diri yang alami.

“Tidak mau mampir dulu?” tanya Ava, sekadar sopan.

“Aku sudah mampir cukup lama. Harus pulang karena sudah larut.” jawab Celine dengan nada ramah yang tetap stabil sejak awal.

“Kalau begitu hati-hati di jalan,” ucap Ava. Ia menundukkan kepala sedikit, mencoba tetap sopan meski ada kecanggungan yang memenuhi ruang di antara mereka. “Aku permisi masuk lebih dulu.”

Ia berbalik, melangkah masuk melewati ambang pintu rumah dengan kepala sedikit tertunduk. Lampu ruang tamu menyambutnya dengan hangat, tapi untuk pertama kalinya malam itu, cahaya itu terasa menyilaukan dan bukan memberi kenyamanan.

“Aku akan mengantarmu. Tunggu sebentar!” suara Arash terdengar dari luar, cepat dan tegas, langkahnya menyusul masuk sebentar hanya untuk mengambil kunci mobil yang terletak di meja dekat pintu.

“Aku akan mengantarnya pulang karena malam sudah gelap,” jelasnya, seakan itu adalah hal paling masuk akal yang bisa dilakukan.

Namun Ava tidak menjawab. Tidak melihatnya. Tidak ingin menatap wajah yang kini terasa seperti misteri baru yang tidak ia minta. Tanpa sepatah kata, ia bergegas masuk ke kamar mandi. Menutup pintu perlahan, mencoba meredam suara hatinya sendiri yang berdenyut terlalu keras.

Arash sempat memandang pintu tertutup itu dengan raut bingung, seolah tak mengerti apa yang ia lewatkan. Setelah beberapa detik, ia akhirnya kembali keluar rumah untuk mengantar Celine pulang.

Sementara itu, Ava berdiri di belakang pintu kamar mandi, bersandar dengan mata terpejam. Air keran mengalir pelan, menenggelamkan suara malam di luar—juga menenggelamkan satu perasaan yang bahkan ia sendiri belum berani namai.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

📌Aku penasaran, pendapat kalian soal cerita ini🤔 ayo komen dong

1
Sri Peni
ceritanya bagus aq lebih tertarik pd diksinya.
Sri Peni
updatenya jgn lama2
Sri Peni
apakah ini novel terjmahan? krn diksinya benar2 pas bagiku. . benar2 bahasa sastra. maaf baru kali ini aq bc , cerita yg bhsnya bagus .. sulitdibahas dgn tertulis
Ig ; LaruArun: Bukan ka, ini bukan novel terjemahan. cerita ini pure isi kepala aku. btw, terimakasih banyak karena udah mampir dan mohon dukungannya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!