Tujuh ratus tahun telah berlalu, sejak Azkan ditugaskan menjaga Pulau Asa, tempat jiwa-jiwa yang menyerah pada hidup, diberi kesempatan kedua. Sesuai titah Sang Dewa, akan datang seorang 'Perempuan 'Pilihan' tiap seratus tahun untuk mendampingi dan membantunya.
'Perempuan Pilihan' ke-8 yang datang, membuat Azkan jatuh cinta untuk pertama kalinya, membuatnya mencintai begitu dalam, lalu mendorongnya masuk kembali ke masa lalu yang belum selesai. Azkan harus menyelesaikan masa lalunya. Namun itu berarti, dia harus melepaskan cinta seumur hidupnya. Bagaimana mungkin dia bisa mencintai seseorang yang di dalam tubuhnya mengalir darah musuhnya? Orang yang menyebabkannya ada di Pulau Asa, terikat dalam tugas dan kehidupan tanpa akhir yang kini ingin sekali dia akhiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BERNADETH SIA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TANGISAN DI LORONG
Azkan menarik baju Laina ke atas dan terkejut sendiri oleh keindahan yang menyambut kedua matanya. “Az, ada Leo.” suara Laina terdengar gelisah. “Leo sedang bermain dengan banyak sekali mainan.” jawab Azkan sambil mendaratkan ciuman di perut Laina yang sontak menegang.
“Tapi, dia bisa memanggil kita kapan saja.” Laina berusaha mengendalikan diri. Meski sekarang ini, rasanya, dia ingin menikmati setiap sentuhan dan perlakuan manis Azkan padanya, tapi pikiran tentang Leo, membuatnya terus merasa was-was. Bagaimana kalau tiba-tiba Leo mencari mereka? Dengan pikiran yang dipenuhi kekhawatiran seperti itu, Laina tak bisa sepenuhnya menikmati keromantisan Azkan sekarang ini.
“Apa kau tidak suka?” Az menarik wajahnya ke atas, hingga bertatapan dengan wajah Laina yang merona. Sinar di kedua matanya yang juga berwarna biru, membuat Azkan terpesona ketika menatapnya lekat-lekat seperti sekarang. “Aku menyukainya.” bisikan jawaban Laina terdengar malu-malu. Untuk sejenak, Leo menghilang dari pikiran Laina.
“Apa yang kau suka?” Azkan menggoda Laina yang tengah malu setengah mati, ditatap dengan tatapan penuh gairah dari Azkan dalam keadaan setengah terekspos di bawah tubuh Azkan. Laina memalingkan wajahnya, tak sanggup bertatapan lama dengan kedua mata biru gelap yang sedang ingin memangsanya. “Lihat aku,” Azkan meraih wajah Laina dengan salah satu tangannya, membuatnya kembali menatap langsung ke mata Azkan. “Katakan padaku, apa yang kau sukai?” Senyuman Azkan terbentuk lebar di wajah tampannya, memaerkan rahang wajahnya yang membentuk ketampanan serta aura kejantanan yang tak bisa dikalahkan.
“Semuanya,” jawab Laina. Azkan menggigit bibir bawahnya, menatap Laina lekat-lekat, kemudian dengan lembut, dia mengecup leher Laina, lalu bertanya, “Kecupan di sini?” suaranya rendah, setengah berbisik, tapi menuntut jawaban dari Laina secara langsung. “Hm'm” Laina tak sanggup mengucapkan satu kata dengan benar. Hanya gumaman yang bisa dia berikan sebagai jawaban, tapi cukup untuk memberitahu Azkan, bahwa dia menyukainya. “Bagaimana dengan ini?” Azkan membelai bagian bawah dada Laina sambil berbisik di telinganya dengan kedua mata yang mengamati ekspresi wajah Laina ketika dia menyentuhnya. Sekali lagi, Laina mengguman, kali ini sambil tercekat dan memejamkan mata ketika Azkan meneruskan belaiannya hingga ke puncak.
“Sayang,” Azkan menghentikan gerakan tangannya, memanggil kekasihnya yang sedang kuwalahan agar menatapnya, lalu menyambut tatapan mata Laina dengan sebuah ciuman hangat, dalam, dan dengan tubuh yang bergerak sendiri mengikuti hasratnya. Laina tak lagi menolak, tak lagi memikirkan hal lainnya. Dia menikmati setiap detik yang berlalu dalam buaian Azkan. Perlahan, dunia di sekitar keduanya memudar, menyisakan dua tubuh yang saling mengungkapkan cinta terdalam mereka dalam setiap gerakan dan suara tanpa kata.
