Ayudia Larasati, gadis cantik yang sudah berkali - kali gagal mendapatkan pekerjaan itu, memilih pindah ke desa tempat kelahiran ibunya setelah mendapatkan kabar kalau di sana sedang ada banyak lowongan pekerjaan dengan posisi yang lumayan.
Selain itu, alasan lain kepindahannya adalah karena ingin menghindari mantan kekasihnya yang toxic dan playing victim.
Di sana, ia bertemu dengan seorang pria yang delapan tahun lebih tua darinya bernama Dimas Aryaseno. Pria tampan yang terkenal sebagai pangeran desa. Parasnya memang tampan, namun ia adalah orang yang cukup dingin dan pendiam pada lawan jenis, hingga di kira ia adalah pria 'belok'.
Rumah nenek Laras yang bersebelahan dengan rumah Dimas, membuat mereka cukup sering berinteraksi hingga hubungan mereka pun semakin dekat
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fernanda Syafira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Hari Apes
"Ealah ya Allah, nduk. Uti bingung nggoleki kowe, kok ra mulih - mulih. Jare bu nyai sing takon karo gus Farid, do wes mulih ket mau. Hapemu mbarang yo ora tok gowo. (Uti bingung nyariin kamu, kok gak pulang - pulang. Kata bu nyai yang tanya sama gus Farid, sudah pada pulang dari tadi. Hapemu juga ya enggak kamu bawa)." Kata Uti saat cucu kesayangannya itu sampai di rumah.
"Maafin Laras ya, Uti. Laras gak tau kalo motornya bakal mogok di tengah - tengah sawah." Jawab Laras yang merasa bersalah.
"Lewat dalan tembusan to? Untungo enek Dimas. Kowe mubeng - mubeng no, le? (Lewat jalan alternatif to? Untung ada Dimas. Kamu muter - muter dong, le?)" Tanya Uti yang hanya di jawab anggukan sopan oleh Dimas.
"Amit yo, le. Uti ngerepoti terus, mau ngebel Hilman yo hapeneora aktif kok, gek ayahe Hilman jek neng Kabupaten. (Maaf ya, le. Uti merepotkan terus, tadi nelfon Hilman ya hapenya gak aktif kok, terus ayahnya masih di Kabupaten)." Kata Uti.
"Mboten nopo - nopo, Uti. Kulo yo wau bade teng toko. (Gak apa - apa, Uti. Aku ya tadi mau ke toko.)" Jawab Dimas.
"Kulo wangsul riyin njih, Ti. (Saya pulang dulu ya, Ti.)" Pamit Dimas.
"Njih, suwun yo, le. (Iya, terima kasih ya, le)."
"Sami - sami."
"Mas Dimas, makasih, ya." Kata Laras yang tersenyum.
Dimas sempat mematung sesaat kala melihat senyuman Laras. Namun, ia segera mengontrol diri dan mengangguk untuk menjawab ucapan terima kasih dari Laras.
...****************...
"Mbak Laras! Ikut aku yok!" Hilman menghampiri sepupunya sore itu.
"Kemana, Man?" Tanya Laras.
"Sawah! Ngecop. (Mancing belut)."
"Ayo - ayo! mbak ngunci pintu dulu, ya. Uti gak di rumah soalnya." Laras tampak girang.
"Uti kemana?"
"Katanya mau nengokin bu Tin, yang kerja di pabrik itu, nanti sekalian kesana ya, nganter kuncinya." Jawab Laras.
"Oke!" Sahut Hilman.
Laras segera mengambil sendalnya dan mengunci pintu rumah juga jendela yang terbuka.
Setelahnya, dua orang itu pun menuju ke rumah bu Tin untuk mengantarkan kunci rumah.
"Hee arep nyangdi? (Hee mau kemana?)" Seru Uti saat melihat dua cucunya yang mengendarai sepeda motor.
Hilman dan Laras yang mendengar suara Uti, langsung menoleh dan menghampiri Utinya. Uti bersama beberapa ibu - ibu termasuk bu Asih, ternyata sedang berghibah ria di gardu perempatan.
