Cinta Yang Tak Terlupakan

Dengan bukti yang terpampang nyata serta ingatan Zidan sudah mulai kembali membuat Nyonya Kayla tidak bisa lagi berkutik.

Walaupun dalam keadaan syok berat, ia sedang memikirkan alasan untuk tidak disalahkan sepenuhnya oleh kedua orangtuanya Zidan.

"Maafkan kami...!" itu yang bisa diucapkan tuan Aditya karena kerongkongan istrinya yang sampai saat ini tercekat.

"Apakah kalian tahu siapa Zidan? Mengapa wajah putraku diganti?!" pekik nyonya Eni merasa tidak terima dengan keputusan kelurga angkat Zidan yang telah menyelamatkan Zidan.

"Bertepatan dengan keadaan putra kami yang sudah koma berhari-hari karena kanker hati yang dideritanya, kami saat itu ingin melepaskan setress dan memilih berjalan-jalan sekitar danau. Saat itu hari sudah menjelang malam ketika kami baru mau beranjak pergi dari danau itu.

Saat langkah gontai kami dan pikiran menerawang karena kematian putra kami yang makin dekat, kami dikagetkan dengan sesosok tubuh yang ada diantara bebatuan curam memaksa kami untuk menghampiri tubuh malang itu," jelas tuan Aditya mengenang lagi bagaimana mereka menemukan tubuh Zidan.

"Begitu kami membalikkan tubuhnya, istriku teriak histeris saat melihat wajah Zidan sangat mengerikan. Kerusakan wajahnya meliputi delapan puluh persen yang akan membuat wajahnya akan cacat permanen walaupun harus melakukan operasi berkali-kali. Itu yang dikatakan oleh dokter yang menangani kasus Zidan saat itu," tutur nyonya Kayla sambil terisak.

"Astaghfirullah halaziiim...!" pekik nyonya Eni yang rasanya ingin pingsan saat ini.

Anna mengusap wajahnya dan menangis tersedu-sedu karena mengingat kesalahannya membuat suaminya harus kehilangan paras wajah tampannya.

"Dokter meminta kami untuk memberikan wewenang dengan melakukan operasi wajahnya untuk mencegah infeksi yang bisa merusak jaringan kulit lainnya yang akan menjalar sampai di leher," lanjut tuan Aditya.

"Malam itu juga Zidan menjalani operasi oleh dokter bedah terbaik. Namun sayangnya saat kami sedang memikirkan nasib Zidan, putra kami sedang dalam sakratul maut.

Aku lalu berinisiatif untuk mengganti wajah Zidan dengan wajah putraku Wira sebelum dia menghembuskan nafas terakhirnya...hiks... hiks...!" imbuh nyonya Kayla membuat kelurga Zidan mulai memahami situasi sulit yang dialami Zidan saat itu.

Anna tidak sanggup lagi mendengar kelanjutan kisah dramatis suaminya dan memilih keluar dari rumah mewah itu.

"Annaaaa....!" pekik Wira atau sekarang kembali menjadi seorang Zidan yang ingin menyusul Anna namun dicegah oleh asisten Agam.

"Biarkan dia pergi karena ia butuh udara segar saat ini. Ada sekertaris ChaCha yang mendampinginya dimanapun dia pergi. Urusanmu dengan dua keluarga ini harus dituntaskan malam ini agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan," desis asisten Agam untuk mencari aman.

Anna membawa mobilnya Agam yang sengaja meninggalkan kuncinya di mobil dengan pintu terbuka. Beruntunglah ChaCha cepat masuk duduk disebelahnya Anna yang terlihat sangat tertekan saat ini. Ia merindukan wajah Zidan bukan tubuh Zidan yang belum sempat disentuhnya.

"Non. Kita mau ke mana?" tanya ChaCha melihat Anna bingung mengambil arah jalan. Dipikirannya saat ini hanyalah wajah Zidan dan Zidan.

"Apakah aku harus menerima suamiku dengan wajah orang lain ChaCha?" tanya Anna sambil berurai airmata.

"Apakah kamu menikah dengannya atas kepribadiannya Zidan atau wajahnya Zidan?" cicit Chacha untuk membuka pikiran Anna yang sedang buntu.

"Apakah kami harus tinggal bersama lagi setelah sekian lama terpisah, ChaCha?"

