Terpaksa Menikahi Kakak Ipar

"Tapi seharusnya kamu itu jangan langsung main buka pintu seperti itu! Kamu harus memikirkan jika saja ada orang lain yang berada di luar pintu sepertiku!" sergah Ellina dengan penuh emosi dan rasa malu. Dia tidak ingin kalah berdebat dengan pria di depannya itu.

"Kamu juga! Untuk apa menyentuh kedua mataku seperti itu? Kamu pikir tindakanmu tidak akan membuatku semakin terkejut? Hah?" lanjut Ellina meluapkan seluruh emosi dalam diri.

Carlson agak terkejut dengan sikap Ellina yang tidak ingin mengalah. Berbeda dengan Amanda yang selalu menurut padanya. Dia lalu menggelengkan kepala dan merasa bahwa dia sudah mulai membandingkan istri pertama dengan istri keduanya. Sadar bahwa setiap wanita itu diciptakan berbeda.

"Baiklah, aku minta maaf. Aku yang salah karena sudah tidak hati-hati hingga membuatmu terkejut dan terjatuh. Aku juga minta maaf karena tindakanku yang sudah megusap matamu, ternyata malah membuatmu tidak nyaman. Lain kali aku tidak akan berbuat seperti itu lagi," ujar Carlson panjang lebar. Dia lebih memilih untuk menurunkan ego dari pada berdebat dengan istrinya.

Deg!

Lagi-lagi Ellina merasa bersalah karena dia merasa ucapannya sudah berlebihan. Padahal dia ingin meminta maaf besok pagi, namun dia malah bersikap berlebihan yang semakin membuatnya merasa malu untuk meminta maaf.

Ellina menetralkan emosinya. Menenangkan hati lalu berbalik menjauhi sang suami.

"Apa kamu tidak jadi menggunakan kamar mandinya?" tanya Carlson tiba-tiba.

Membuat gerakan Ellina yang hendak berbaring di ranjang menjadi terhenti. Wajahnya menjadi merah padam. Tidak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya bahwa dia sedang mencari pria itu.

"Tidak," jawabnya singkat.

Setelah membenarkan selimut di tubuh sang putra, Ellina menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya. Dia tidak ingin berlama-lama terjaga bersama dengan Carlson.

Namun, Ellina tidak bisa benar-benar tertidur. Sepertinya lagi-lagi dia terkena insomnia. Selalu saja seperti ini jika dia dan Carlson tidur satu kamar.

Ellina merasa sisi kasur di sebrangnya ditiduri oleh seseorang. Siapa lagi kalau bukan Carlson?

Meski sudah tahu bahwa orang itu adalah Carlson, Ellina tetap membuka kedua mata. Di saat itulah mata mereka bertemu. Ellina seperti berubah menjadi patung yang membuat ia tidak bisa berkutik.

Deg! Deg! Deg!

Deg! Deg! Deg!

Tatapan Carlson dan mata hitamnya seakan menusuk sampai ke dasar hati Ellina yang paling dalam. Wanita itu seperti terhipnotis sampai tidak bisa untuk berpaling.

Berbaring di ranjang yang sama dengan Carlson memang bukan yang pertama bagi Ellina. Namun, bertatapan di atas ranjang seperti ini adalah hal yang pertama bagi mereka.

Meski di antara mereka terdapat Kevin yang tengah tertidur pulas. Namun, Ellina merasa bahwa di ranjang ini hanya ada mereka berdua.

Seketika Ellina tersadar dan berbalik membelakangi sang suami. Namun, gerakannya terhenti karena Kevin yang tiba-tiba menangis. Seakan pria kecil itu menyadari bahwa sang ibu hendak tidur membelakanginya. Alhasil, Ellina terpaksa tetap pada posisinya dan tidur berhadapan dengan sang suami.

Memang pada dasarnya seorang lelaki yang tidak mengerti tentang perasaan wanita. Bukannya membelakangi, Carlson malah tetap pada posisinya. Pria itu seakan tidak menyadari perasaan Ellina yang tidak nyaman karena tidur berhadapan dengannya.

Setelah Kevin sudah kembali pulas dalam tidurnya, Ellina beranjak dari kasur dan mengambil sebuah bantal selimut dari dalam lemari. Menyusun bantal dan selimut di sofa untuk dia tiduri lalu membuat penjagaan untuk Kevin agar anaknya itu tidak terjatuh ketika sedang tertidur.

"Biar aku yang tidur di sana jika kamu tidak nyaman tidur satu ranjang denganku," ujar Carlson yang ternyata sejak tadi belum tidur dan memerhatikan setiap gerakan Ellina.

