"Tidak adakah pekerjaan yang bisa kamu lakukan selain mengganggu kesibukan orang lain?" Clive melirik dingin Berry yang duduk disebelahnya.
"Aku hanya ingin wanita itu menjadi ibuku. Bila menunggu Ayah, sampai sekarang tidak ada tanda-tanda kehidupan," Berry ikut melirik dingin pada ayahnya.
"Siapa yang mau menjadi Ibumu? Wanita itu?" Clive tersenyum sinis mendengar ucapan putranya.
"Aku saja tidak mau jadi Ayahmu. Terpaksa saja, karena kamu adalah anakku," Clive membuka sabuk pengamannya, lalu segera turun dari mobil. Ia membuka pintu, lalu meraih tubuh kecil Berry masuk dalam gendongannya dan menyerahkannya pada pengasuhnya.
"Pastikan pria kecil ini tidak membuntutiku lagi."
"Baik Tuan," David membungkuk hormat, lalu menggandeng tangan Berry yang segera ditepis anak itu lalu berlari memasuki rumah.
Ikuti kisah Berry, yang memilih sendiri siapa wanita yang dijadikan sebagai ibunya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Payang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Di Rumah Arthur
Melihat isi paper bag yang diberikan Clive, Sizy sudah tidak bisa berkata-kata, lidahnya serasa kelu, dengan berbagai kecemasan menyelimuti hatinya.
Sementara Clive, pria itu naik kelantai atas setelah menyerahkan dua paper bag lagi sebagai oleh-oleh pada Margaretha.
"Kami pulang!" seru beberapa suara kompak dari pintu depan. Tidak menunggu lama, dua wajah ceria dan satu wajah datar muncul dengan tentengan penuh dikedua tangan mereka masing-masing.
"Lihat, kami membawa banyak hadiah dari kak Clive, Kak!" Mesie terlihat begitu gembira, menunjukan banyaknya hadiah dalam paper bag miliknya.
"Yuna juga Bibi!" bocah gembul itu tidak kalah gembiranya dari Mesie, turut menunjukan banyak tentengan ditangannya.
"Berry Sayang, bagaimana denganmu?" Margaretha mendekati anak sambung keponakannya itu. Walau ia tahu Berry berbeda, tidak suka memperlihatkan ekspresi apapun, tetap saja ia penasaran dengan celoteh pria kecil itu nanti.
"Sebenarnya aku tidak menginginkan apapun Nenek, tapi Ayah memaksaku untuk dibelikan sesuatu. Jadi Yuna dan bibi Mesie yang memilihkanku semua hadiah-hadiah ini," ucapnya datar, seperti dugaan Margaretha sebelumnya.
Sizy berusaha mengintip isi dalam paper bag pria kecilnya, namun Berry gegas menyembunyikannya dibelakang tubuhnya.
"Baiklah, Ibu tidak akan memaksamu untuk memperlihatkannya Sayang. Sekarang Ibu minta kamu mengajak Yuna naik keatas lebih dulu, mandi dan turunlah setelah itu. Kita akan makan malam bersama."
"Baik Ibu," patuh Berry sembari mengangguk.
"Anak pintar," Sizy mengecup pipi Berry, membuat pria kecil itu terperanjat, dan spontan matanya liar menatap kesana-kemari. Tentu saja ulahnya itu mengundang rasa keheranan bagi Margaretha dan Mesie yang melihatnya.
"Memangnya kamu tidak suka dicium Ibumu?" tanya Mesie penasaran.
"Suka, tapi Ayah sudah memperingatkanku tidak boleh mencium Ibu, dia mengancam akan menghukumku," jujurnya.
"Hmph! Kakak Ipar sangat aneh," kaget Mesie, lalu tergelak, begitu juga dengan Margaretha yang turut mendengarnya.
"Tenang saja Berry, yang bakal dihukum bukan kamu tapi Ibumu, 'kan Ibumu yang menciummu bukan kamu," Mesie berjongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan tinggi Berry, berusaha menghibur sesuai logikanya.
"Itu tidak berlaku bagi Ayah, tetap aku yang mendapat hukumannya Bibi," ungkap Berry lagi.
"Benarkah?"
"Heum..." angguk Berry, membuat sepasang mata Mesie seketika membola.
"Itu tidak adil, Sayang. Bibi akan membelamu, tenang saja," ucapnya dengan tatapan iba.
"Mesie, tidak perlu mendramatisir seperti itu. Itu salah satu bentuk kasih sayang seorang ayah pada putranya. Ayo Sayang, naiklah keatas. Lihat, Yuna sudah menunggumu sedari tadi," lembut Margaretha.
"Baik Nenek," Berry menarik kedua ujung bibirnya, berusaha menampilkan senyum datarnya agar terlihat menarik.