Untuk beberapa saat, hanya ada intensitas yang terus meningkat di antara keduanya. Tubuh mereka terus merasa haus akan satu sama lain. Semakin lama rasanya semakin kurang meski mereka telah melakukan segalanya untuk memuaskan rasa haus di tubuh mereka. Lalu di saat tubuh mereka menemukan irama yang sama, Laina merasa tubuhnya semakin tak terkendali. Tampaknya Azkan pun mengalami hal yang sama. Tanpa perlu mengatakan satu kata pun, mereka berdua bisa merasakannya, bahwa tubuh mereka, sedang menginginkan hal yang sama. Intensitas irama tubuh mereka terus meningkat hingga keduanya kuwalahan, tak lagi sanggup menahan diri dan tubuh keduanya mengambil alih sepenuhnya, memuaskan rasa haus dari tubuh masing-masing.
Tubuh Azkan terjatuh di sisi Laina. Keduanya tersengal, berkeringat, lelah, tapi pengalaman pertama itu, memberikan kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Azkan meraih tubuh Laina yang kini kelelahan dan juga kesakitan, ke dalam pelukan hangatnya. Dia juga menarik selimut di bawah kakinya, agar tubuh Laina hangat. Laina yang masih terkejut dengan semua sensasi di tubuhnya, tak sanggup mengatakan apa pun. Dia sibuk menenangkan dirinya sendiri. Pengalaman pertamanya, ternyata terlalu luar biasa untuk bisa dihadapi dengan tenang. Sebagian tubuhnya gemetaran, akibat dari apa pun yang telah mereka berdua lakukan barusan. Tetapi pelukan Azkan mengirimkan rasa nyaman dan tenang padanya. Perlahan, rasa sakitnya berkurang. Tubuhnya tak lagi gemetaran. Lalu rasa lelah menghampirinya. Usapan hangat di punggungnya yang telanjang dan belaian lembut jemari Azkan yang menelusuri rambutnya, serta pelukan hangat berselimutkan kehangatan tubuh Azkan yang tak dibatasi apapun, suara detak jantung Azkan di telinganya, semua sensasi itu membuat Laina semakin rileks. Kedua matanya secara alami terpejam, lalu dalam buaian aroma tubuh Azkan di setiap tarikan nafasnya, Laina terlelap.
“Beristirahatlah, istriku. Kekasihku. Kesayanganku.” Bisikan Azkan sudah tak terdengar oleh Laina. Juga kecupan hangat di kening yang diberikan Azkan dengan sepenuh hati. Saat ini, kesadaran Laina sudah pergi begitu jauh, berkelana di dalam ketidaksadaran dan kenangan yang bertumpuk. Azkan pun membenamkan wajahnya pada rambut panjang Laina yang harum dan lembut, memejamkan matanya, lalu ikut terlelap sambil memeluk tubuh Laina.
Waktu berlalu begitu saja bagi dua tubuh yang tengah kelelahan. Namun tidak bagi Leo yang mulai bosan dengan mainannya dan merindukan sosok mama yang baru dia miliki. Dengan langkah kecil yang setengah berhati-hati, Leo berdiri, meninggalkan tumpukan mainan barunya, lalu keluar dari kamar Laina. Dia berdiri di lorong yang kosong, sepi, tanpa suara sedikit pun. Dengan lirih dia memanggil Laina, tapi tak ada yang menjawab.
Rasa cemas mulai memenuhi hati Leo ketika dia memanggil Azkan, tapi juga tidak ada jawaban yang terdengar. Tadi, kata papa, kalau aku memanggilnya, dia akan datang. Apa mama dan papa pergi? Kemana? Apa aku sudah melakukan kesalahan? Apa mama dan papa tidak menginginkanku lagi? Apa mereka tidak mau lagi bersamaku? Apa aku ditinggalkan sendirian? Kenapa orang-orang selalu pergi meninggalkanku? Aku kan ingin bersama mereka. Aku tidak suka sendirian. Aku tidak suka main sendiri. Aku janji tidak akan nakal. Aku akan patuh. Aku akan jadi anak baik. Tolong, jangan tinggalkan aku.
