Mencari nafkah di kota Kabupaten dengan mengandalkan selembar ijazah SMA ternyata tidak semudah dibayangkan. Mumu, seorang pemuda yang datang dari kampung memberanikan diri merantau ke kota. Bukan pekerjaan yang ia dapatkan, tapi hinaan dan caci maki yang ia peroleh. Suka duka Mumu jalani demi sesuap nasi. Hingga sebuah 'kebetulan' yang akhirnya memutarbalikkan nasibnya yang penuh dengan cobaan. Apakah akhirnya Mumu akan membalas atas semua hinaan yang ia terima selama ini atau ia tetap menjadi pemuda yang rendah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jangan Abaikan Penyakit Itu!
Mumu menekan pergelangan tangan Mahesya. Lima menit kemudian ia melepaskannya kembali.
"Kak, bolehkah saya meminta segelas air putih? Saya merasa sedikit haus." Ucap Mumu sambil menoleh ke arah Atika.
Atika menatap Mahesya sejenak. Setelah mendapat persetujuan dengan anggukan kepala, Atika pun beranjak ke dalam rumah.
Mumu memandang Mahesya tepat dimatanya dan berucap, "Apa maksud Bapak memalsukan kelumpuhan Bapak? Saya memeriksa Bapak baik-baik saja."
Mahesya sedikit terkejut tapi dia segera mengembalikan ekspresinya seperti semula. "Apakah memang seperti itu? Apa itu bukan karena ilmu pengobatanmu belum bisa mendeteksinya?"
Terus terang Mahesya tidak terlalu percaya dengan dukun kampung yang masih sangat muda ini. Jika bukan karena bujukan Atika yang berusaha untuk menyembuhkan 'kelumpuhannya', dia tidak akan mau menemui dukun kampungan ini.
Dia telah menggunakan trik khusus, jangankan dukun kampungan ini sedangkan alat rontgen saja tak mampu mendeteksi kebohongannya. Trik ini dia pelajari khusus sewaktu dia menuntut ilmu di luar negeri.
"Ilmu pengobatan saya memang tidak tinggi, Pak tapi saya masih percaya dengan hasil diagnosa saya." Mumu tak mengetahui siapa Mahesya ini dan apa pekerjaannya. Melihat keadaan rumahnya Mumu yakin dia atau pun keluarganya mempunyai status sosial yang cukup tinggi.
Tapi Mumu tak mengerti mengapa dia harus memalsukan penyakitnya. Mumu tak ingin ikut campur apa pun alasannya. Lagi pula Mumu dapat merasakan bahwa pria yang di depannya ini tidak menyukainya. Alasan ia bisa datang ke sini adalah karena wanita yang bernama Atika itu.
"Karena tak ada yang dapat saya lakukan, oleh karena itu saya pamit dulu, Pak." Mumu beranjak dari duduknya.
"Silahkan!" Mahesya tersenyum sinis.
Saat hampir sampai di motornya Mumu menoleh, "O ya, Pak, saya tadi merasakan ada sedikit benjolan di sekitar jantung Bapak. Jangan abaikan itu!"
Karena tuan rumah tidak menghargainya, Mumu pun tidak berlaku terlalu sopan terhadapnya.
"Oh ya?" Mahesya menaikkan sedikit alisnya. "Ha ha kalau begitu saya sangat berterima kasih atas nasehatnya." Mahesya tertawa sinis. Jelas dia tak mempercayai dan menganggap absurd apa yang diucapkan Mumu.
Ini adalah sebuah kesalahan yang kelak akan dia sesali seumur hidupnya beberapa tahun yang akan datang.
"Mau ke mana, Dik?" Atika datang sambil membawa minuman dan snack, "Ini minumannya."
"Maaf, Kak, saya harus pergi sekarang. Ada keperluan mendadak." Mumu agak respect terhadap sikap Atika yang baik ini.
"Bagaimana dengan penyakit Pak Mahesya? Apakah kamu bisa mengobatinya?" Tanya Atika dengan wajah cemas.
Mumu menggelengkan kepalanya. Ia melirik sebentar ke arah Mahesya, "Saya minta maaf, Kak. Ini di luar kemampuan saya."
Saat mendengar jawaban Mumu, Atika hanya bisa mengela nafasnya dengan sedih. Dia lalu berbalik menemui Mahesya yang masih duduk di bawah pohon mangga.
Saat Mumu sampai di rumah Pak Sukamto hari mulai panas. Walau pun masih jam sepuluh tapi matahari bersinar dengan terik.
Hanya ada Buk Yenny dan Pak Sukamto di rumah. Erna tak kelihatan, mungkin kuliah.
Setelah basi-basi sebentar dengan Buk Yenny, Mumu langsung memulai proses pengobatannya.
Ini adalah pengobatan yang kedua. Kondisi Pak Sukamto semakin membaik.
Seharusnya ini menjadi berita suka cita bagi keluarga Pak Sukamto.