Margaretha dan Sizy menahan tawa melihatnya, setidaknya Berry sudah berusaha, namun bayang-bayang Clive terlalu mendominasi pria kecil itu.
"Aku juga mau mandi," Mesie ikut berdiri dari jongkoknya, berniat menyusul dua bocah itu naik keatas.
"Kamu belum boleh pergi adikku yang ceroboh," Sizy buru-buru mencengkram lengan Mesie, membuat gadis itu kaget dan menatapnya bingung.
Margaretha yang melihatnya hanya menggeleng-gelengkan kepala, membiarkan kakak beradik itu menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri.
"Salah Mesie apa sih Kak?" tanya gadis itu, masih memandang bingung wajah sang kakak yang mendadak berubah kesal padanya.
"Ke-na-pa nitip pesanan Kakak ke ayahnya Berry, hah?!" ketus Sizy penuh penekanan, sembari mengangkat paper bag pemberian Clive didepan wajah Mesie.
"Ya... Ya, apa salahnya sih Kak? Kak Clive 'kan suaminya Kakak. Kebetulan ketemu di minimarket depan, dan aku lagi sibuk temani Berry sama Yuna makan es krim, jadi aku minta kak Clive aja yang belikan pesanan Kakak tadi, sekalian mengantarnya ke Kakak, kali aja Kakak buru-buru make pembalutnya kataku," papar Mesie, mengingat beberapa menit yang lalu ia memang meminta kakak iparnya yang berbelanja pesanan kakanya itu.
"As-ta-ga Mesie... Kenapa kamu malah minta ayahnya si Berry yang belanja pesananku itu?!" gemas Sizy hingga ke ubun-ubun.
"Aw... Aw... Akh! Sakit Kakak," pekik Mesie, wajahnya meringis menahan sakit, mengusap lengannya yang membiru dicubit semena-mena oleh Sizy yang begitu kesal mendengar pengakuan dirinya.
"Sudah-sudah, buruan mandi sana, kita mau makan malam," lerai Margaretha.
"Mau gimana lagi? Adikmu itu memang suka ceroboh Sizy. Lagi pula, kamu tidak bisa terus-terusan berbohong, mau sampai kapan? Lambat laun juga akan ketahuan kalau perutmu itu gak buncit-buncit juga," imbuhnya lagi sembari menata hasil masakan diatas meja.
"Ucapan Bibi memang benar, tapi Sizy belum siap ketahuan..." keluh Sizy hampir menangis saaking kesalnya pada kecerobohan adiknya, sementara Mesie si biang kerok, hanya melongo, tidak mengerti apa yang sedang dibahas oleh ibu dan kakaknya itu.
...***...
"Malam ini, Yuna dan Berry tidur dikamar Nenek dan Kakek ya?" bujuk Margaretha disela-sela makan malam.
"Iya, mau Nek," Yuna menjawab dengan antusias.
"Maafkan kami Bibi, mungkin di lain waktu saja kami menginap. Besok anak-anak masih sekolah, aku dan Clive juga harus pagi-pagi kekantor," sela Sizy memberi alasan.
"Itu bukan masalah. Setelah menikah, ini kali pertama kita berkunjung, jangan kecewakan Bibi," Clive ikut menyela.
"T-tapi--" Sizy menatap Clive.
"Kalau kamu mengkhawatirkan pakaian seragam anak-anak dan buku-buku mereka, itu bisa diurus oleh David, sekalian membawa pakaian kerjaku dan baju dinasmu kemari. Lagi pula aku ingin mengobrol dengan Paman," potong Clive yang sudah tahu apa yang difikirkan Sizy.
"Yeay! Asyik, horeee! Terima kasih banyak Paman!" pekik Yuna gembira. Berry yang sedari tadi diam saja ikut bersorak didalam hati, menginap dirumah Arthur, sang kakek, adalah hal yang baru dan menyenangkan menurutnya.
"Ayo, habiskan makanan kalian berdua, terutama kau Berry. Nenek sengaja masak banyak tadi sore untuk kita," Margaretha melirik isi piring pria kecil itu yang masih banyak belum tersuap, sedangkan Yuna, bocah perempuan itu sudah beberapa kali diisi ulang piringnya oleh dirinya.
...***...
Dari balkon kamarnya, sesekali Sizy memperhatikan Clive dan Arthur yang sedang berbincang dipinggir kolam ikan samping rumah, ingin rasanya bergabung namun dirinya harus merapikan beberapa pakaian yang baru diantar oleh David.
"Raut mereka serius sekali, kira-kira apa yang mereka bahas?" monolog Sizy, sementara tangannya menata pakaian, dan menyimpannya dalam lemari.
Bersambung...✍️
Otw unboking kah…
🤭🤭
malu sangat diriku,, gak terlalu banyak tau tentang budaya sendiri🥲🥲🥲
iklan ku masih lengkap padahal udah malem.🤭