Suara tangisan lirih memenuhi lorong lantai pribadi Azkan. Suara tangisan Leo itu, sampai di telinga Azkan yang setengah tersadar. Tubuhnya langsung bereaksi. Seluruh kesadarannya segera kembali. Ketika dilihatnya Laina masih lelap, Azkan memutuskan untuk pergi sendirian. Dia menyelimuti Laina hingga seluruh tubuhnya tertutupi selimut, lalu meraih pakaiannya, dan segera keluar kamar. Hatinya tergerak ketika melihat Leo berdiri sendiri di depan pintu kamar Laina sambil menangis.
“Leo, kenapa menangis?” Azkan segera berlari, menghampiri bocah kecil yang sedang menangis itu, lalu dengan kedua tangannya, dia mengangkat tubuh Leo ke dalam gendongannya.
Leo langsung melingkarkan tangannya di leher Azkan erat-erat. “Kenapa papa pergi meninggalkanku? Apa aku melakukan kesalahan? Apa papa tidak suka padaku? Dimana mama?” meski terisak, Leo bisa mengatakan semua itu dengan jelas.
“Tidak, papa dan mama tidak meninggalkanmu. Kami hanya beristirahat di kamar papa. Maaf, karena kami meninggalkanmu sendirian di kamar.” Leo memeluk tubuh kecil yang terisak dalam gendongannya.
“Benarkah? Papa dan mama tidak membuangku?” pertanyaan Leo yang terlontar sambil menatap Azkan dengan polos itu, mengirimkan rasa sakit di dalam hati Azkan. Dia jadi penasaran dengan apa yang telah dialami Leo sebelum meninggal.
“Tentu saja tidak. Mana mungkin kami membuang anak yang begitu kami sayangi?” Azkan mengusap air mata di wajah Leo dengan satu tangannya.
“Papa dan mama menyayangiku?” Leo terdengar tidak percaya.
“Tentu saja. Karena kami menyayangimu, maka kami membawamu ke sini, untuk tinggal bersama kami. Mulai sekarang, ini adalah rumahmu, Leo. Kami adalah orangtuamu. Kami akan menyayangimu sepenuh hati kami. Kita akan menjadi sebuah keluarga yang bahagia.” Leo mendengar kata-kata Azkan dengan takjub. Di dalam pikirannya, keluarga yang bahagia, hanya dia temukan dari buku cerita bergambar. Tidak pernah menjadi milikinya.
“Benarkah?” sekali lagi Leo ingin memastikan apa yang dia dengar.
“Iya. Benar. Mulai sekarang, kau punya orang tua dan keluarga yang bahagia. Nanti, papa juga akan mengenalkanmu pada banyak orang baik lainnya, yang juga akan menyayangimu.”
“Waahhh” kekaguman Leo membuat Azkan tertawa kecil. Anak kecil memang polos. Semua yang ada di dalam hati dan pikirannya bisa terlihat dengan jelas. Sekilas, Azkan teringat pada Laina. Meski sudah dewasa, kekasihnya itu, juga menunjukkan kejujuran perasaan dan pikirannya dengan jelas.
“Lalu, dimana mama?” Leo menoleh ke kanan kiri, mencari sosok mama yang selama di rumah sakit menemaninya.
“Mama sedang tidur. Dia kelelahan. Bagaimana kalau kita memberinya waktu untuk istirahat lebih lama?” Leo mengangguk, mengiyakan pendapat Azkan.
“Sambil menunggu mama bangun, bagaimana kalau kita menyiapkan makan malam? Apa kau suka barbeque? Kita bisa memanggang daging di taman. Mau makan malam di taman?” ajakan Azkan disambut senyuman lebar dan anggukan kepala penuh semangat dari Leo.
“Aku tidak pernah makan daging tapi sepertinya menyenangkan. Aku mau coba!” jawaban Leo membuat Azkan mengernyit. Dia segera menghilangkan kernyitannya dan meminta Armana untuk membantu mereka menyiapkan makan malam di taman. Dalam hatinya, dia sudah membulatkan tekad untuk melihat dengan jelas bagaimana masa lalu Leo. Dia ingin menyembuhkan semua luka yang telah dialami Leo semasa hidup. Harus.