"Arep neng sawah, ti, ngecop. (Mau ke sawah, ti, mancing belut.)" Jawab Hilman.
"Cah gadis gerang kok nututi bocah ngecop neng sawah ki piye to, nduk?. (Anak gadis sudah besar kok ngikuti bocah mancing belut di sawah ni gimana to, nduk?)" Heran Uti.
Uti menjuluki Hilman bocah, karena memang Hilman masih kelas dua SMP. Badannya saja yang besar, nyatanya dia masih di bawah umur.
"Neng kuto kan mesti ora tau lho, ti. Wajar to nak kepengen, mbok yo benke wae. Wong yo karo Hilman lungone. (Di kota kan pasti gak pernah lho, ti. Wajar kalau pingin, sudah biarkan saja. Orang ya sama Hilman perginya.)" Celetuk salah seorang nenek yang sebaya dengan Uti.
"Hehe dari pada bengong, ti. Boleh ya ti?" Pinta Laras sambil menyerahkan kunci rumah.
"Yowes, ojo sore - sore leh mulih. (Yasudah, jangan sore - sore pulangnya.)" Uti mengizinkan.
"Oke, ti!" Jawab Hilman yang langsung tancap gas.
"Alon - alon to, le! Mabur iku mengko mbakmu! (Pelan - pelan to, le! Terbang itu nanti mbakmu!)" Seru Uti pada cucunya.
"Man, tungguin!. Kamu ini, ngajak - ngajak tapi ninggalin mbak. Mbak kan gak biasa jalan di pematang kayak gini." Gerutu Laras.
"Gek ndang, mbak. Nak kesoren mengko Uti ngomel. (Cepetan, mbak. Kalau kesorean nanti Uti ngomel)." Sahut Hilman.
Laras pun berusaha mempercepat langkahnya di pematang sawah yang licin. Hingga akhirnya ia bisa menyusul Hilman yang sudah mulai memancing belut.
"Kamu ini, cepet banget jalannya!" Omel Laras sambil memukul bahu Hilman.
"Mbak yang lama jalannya. Aku sampe semutan nungguin mbak Laras." Jawab Hilman tanpa menoleh ke arah sepupunya.
"Dapet, Man?"
"Belum, mbak.
"Ada isinya, gak?"
"Gak tau, mbak, kan belum dapet."
"Oh, iya ya."
Mereka berdua bicara dengan berbisik - bisik, seolah takut jika belutnya tidak akan keluar jika mendengar suara mereka.
"Ee, ee, mbak dapet mbak!" Seru Hilman girang sambil menarik belut keluar dari lubangnya.
"Waah, besar banget, man!" Laras tak kalah Girang.
Hilman segera memasukkan belut hasil tangkapannya ke dalam keranjang bambu yang ia bawa.
Kedua orang itu, tampak asyik memancing belut hingga waktu mendekati sandekala.
"Mbak, ayo pulang! Wes entok okeh iki. (Sudah dapat banyak ini.)" Ajak Hilman sambil mengangkat keranjang yang hampir penuh.
"Ayo, sudah sore juga." Jawab Laras yang kemudian beranjak.
"Kamu di belakang mbak saja, Man. Nanti, kamu ninggalin mbak lagi." Cicit Laras yang berjalan lebih dulu.
"Iya, iya, mbak." Jawab Hilman patuh.
Hilman berjalan perlahan di belakang Laras hingga merasa bosan. Akhirnya, Hilman menyambi panen genjer di tepi sawah sambil menunggu Laras sedikit jauh.
"Eh, Man!. Mbak nginjak belut!" Seru laras.
"Apa mbak?" Tanya Hilman yang tak begitu jelas mendengar suara Laras.
"Mbak nginjek belut!" Seru Laras lagi.
Namun, sedetik kemudian Laras tersadar kala separuh badan binatang yang ia injak, meliuk ke atas kakinya.