Tapi anehnya wajah Buk Yenny selalu murung, walaupun dia sudah berusaha untuk menutupinya.
Mumu tahu ini pasti berkaitan dengan masalah perusahaan mereka tempo hari. Tapi Mumu hanya diam saja. Tak ada komentar tentang hal itu. Ia hanya fokus pada kesembuhan pasiennya.
Menjelang tengah hari Mumu pulang. Tadi sempat ditawari makan siang di rumah Pak Sukamto, tapi Mumu menolaknya karena ia sudah masak di rumah.
Saat tiba di jalan Pembangunan tak jauh dari kantor Perpustakaan dan Arsip tempat Mumu pernah bekerja dulu, ia melihat seorang pria yang menggunakan motor besar dan memakai helm tiba-tiba turun dari motornya dan langsung merampas tas ibuk-ibuk yang memakai baju putih berbintik hitam.
Ibuk tersebut kaget dan berusaha untuk mempertahankannya tapi akhirnya kalah tenaga. Dia berteriak tapi tak ada yang berusaha menolong karena tak menyangka terjadi tindak kejahatan di siang bolong.
Mumu tak suka cari masalah. Tapi ia paling tak bisa melihat tindak kejahatan yang terjadi di depan matanya. Gara-gara sikap ini lah ia nanti banyak musuh.
Mumu menarik gas motornya. Saat pria itu naik ke motornya Mumu langsung menendang dari samping tepat mengenai tangki motor sebelah kiri. Pria itu langsung tumbang beserta motornya.
Ternyata pria itu sigap juga, baru saja tubuhnya menimpa tanah, dia langsung berdiri dan memasang kuda-kuda.
"Kurang aj*r!!" Makinya dengan wajah memerah karena marah.
Mumu segera turun dari motornya. Untung ia cepat karena pria itu langsung menyerang Mumu dengan tendangan dan pukulan. Ternyata pria itu juga ahli bela diri sehingga terjadilah pertarungan yang sengit.
Tendangan pria itu Mumu tangkis dengan tangan kiri sedangkan pukulan Mumu tangkis dengan lengan bagian luar.
Mumu sengaja tidak mengelak tapi melawan serangan dengan serangan karena jika ia hanya mengelak, tendangan pria itu akan mengenai motornya.
Melihat serangannya bisa ditangkis dengan mudah, pria itu tambah marah. Dia meningkatkan serangannya sehingga pertarungan menjadi lebih seru.
Warga sekitar mulai berdatangan. Orang-orang yang berlalu lalang pun berhenti untuk melihat pertarungan itu. Jalanan jadi macet total.
Mumu tak ingin berlama-lama dan menjadi tontonan orang-orang. Ia meningkatkan serangannya.
Saat pria itu melakukan serangan dengan tendangan membalik badan, posisi badan Mumu merendah dengan kaki kiri sebagai titik porosnya sedangkan kaki kanan menjulur ke depan dan langsung menyapu kaki kiri lawan yang sendirian menginjak tanah.
Pria itu langsung jatuh karena kaki kiri yang jadi penopang berat tubuhnya dilibas Mumu. Sebelum pria itu bisa menyeimbangkan diri, pukulan Mumu datang menghampiri.
"Bukk..." Pria itu kembali terjajar saat dadanya dihantam tinju Mumu. Ternyata dia langsung pingsan.
Baru kali ini Mumu melawan orang yang tangguh yang punya kemampuan pribadi yang mumpuni.
Biasanya lawan yang pernah Mumu hadapi menang karena jumlah bukan karena kemampuan pribadi.
Mumu mengambil tas yang sedari tadi jatuh tak jauh dari motor pria malang itu dan menyerahkan kepada ibuk-ibuk yang berdiri dengan tangan gemetar. Bukan karena takut, tapi karena semangat melihat anak muda di depannya ini ternyata sangat hebat.
Jika dia bisa mengambil pemuda ini jadi menantunya tentu anak gadisnya akan aman tanpa takut gangguan dari orang-orang.
"Ini tasnya, Buk. Lain kali hati-hati, Buk!"
"Iya, ya..terima kasih ya." Ibuk itu tergagap. Saat dia ingin mengenal diri Mumu lebih jauh, Mumu sudah menyelinap pergi di antara kerumunan orang-orang yang menonton. Tak sedikit juga yang mengabadikan peristiwa tadi dengan video dan siaran langsung di beberapa media sosial.
Mumu tidak mengetahuinya karena saat ini ia sudah berada di atas motornya yang melaju dengan kecepatan standar.
...****************...
Rahmat sedang termenung di depan rumahnya. Dulu dia adalah seorang Kiper yang akan berangkat ke Pekanbaru bersama timnya untuk bertanding mewakili kabupaten.
Tapi bencana itu datang tiba-tiba sehingga kebanggaannya sebagai kiper terbaik tingkat Kabupaten kandas di tengah jalan.
Tak ada lagi cahaya percaya diri dan kebahagian dimatanya.
Raminten