"Yah. Kecuali kamu ingin memilih bercerai darinya karena wajahnya tidak sama seperti dulu," sarkas ChaCha jika menghadapi bosnya yang mulai memperlihatkan sisi egoisnya.

Anna terhenyak mendengar ucapan frontal sekertarisnya yang selalu mengintimidasi dirinya jika pikirannya sedang tidak karuan seperti saat ini.

"Memang kamu mengingkari suami sendiri karena wajahnya. Bagaimana dengan tubuhmu? Bukankah kamu butuh disentuh olehnya? Apa tunggu perempuan lain merebutnya darimu? Pikirkan bagaimana dengan kesetiaanmu selama ini menantinya hingga membuat hidupmu depresi karena menginginkannya kembali ke dalam pelukanmu.

Sekarang lihatlah dirimu...! Kau bahkan takut padanya padahal kamu sempat jatuh cinta pada wajah Wira, bukan?" ChaCha sudah melupakan siapa dirinya saat ini dihadapan Anna.

Anna menepikan mobilnya dengan gerakan mendadak saat mereka sudah tiba di pantai. Deru ombak pantai mampu menciptakan sebuah harmoni untuk menenangkan jiwa yang lagi kalut. Kedua gadis itu turun dari mobil dan berjalan ke depan hingga berdiri bersandar di depan mobil sambil menatap hamparan laut yang ditemani gugusan bintang berbentuk kompas.

"Lihatlah diatas sana...! Allah begitu maha baik hingga memberikan petunjuk kepada hambaNya yang memilih jalan nelayan untuk mengais rejeki di malam hari.

Tidak peduli ombak yang mungkin tiba-tiba datang disertai angin kencang. Yang ada dipikiran mereka bagaimana bisa membuat keluarganya bisa tersenyum jika melihat membawa pulang hasil yang memuaskan.

Dan Allah sudah mempertemukan kamu dan suamimu dengan paras yang berbeda, apakah kamu tidak bisa berseru syukur kepada pelindung suamimu itu, nona Anna?" ucap ChaCha penuh penekanan pada setiap kalimatnya.

"Tolong biarkan aku berpikir untuk merenung kembali hubunganku dengan Wira. Maksudku suamiku Zidan. Aku tidak siap jika harus berpura-pura menerima dia sebagai suamiku saat ini, ChaCha."

"Apakah kamu tidak merindukannya, Anna setelah tiga tahun kalian terpisah karena kecelakaan itu?" desak ChaCha yang paling pintar sebagai pemersatu bangsa.

Kata rindu mampu menyentuh hati Anna. Namun mengingat bagaimana cara Zidan hadir lagi dalam hidupnya membuatnya masih butuh waktu untuk menerima lagi Zidan yang menjadi bagian dari dirinya.

Sementara itu, di kediaman tuan Aditya semua orang tampak menangis kecuali Agam yang hanya bisa menarik nafas. Ia sendiri juga hampir tidak percaya dengan penuturan tantenya yang super tega memisahkan Zidan dari keluarganya.

"Nyonya Eni. Saya minta maaf karena sudah menahan putramu untuk tetap disisiku. Sekarang kalian boleh menghukum aku dengan cara apapun aku akan terima. Aku tidak bisa menerima kenyataan kalau putraku Wira telah tiada di hari yang sama aku temukan putramu. Maafkan aku. Aku tidak sanggup berpisah dengan Wira ku...hiks..hiks..!" jerit pilu nyonya Kayla membuat hati nyonya Eni juga bisa merasakan bagaimana rasa kehilangan mendalam seperti yang ia alami selama tiga tahun saat menantu ketidakpastian nasib putranya.

"Terimakasih sudah merawat putra kami dengan baik. Terimakasih sudah memberikan bagian wajah putra kalian untuk menyelamatkan kecacatan wajah putra kami, tuan dan nyonya Aditya.

Hanya Allah yang bisa membalas jasa baik kalian dengan Rahmat dan hidayah-Nya. Sekarang, apakah kami boleh meminta lagi putra kami untuk kembali kepada kami setelah kalian menyelamatkannya?" pinta tuan Hendro sambil menahan tangisnya yang makin memenuhi dadanya yang terasa sangat sesak.

Tuan Aditya dan nyonya Kayla tidak menyangka kalau tuan Hendro sangat baik pada mereka dengan menyikapi apa yang terjadi dengan putra mereka. Keduanya makin merasa bersalah karena sudah menyembunyikan Zidan selama ini menjadi putra mereka.