"Heuh? Kamu belum tidur?" tanya Ellina mengabaikan ucapan Carlson.

"Kamu tidur saja dengan Kevin. Biar aku yang tidur di sofa." Carlson segera berbaring di atas ranjang dan memejamkan kedua mata.

"Carlson, biar aku saja yang tidur di sofa. kamu tidur saja bersama Kevin," ucap Ellina tidak membiarkan Carlson tidur di sofa.

"Aku saja, Ellina," tegas Carlson.

Carlson langsung duduk dan menatap Ellina dengan perasaan heran. Namun, dia tak beranjak dari sofa itu.

"Kamu kenapa, Ellina? Apa kamu masih kesal karena sikapku tadi terhadap Kevin? Aku minta maaf. Aku sadar bahwa memang aku belum memiliki anak. Aku tidak tahu bagaimana cara menghadapi anak yang sedang tantrum seperti tadi. Yang kupikirkan adalah membuat Kevin senang dan berhenti menangis," ujar Carlson lirih.

Pria itu berdiri dan mendekati Ellina yang mematung melihatnya. Carlson meletakkan kedua tangannya di atas bahu sang istri kemudian menatapnya dengan lekat.

"Karena itu, ajari aku untuk bisa menjadi seperti David yang bisa menangani anak kecil. Ajari aku agar bisa menjadi ayah yang baik, kumohon!" pinta Carlson dengan tatapan penuh harap.

Sikap Carlson yang seperti ini semakin membuat Ellina merasa bersalah. Hatinya kini menjadi semakin tidak bisa dia mengerti. Terkadang melihat Carlson sebagai seorang kakak ipar. Kadang melihatnya sebagai seorang pria. Terkadang juga melihatnya sebagai suami yang memiliki dua istri.

Status mereka sebelumnya, kehadirannya di antara Carlson dan Amanda sering kali membuat Ellina mempertimbangkan pernikahan ini yang seakan tidak benar.

"Carlson, aku ...." Ellina tidak tahu akan berkata apa. Di satu sisi dia sadar bahwa yang dimaksud Carlson adalah menginginkan anak darinya. Namun, akal sehatnya mengatakan bahwa jika hal itu sampai terjadi, maka hanya akan membuat banyak hati yang terluka.

Menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Ellina tersenyum pada Carlson dan menggenggam kedua tangan pria itu yang berada di bahunya.

"Kumohon, jangan paksa aku! Aku tidak apa-apa jika kamu ingin menganggap Kevin sebagai putra kandungmu. Karena di tubuhnya juga mengalir darahmu dan keluargamu. Tapi untuk memenuhi keinginanmu yang lain ...," Ellina menggelengkan kepala, kemudian melanjutkan, "... maaf, Carlson. Aku tidak bisa!"

Mendengar hal itu, Carlson merasa sebagian nyawanya melayang. Dia seperti hilang harapan untuk bisa memiliki seorang anak.

Carlson seakan lupa bahwa dia masih bisa mendapatkan seorang anak dari istri pertamanya walau itu adalah hal yang sangat sulit.

"Carlson," panggil Ellina yang merasa bersalah melihat raut wajah kecewa dari sang suami. Ellina berusaha untuk memberikan pengertian pada pria itu, "Percayalah bahwa Amanda pasti bisa mengandung anakmu. Aku tahu anak adalah pemersatu kedua orang tuanya. Namun, tanpa anak sekalipun, hubungan kalian pasti juga akan tetap kuat asalkan di hati kalian tetap tersemat nama kalian satu sama lain."

Carlson masih tetap kecewa dengan perkataan Ellina. Namun, pria itu tidak menunjukkannya dan lebih memilih untuk menhargai keputusan wanita itu. Menganggukkan kepala dan tersenyum hangat.

"Ya, sudah. Sekarang kamu tidurlah bersama dengan Kevin, biar—"

"Tidak, Ellina. Aku seorang pria. Tidak mungkin aku membiarkanmu tidur di sofa sedangkan aku tidur di ranjang yang empuk," ucap Carlson menolak.

"Tapi aku memang—"

Drrttt... Drrttt...

Drrttt... Drrttt...

Dering ponsel milik Carlson membuat Ellina menghentikan ucapannya. Carlson langsung bergegas mengambil ponsel yang dia letakkan di atas nakas samping tempat tidur. Raut wajahnya berubah ketika melihat sebuah nama yang tertera di layar ponselnya.

***

Bersambung~~