"Huaaaa ular, Man!" Seru Laras yang panik.
"Ular mbak? Eh lho, lho, mbak! Jangan lari, nanti jatuh!" Seru Hilman yang berusaha mengejar sepupunya.
Gadis ayu itu mengibaskan kakinya dan langsung berlari tunggang langgang hingga akhirnya ia terpeleset dan jatuh ke sawah.
"Lah kan! Opo lehku muni, tibo to! Di omongi ojo mlayu kok! (Lah kan! Apa kataku, jatuh kan! Di bilangin jangan lari kok!)" Kata Hilman sambil menolong Laras yang belepotan lumpur.
"Huaaa bau, Man! Hari apa sih ini? Kok apes banget hari ini." Seru Laras yang hampir menangis.
"Ojo nangis to, mbak! Ayo wes mulih. (Jangan nangis to, mbak! Ayo pulang)." Ajak Hilman yang menahan tawa sambil menggandeng Laras.
"Kalo mau ketawa, ketawa aja, Man." Gerutu Laras yang langsung di jawab dengan tawa terbahak - bahak Hilman.
"Jahat banget sih, Man. Bisa - bisanya ngetawain mbaknya." Omel Laras sambil mengejar Hilman yang pastinya lebih jago berlari di pematang sawah ketimbang dirinya sendiri.
Mereka berdua memutuskan untuk segera pulang karena waktu yang semakin sore.
"Man, malu tau dilihatin orang - orang." Lirih Laras.
"Salahe mbak Laras to, kok malah mlayu - mlayu. (Salahnya mbak Laras to, kok malah lari - lari.)" Kekeh Hilman.
"Gimana gak lari? Mbak tadi nginjek ular, Man." Sahut Laras sembari menoyor kepala sepupunya.
"Ulo ora salah kok yo tok idek - idek, mbak. Ra melas to? (Ular gak salah kok ya kamu injak - injak, mbak. Gak kasihan to?)" Goda Hilman.
"Lagian itu ularnya ndak berbisa, mbak." Imbuhnya.
Hilman segera memarkirkan motornya di halaman samping rumah saat sampai di rumah Uti.
"Astaghfirullah yongalah bocah! Lha kok koyok gudhel iki piye to? (Lha kok kayak anak kerbau gini gimana to?)" Cicit Uti yang melihat Laras belepotan lumpur.
"Uti, bisa - bisanya cucu sendiri di samain sama anak kerbau! Laras jatuh, ti. Gara - gara nginjak ular." Protes Laras sambil merengut.
"Mulakno, ojo dolan neng sawah to, nduk. La kowe nangndi lho, Man? Kok mbak e iso ngidak ulo? (Makanya, jangan main dinsawah to, nduk. La kamu kemana lho, Man? Kok mbaknya bisa nginjak ular?)"
"Aku ngopek genjer iki e, ti. Wong mbak Laras suwi leh mlaku, makane tak ngopek genjer sek. (Aku ngambil genjer ini, ti. Orang mbak Laras lama jalannya, makanya aku ngambil genjer dulu.)" Jawab Hilman.
Perhatian Laras pun beralih pada Dimas yang tiba - tiba muncul dari belakang Uti. Gadis itu langsung menunduk saat melihat ekspresi Dimas yang melipat bibirnya, bsrusaha menahan tawa.
"Ti, kulo wangsul riyin. Berase mpun kulo selehne ten wadahe. (Ti, saya pulang dulu. Berasnya sudah saya taruh di tempatnya)" Pamit Dimas yang baru mengantar beras pesanan Uti.
"njih, suwun yo, le." Kata Uti.
"Mas, ngguyu wae nak arep ngguyu. (Mas, tertawa saja kalau mau tertawa.)" Kata Hilman yang terkekeh.
Tak menjawab, Dimas hanya tersenyum ke arah Hilman sambil memukul bahu Hilman.
Sementara Laras? Tentu saja gadir itu segera lari menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri dengan wajahnya yang merah karena malu.
update trus y kk..
sk bngt ma critany